header marita’s palace

Yang Tak Terlupa saat SMA


SMA, ingat Rangga dan Cinta, hehehe…

Langsung keliatan deh angkatan berapa dan setua apa. Nggak apa deh, yang penting jiwanya selalu stay young foreva.



Bisa dibilang film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) merupakan salah satu nostalgia putih abu yang paling saya ingat. Waktu itu tahun 2002 dan saya masih duduk di bangku kelas 2 SMA. AADC memang film fenomenal kala itu, namun saya menyukainya lebih dari sekedar karena itu film populer, atau karena kesengsem sama wajah gantengnya Nicholas Saputra (sebenarnya iya ding).  Ada sedikitnya enam alasan mengapa AADC menjadi film favorit saya bahkan hingga hari ini;
  •  Nonton AADC gratisan karena dibayarin bulik untuk merayakan ulang tahun saya yang ke 17.

  • Bisa nonton bersama adik sepupu dan sahabat-sahabat terbaik saya yang dulu kami sebut sebagai Geng NYMA, singkatan dari empat nama personilnya; Nilla, Yeti, Marita dan Aristya. Meski saat itu Aristya alias Vina tidak bisa bergabung karena tidak diijinkan pergi dan menginap di rumah eyang saya di Semarang.
  • Sampai hari ini saya masih tersedu ketika menonton AADC karena karakter Alya dan sebagian masalahnya saya temui dalam kehidupan nyata.
  • Saya suka sastra, saya suka nulis puisi dan AADC penuh dengan puisi serta lagu yang menggugah hati anak abege kala itu. Jadi ingat bacaan favorit jaman itu; Annida dan Horison.

  • Karena saya fans berat Dian Sastro, bukan cuma karena rupa dan aktingnya yang menawan, tapi juga karena tanggal lahir kami berdua jatuh di tanggal yang sama meski tahunnya berbeda; 16 Maret. (Wekekeke, ini maksa banget, sumpah!)
  • Film ini nggak sekedar cinta-cintaan anak SMA biasa, tapi ada pesan mengenai persahabatan yang touchy banget. Sampai saya en the gank berjanji saat nanti satu per satu dari kami nikah, yang nikah duluan harus memberikan award kepada yang nikah setelahnya. Meski kemudian rencana tersebut tidak berjalan karena yang nikah duluan (baca: saya)lupa nyiapin awardnya.
Makanya nih denger AADC mau dibuat sekuelnya setelah 14 tahun berlalu, rasanya sueneng banget. Bahkan saya dan teman-teman se-gank dulu sudah berencana untuk nonton bareng. Meskipun pada kenyataannya nanti belum tahu juga apa bisa terealisasi, berhubung sekarang sudah tinggal di kota yang berbeda-beda dan sudah memiliki keluarga serta kesibukan masing-masing.



Selain kisah Rangga dan Cinta yang menancap di hati dan pikiran, tentunya ada beberapa catatan-catatan lainnya pada masa seragam putih abu di salah satu SMA favorit di Salatiga. Yuk, kepoin lebih lanjut.

Masuk ke Kelas Kumpulan Orang Jenius dan Bersahabat Gara-gara The Moffatts

Sebenarnya saat itu saya tidak kepengin masuk SMA 1 Salatiga. Buat saya yang lulusan SMP 3 – SMP favorit di bawah SMP 1 dan 2, SMA tersebut terlalu favorit, pasti saingannya berat-berat. Sejak awal saya sudah menetapkan ingin melanjutkan ke SMA 3. Sejak belum masuk SMA, saya juga sudah merencanakan untuk masuk ke kelas bahasa. Namun karena mendapat info dari sepupu saya bahwasanya di SMA 3 tidak ada kelas bahasa, segeralah banting setir tujuan dan memaksakan diri untuk masuk ke SMA 1.

Seingat saya tidak terlalu banyak teman dari SMP 3 masuk ke SMA 1, sebagian besar memang melanjutkan ke SMA 3. Karena sekolah favorit jelas saja didominasi oleh murid-murid dari SMP favorit di Salatiga; SMP 1 dan SMP 2. Pemilihan kelas dilakukan secara acak, tidak berdasarkan jumlah nilai seperti di SMP saya dulu. Saya mendapatkan kelas 1.6. Sayangnya pula beberapa teman dekat saat SMP justru tidak sekelas dengan saya di SMA. Alhasil, terpaksa harus beradaptasi lagi dengan orang-orang baru yang merupakan kelemahan untuk saya.

