header marita’s palace

What Should I Do with My Inner Child?



Assalammu'alaikum, pals...

Pukul 2:31 pagi - jam yang tertera di layar laptopku saat aku mulai menulis ini. Awalnya aku ingin bergegas menyelesaikan NHW #3 - ku, namun membaca ulang materi yang aku dapat hari Selasa lalu, juga poin-poin yang harus aku kerjakan minggu ini, aku merasa harus menuliskan ini dulu.

Jika teman-teman sudah pernah berkeliling di 'istana'ku ini, pastinya teman-teman akan banyak menemukan tulisan-tulisanku yang bernada sumbang mengenai masa lalu, broken home family, kesunyian dan beberapa tulisan sejenis. Mungkin ada banyak teman-teman yang bertanya kenapa sih harus melulu nulis tentang itu-itu terus, bukannya akan terus sakit ketika itu diulang-ulang diceritakan. Atau bahkan ada yang bisa jadi berpendapat untuk apa membuka aib keluarga sendiri dan sebagainya.

Tujuan awal aku membuat blog ini adalah sebagai sarana terapi. Bahkan sebelum "blog your life, live your blog" kujadikan tagline, aku lebih dulu memilih kalimat "the most expressive spot to reveal about me and how I see the life". Ya, bisa dibilang blog ini adalah tempat aku bisa bebas meluapkan apa yang aku pikirkan dan rasakan. Bahkan meskipun kemudian blog ini mulai kukembangkan secara profesional, aku tak mau kehilangan unsur itu. Aku nggak mau hanya menjejali blog ini dengan artikel-artikel berbayar, namun juga tetap mempertahankan porsinya sebagai tempatku menuangkan isi hati, pengalaman dan cita-cita. 

Dan menuliskan beberapa hal mengenai luka secara berulang, perlahan justru membuat beban ini terangkat, dan luka ini mengering. Membaca lagi tulisan-tulisan lama yang aku buat, membuat aku tersenyum mengingat setiap prosesnya.

Baca juga: Belajar Hidup Lebih Baik dari Kenangan Masa Kecil yang Paling Membekas

Mengenai Inner Child-ku


Tidak ada yang salah dengan cara orang tuaku mendidikku. Bisa dibilang orang tuaku sangat demokratis. Mereka bukan tipikal orang tua yang otoriter dan suka memaksakan kehendak. Big no! Mereka sangat menghargai setiap pilihan yang aku buat dan mengajarkanku untuk bertanggungjawab atas pilihan tersebut.

Jika ada luka yang terjadi... itu karena mereka tidak sanggup untuk tidak memperlihatkan pertikaian demi pertikaian yang ada di depanku. Dan ketika pertikaian itu terjadi, aku sering melihat hal-hal yang seharusnya tak aku lihat. Terkadang aku dan adik pun harus menjadi korban atas emosi kedua orang tua kami. Demi Allah, di luar semua pertikaian itu.. bapak dan ibu adalah orang tua terbaik untukku dan adikku, I really proud of them! 

Meski Bapak hanya lulusan SMP dan bekerja sebagai sopir bus antar kota antar propinsi, wawasan beliau cukup luas. Beliau suka baca koran dan sibuk dengan teka-teki silang di waktu luangnya. Bapak sangat well managed soal keuangan, penampilannya rapi dan loyal pada teman-temannya. Cita-citanya hanya satu; anak-anaknya harus berpendidikan yang memadai agar memiliki kehidupan yang lebih baik. Ibu, sebagai seorang guru SD, terkenal sangat disiplin, tegas namun penyayang. Di tangannya lah aku belajar banyak hal, terutama tentang bertahan hidup dan tetap tersenyum meski luka bertubi-tubi menghujam.

Ya, aku tidak pernah menyesal lahir sebagai anak mereka, kalaupun harus ada yang disesali maka itu karena mereka yang tak pernah bisa berhenti bertikai. Bahkan, ketika akhirnya pertikaian itu berhenti, it's not happy ending at all for me. Ibu jatuh sakit dan meminta bapak menikah lagi. Aku pikir kekecewaan atas semua pertikaian mereka dan pernikahan kedua bapak akan hilang sendirinya dengan menyibukkan diri dengan kegiatan sekolah, bertemu teman dan menjalani hidup apa adanya. Ternyata kekecewaan itu seperti bom waktu yang siap meledak saat dipicu.

Ketika aku kemudian menemukan kekasih yang kini menjadi suami dan ayah dari anak-anakku, tanpa sadar bom waktu itu terus membesar. Puncaknya, ketika menjadi seorang ibu.. duaarrr. Meledaklah... Aku kehilangan kontrol atas diriku sendiri. Aku berkali-kali melukai anakku. Berkali-kali pula aku meminta maaf padanya. Sampai detik ini, rasanya teriris ketika melihat Ifa yang masih saja tidak bisa lepas dariku, padahal aku berkali-kali melukainya. Aku harus 'sembuh'. Aku harus bangkit. Apalagi ketika Affan lahir.. Aku nggak mau anak-anakku tumbuh seperti diriku, memelihara luka, dan dibayang-bayangi oleh inner child sepanjang hidup. Aku nggak mau anak-anakku merasa tidak dicintai, tidak diakui, tidak merasa dibutuhkan sebagaimana apa yang aku rasakan selama ini.

Baca juga: #DuaKacamata; Tidak Diakui Anak? Sakitnya Tuh Di Sini!

Bersahabat dan Mengatasi Inner Child

Saat menerima materi matrikulasi di minggu ketiga ini, aku lagi-lagi dibuat sadar betapa pentingnya mengatasi inner child. Bahkan hal itu merupakan sebuah kewajiban yang seharusnya dilakukan SEBELUM MENIKAH. Jadi ingat pesan salah satu guruku, bu Dyah Indah Noviyani - pemilik Sekolah Bintang Juara sekaligus psikolog... "seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya, akan semakin menjadi ketika menikah dan memiliki anak." Dan, itulah yang terjadi padaku.


Terlambat? Ya, buatku ini sangat terlambat. Namun bukankah lebih baik terlambat daripada tidak berupaya sama sekali? 

Tahu nggak, tamparan keras yang kudapat akhir-akhir ini adalah ketika membaca postingan instagram Chiki Fawzi yang tidak lain putri dari Marissa Haque dan Ikang Fawzi. Aku nggak mau membahas segala tingkah mbak MH karena semua pasti sudah tahu beritanya... tapi saat berita itu mencuat, ada desir halus yang kurasakan.. "ada yang belum selesai dengannya..." Begitu pula denganku.

Membaca postingan instagram mbak Chiki aku menangis sejadinya, membayangkan kalau suatu saat Ifa yang menulis itu semua. Well, aku tidak ingin menjadi ibu yang sempurna, karena memang tak akan ada yang bisa menjadi sempurna.. at least, aku ingin anak-anakku tidak mencecap luka. Jikalau pun saat ini sudah ada luka yang kutorehkan, aku ingin segera memperbaikinya. Dan aku tahu waktuku tak banyak, aku harus bergegas. 

Alhamdulillah wasyukurillah, aku bertemu dengan satu per satu komunitas yang bisa membuatku bertumbuh lebih baik. Teman-teman baru yang positif dan memberikan dukungan moril untukku berbenah, menjadi sumber kekuatan dan mengisi warna baru dalam hidupku. Salah satunya ketika bergabung dengan Institut Ibu Profesional (IIP) dan mengikuti kelas matrikulasi.

Aku sudah sangat sadar untuk bisa mengatasi inner child, maka yang aku perlukan adalah menerima masa lalu dengan segala suka dukanya, memaafkan segala kesalahan orang tua yang sengaja ataupun tidak sengaja mereka lakukan, memaafkan kesalahan pasangan yang sengaja ataupun tidak sengaja dilakukannya termasuk memaafkan diri sendiri atas hal-hal buruk yang pernah terjadi. 

Kalau kita tidak bisa tertawa berkali-kali dengan lelucon yang sama, kenapa juga kita harus sedih berkali-kali untuk hal yang sama?
Sentilan manis dari mbak Indah Laras, teman sekelasku di Matrikulasi IIP batch #4 sengaja kuabadikan di status Facebook dan blog ini. Sebagai pengingat.. bahwasanya moving on adalah hal penting dalam hidup. Masa lalu, tengoklah seperlunya - sebagai pembelajaran. Hidup adalah tentang hari ini. Lakukan yang terbaik, karena langkah yang kita ambil hari ini sangat menentukan kehidupan kita esok hari.



Dari mbak Putri, fasilitator kelas matrikulasi yang kuikuti, aku pun mendapat tips keren untuk mengatasi inner child. Mbak Putri mendapatkan materi ini dari hasil diskusi bersama Ustadz Harry Santosa dan Ustdz Aad. I'll share it to you, pals..