Beberapa Memori Putih Abu
Super deg-degan ketika ikut Masa Orientasi Siswa (MOS), melihat dari sekian banyak nama hanya satu atau dua orang yang saya kenal (kalau nggak salah, udah lama, lupa euy), dan nama lainnya saya ketahui kemudian adalah anak-anak lulusan SMP 1 dan 2. Sampai hari ini saya masih gumun kenapa bisa masuk ke kelas itu. Di antara 10 kelas yang ada, kelas kami saat itu selalu menjadi yang terbaik. Padahal kelasnya selalu rame, nggak pernah bisa diam, tapi tiap kali ulangan nilainya selalu bagus-bagus. Dan jangan tanya saya ranking berapa, jelas masuk 10 besar lah (dari belakang, hehehe). Untungnya karena ini kelasnya orang-orang jenius (kecuali saya), meski dapat nilai paling jelek di kelas tidak terlalu memalukan karena ternyata ketika dibandingkan dengan nilai dari kelas lain, nilainya sama dengan nilai-nilai tertinggi di kelas lain.

Selama kelas satu dan dua, saya sudah terbiasa mendapat nilai merah dan lebih rendah dibanding teman-teman lainnya, karena memang saya nggak niat sekolah, hihi. Tujuan saya ingin masuk kelas bahasa, dan otak saya nggak mampu mencerna pelajaran-pelajaran rumit semacam matematika, kimia, fisika, dan semacamnya. Kalaupun ada nilai bagus yang membinarkan mata, maka bisa dipastikan itu nilai bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Kembali ke MOS, saat itu saya kebingungan membuka obrolan dengan teman-teman baru. Jadilah dulu saya dan seorang teman yang sama-sama dari SMP 3 selalu kemana-mana berdua.  Hingga suatu ketika di sebuah apel pagi, saya mendengar dua orang kawan yang berdiri di belakang saya ngobrolin sebuah nama band yang tidak asing lagi di telinga saya; The Moffatts. Seketika itu juga saya langsung berbalik dan menemukan bahan pembicaraan. Dua orang kawan baru itu ialah Yeti dan Nilla yang kemudian menjadi sahabat saya. (Miss u so much, ladies)


Gegara Band ini Jadi Sahabatan :)
Resmi menjadi gank NYMA ketika ada Vina Aristya bergabung bersama kami. Vina tidak terlalu suka The Moffatts awalnya, tapi karena kami sama-sama rame, usil dan anti mainstream, jadilah dipersatukan dalam jalinan persahabatan yang indah. Petualangan-petualangan masa SMA saya banyak terjadi bersama mereka.

Nonton Konser Jikustik

Tiketnya aja masih saya simpan lo :D
Akhirnya dengan ijin yang sangat alot, ibu dan bapak memperbolehkan saya pergi bersama Yeti dan Nilla untuk menonton konser Jikustik. Sebagaimana umumnya konser yang diadakan di malam hari, karena dimulai sekitar jam 7 malam, kami pun baru selesai menikmati konser tersebut menjelang jam 10 atau 11 malam. Berhubung kami tinggal di kota kecil yang angkutan umumnya sudah berhenti beroperasi sejak jam 6 malam, kami sudah merencanakan untuk menginap di rumah Yeti yang memang cukup dekat dengan lokasi diadakannya acara tersebut.

Selain melihat konser, paginya kami sudah mengejar Jikustik hingga ke daerah Kopeng, di hotel tempat mereka menginap. Dengan semangat 2000an, kami riang saat bisa bertemu dengan Jikustik dan meminta foto bersama mereka. Yaaa, maklum saat itu  masih abege labil setara dengan abege-abege sekarang yang meneriaki Aliando gitu deh, hehehe.

Berkenalan dengan Teater

Saat duduk di kelas dua SMA, saya mulai berkenalan dengan dunia teater. Waktu itu mulai mengenal teater, dari mahasiswa-mahasiswa UKSW yang kampusnya tidak jauh dari sekolah saya. Nggak begitu ingat secara pasti bagaimana waktu itu bisa bergabung dengan teater Bara. Bahkan nama-nama anggotanya saja saya sudah lupa. Yang saya ingat, saya ikut teater bareng Yeti. Latihan teater selalu mengasyikkan karena bisa menghilangkan sesak di dada atas beberapa kejadian menyakitkan di dalam hidup. Paling suka saat harus latihan vokal, karena kami harus bisa bersuara sekeras mungkin. Kata kakak senior saya waktu itu, suaramu dari luar UKSW juga kedengeran, Rit. Hehehe.


Ilustrasi only, ini pentas grup teater saya jaman hampir lulus kuliah :)
Saya sempat sekali pentas bersama teater Bara. Saat itu hanya mendapat peran kecil sebagai narator cerita. Namun sangat berkesan, karena itu satu-satunya pementasan yang dilihat oleh kedua orangtua dan adik saya. Ada kejadian lucu saat saya mentas waktu itu, di kala suasana begitu sunyi dan seluruh penonton focus pada olah akting para pemain di atas panggung, adik saya yang saat itu masih seumuran Ifa saat ini tiba-tiba menceletuk “Itu bohongan ya, bu. Etok-etok.”  Sontak semua penonton mesem, dan pemainnya menelan ludah pecah konsentrasi.

Ibu Sakit Semakin Parah

Sejak tahun 2000, ibu saya mengalami suatu penyakit yang menyebabkan beliau tidak bisa beraktivitas layaknya orang normal. Jalannya mulai tertatih-tatih dan separuh badannya tidak bisa digerakkan. Memegang gelas pun pasti akan terjatuh dengan sendirinya. Namun tahun 2002 adalah puncak pertama masa sakit ibu mengalami tingkat yang lebih parah dari sebelumnya.

Meninggalnya eyang buyut pada Februari 2002 menjadi pemicunya. Ibu memang memiliki kedekatan emosional yang sangat besar dengan eyang buyut. Karena mengalami sundhulen (memiliki adik di usia yang masih muda – ibu dan adik kandung langsungnya hanya terpaut satu tahun), ibu lebih banyak diasuh oleh eyang buyut.

Keadaan ibu yang semakin parah itu menyebabkan saya harus terpisah sementara dengan beliau. Ibu dan adik kemudian tinggal di rumah eyang hingga rasa kehilangan sedikit memudar. Ibu juga memilih tetap tinggal di Semarang karena ingin dirawat langsung oleh eyang putri. Saya dan bapak tetap tinggal di Salatiga. Setiap satu minggu sekali saya pergi ke Semarang menjenguk ibu.

Nyasar Hingga Terboyo

Banyak hal yang saya pelajari ketika harus tinggal terpisah dengan ibu. Salah satunya adalah memberanikan diri untuk pergi ke luar kota tanpa ditemani bapak dan ibu. Meski cuma Salatiga-Semarang, ternyata kalau nggak punya pengalaman bisa berabe juga ya. Apalagi kalau ragu-ragu dan malu tanya. Rute yang seharusnya bisa ditempuh satu setengah hingga dua jam, saat itu saya harus menempuhnya hingga hampir empat jam dan membuat semua orang di rumah eyang khawatir. Cerita lengkapnya bisa lihat di sini.

Jadi Menteri Keuangan


Sejak SMP saya sudah biasa diberikan uang saku bulanan, namun menjadi menteri keuangan keluarga jelas tidak mudah. Saat ibu tinggal di Semarang, beliau mempercayakan sepenuhnya keuangan keluarga di tangan saya. Saya harus bisa mengatur uang pensiun ibu dan uang pemberian bapak sebaik mungkin, dari membayar tagihan listrik, air, telepon, memberikan haknya mbak asisten rumah tangga, membayar SPP sekolah hingga belanja bulanan. Benar-benar memusingkan, namun cukup menyenangkan karena bisa belajar akuntansi secara nyata. Tapi herannya, kenapa ngurusin uang sendiri dan gaji suami sekarang malah lebih riweuh ya?

Masuk Kelas Bahasa; From Zero to Hero

Akhirnya saat yang dinanti tiba juga; kelas tiga yippieee. Akhirnya bisa juga menikmati pelajaran-pelajaran yang saya sukai; mempelajari dan menganalisis novel, bahasa Inggris, dan tentunya bye bye pelajaran hitung-hitungan.



Di kelas bahasa, saya hanya bersama Nilla, karena Yeti dan Vina memilih mengambil jurusan IPA.  Selain masih dekat dengan Nilla, saya mulai menciptakan kelompok pertemanan baru bersama Etty, Ida dan Tika; we called ourselves as Teamuss Girls (nulisnya nggak gini sebenernya, cuma nggak ada font-nya sih). Kenapa disebut seperti itu? Tidak lain dan tidak bukan karena kami hobi beli dan makan timus ketika istirahat tiba, hehehe.



Gegara mereka, saya jadi ikut-ikutan suka sepak bola dan balap motor. Waktu itu tim yang saya suka AC Milan dengan Filippo Inzaghi-nya dan tentu saja Valentino Rossi dari tim Yamaha. Dua-duanya udah tuwir ya sekarang, setuwir yang nulis postingan ini.

Saat duduk di kelas tiga ini, saya sempat dikirim oleh sekolah mengikuti speech contest di UPN Veteran Yogyakarta. Tidak menang sih, tapi cukup berkesan. Saya juga mulai mempelajari bahasa asing selain bahasa Inggris.

Bahasa Jerman menjadi bahasa wajib di SMA 1. Pengajarnya adalah wakil kepala sekolah bidang kesiswaan (lagi-lagi saya lupa namanya). Setiap kali mengajar beliau selalu cerita tentang pengalamannya yang pernah mengunjungi Jerman. Setahun mempelajari Jerman, saya merasa lola alias loading lama banget memahaminya. Beruntung saat ujian nasional, saya dapat wangsit untuk mengerjakan soal-soalnya, hingga bisa mendapat nilai di atas target.


Teman-teman dan guru les bahasa mandarin, juga penginspirasinya :D
Saya juga belajar bahasa Jepang dan Mandarin. Awal ketertarikan saya pada dua bahasa dari Asia Timur ini jelas dipicu karena pada tahun itu, drama Asia lagi ngeboom.  Jadi memang dulu salah satu alasan belajar bahasa Mandarin, berharap bisa bertemu Tau Ming Tse, dan bilang “Wo se cente cente hen ai ni…” Jangan ditanya apa sekarang masih ingat atau enggak ya.



Berhubung masuk di kelas yang sesuai passion, nilai saya udah nggak merah-merah lagi dong. Alhamdulillah, saat kelulusan saya berhasil meraih peringkat kedua sekelas. Keren? Biasa aja kok, la wong sekelas juga cuma segelintir orang, entah ada 20 orang kah… :D

Linguistic Class SMANSSA Angkatan 2000

Linguistic Class Reunion 2012
Memang kalau sudah metani kenangan demi kenangan satu postingan aja nggak bakalan cukup. Satu per satu berlompatan ingin dituliskan. Tapi dicukupkan sampai di sini dulu deh. Lain waktu kita nostalgia putih-merah dan putih-biru juga ya J

Well, kalau ada yang bilang masa SMA adalah masa yang indah. Saya cuma bisa bilang “so so” deh. Mungkin tanpa teman-teman yang menyenangkan dan sahabat-sahabat yang hebat, saya belum tentu bisa melewati masa-masa itu dengan baik. So, thanks a lot pals, you’re the most valuable treasure in my journey!







19 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Waah...seru banget ceritanya...pas SMA punya yayang nggak? hihi :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi kagak punya mbak.. Punya yayang cm sekali waktu kuliah... Skrg udah jd teman tidur seumur hidup insya Allah :)

      Delete
  2. Dulu pengen banget masuk kelas bahasa. Tapi, ga ada di sekolahku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang jarang kelas bahasa.. peminatnya nggak terlalu banyak soalnya :)

      Delete
  3. saya juga punya gang waktu SMA Mbak, nama gangnya fool colours :)
    kalo kelas 2 SMA tahun 2002 berarti kita seangkatan Mbak karena tahun itu saya juga kelas 2 SMA :)

    ReplyDelete
  4. Nicolas emang cool ya mbak Marita :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. huum mbak.. bangeeet :D

      selain itu juga suka actingnya dia... waktu dia jd rangga, trus jd soe hok gie, joni.. bisa beda2 banget :)

      Delete
  5. wih seruseru cerita SMA.. 😊

    ReplyDelete
  6. Ahahaha saya jadi inget AADC dengan the moffats, jadi kepingin balik lagi muda dan SMA selamanya deh :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha.. masa-masa hidup penuh warna banget ya mbak :D

      nggak harus balik masa SMA kok mbak, saya masih nungguin AADC 2 tayang, bahkan sama personil the moffatts pun berteman di FB, follow IG... wkwkwkwk...

      Delete
  7. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  8. Waah banyak banget cerita serunya mbak, ini DL kapan ya belum ikut nih!

    ReplyDelete
  9. Banyak kisah serunya ketika sma dulu

    ReplyDelete
  10. hihihi iya ngga sabar nungguin AADC2 deh..

    ReplyDelete
  11. Xixixi, serunya masa SMA. Jadi ingat AADC dan pingin jadi pemeran filmnya. :D

    BTW, sudah follow blognya, ya? ^^

    ReplyDelete
  12. waaah... seru banget Mba Marita..

    hiks. aku selalu ngiri sm yg di SMA bisa ambil jurusan bahasa. aku terdampar di IPA T.T

    heheh

    ReplyDelete
  13. Wuihhh seru yaaa😁😂

    ReplyDelete