Warisan pengasuhan masa lalu dalam dunia psikolog sering disebut Inner Child, kadang sehebat apapun ilmu parenting atau psikologi yang kita pahami, tetap saja di tataran praktis yang kita pakai adalah apa yang pernah kita alami ketika kecil. Misalnya, kita tahu membentak dan menjewer itu buruk, namun ketika kekesalan memuncak maka hilang semua pemahaman, yang ada lagi lagi membentak dan menjewer. Software yang terinstal di masa kecil, sadar atau tidak sadar akan hadir ke permukaan. Sebagaimana ketika kita diminta untuk menggambar pemandangan, apa yang akan kita gambar? Sebagian besar dari kita akan menggambar dua gunung dengan matahari, juga jalan berkelok di bawahnya serta sawah di kanan kiri.
Ada terapinya untuk ini, namun sebaiknya kita menggunakan jalur alamiah dan syar'i yaitu Tazkiyatunnafs, atau pensucian jiwa. Ini perlu waktu, perlu momen, perlu keberanian untuk keluar dari zona nyaman dan instan.
Tazkiyatunnafs adalah bahasa alQuran untuk mentherapy secara alamiah dan fitriyah apa apa yang menyebabkan kita berperilaku buruk. Tiada cara yang baik dan mengakar kecuali memperbaiki jiwa sebelum memperbaiki fikiran dan amal.

Belum pernah ada surat di dalam alQuran dimana Allah bersumpah begitu banyak, sampai 11 kali, kecuali untuk pensucian jiwa "sungguh beruntung mereka yang mensucikan jiwanya" (surat asSyams). 
AlQuran juga mengingatkan bahwa sebelum ta'lim maka penting untuk tazkiyah lebih dulu. Dalam prakteknya paralel saja, karena begitu kita berniat sungguh-sungguh mendidik anak sesuai fitrahnya maka sesungguhnya kita sedang tanpa sadar mengembalikan fitrah kita atau sedang tazkiyatunnafs. 
Dalam buku tarbiyah ruhiyah, pensucian jiwa itu bisa dilakukan dengan 5M;
1. Mu'ahadah - mengingat ingat kembali perjanjian kita kepada Allah. Baik syahadah, maksud penciptaan, misi pernikahan, doa-doa ketika ingin dikaruniai anak, menyadari potensi-potensi fitrah, dan seterusnya.
2. Muroqobah - mendekat kepada Allah agar diberikan qoulan sadida, yaitu ucapan dan tutur yang indah berkesan mendalam, idea dan gagasan yang bernas dalam mendidik, sikap dan tindakan yang pantas diteladani.  Allah lah pada hakekatnya murobbi anak anak kita, karena Allah lah yang memahami fitrah anak-anak kita. Maka kedekatan dengan Allah adalah agar hikmah-hikmah mendidik langsung diberikan Allah untuk anak-anak kita melalui diri kita.
3. Muhasabah - mengevaluasi terus menerus agar semakin sempurna dan sejalan dengan fitrah dan kitabullah, bukan obsesi nafsu dan orientasi materialisme
4. Mu'aqobah - menghukum diri jika tidak konsisten dengan hukuman yang membuat semakin bersemangat dan semakin konsisten untuk tidak melalaikan amanah
5. Mujahadah - sungguh-sungguh menempuh jalan sukses (fitrah) dengan konsisten, membuat perencanaan dan ukuran-ukurannya.
Menuliskan ini aku kembali napak tilas ke masa-masa bersama orang tuaku. Betapa aku terlalu fokus pada keburukan dan air mata, bagaimanapun sebagai orang tua, mereka telah memberikan lebih banyak kebaikan daripada keburukan. Pagi ini, sembari menikmati sahur untuk hari kedelapan di bulan ramadhan, aku mulai menguak  tabir misteri yang Allah simpan. 

Mengapa aku dilahirkan dari rahim seorang ibu Endah Susilaningtyas, buah cintanya bersama bapak Surya Bakti. Dari keduanya lah kemudian tumbuh potensi-potensi diri yang kini aku miliki. Allah ingin aku tumbuh kuat dan menjadi lifetime learner...

Terima kasih, pak.. bu.. telah membesarkan aku. Aku ikhlas menjadi bagian dalam hidup bapak dan ibu. Aku memaafkan segala perjalanan kita yang tak sempurna. Berbahagialah, pak.. bu.. Insya Allah kita berjumpa kembali di jannah-Nya. Aamiin.


Bismillah, semoga dimudahkan setiap usahaku ini demi perbaikan kualitas diri. Inner child, puk puk puk sayang.. come to mama.. thanks for being a part of me, thanks for making me get stronger, let's be best friend.. let's be a good team :).

9 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Paling nyesek sama bagian terakhirnya. Pengen peluk ibuku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga pengen peluk ibuku, tapi udah nggak bisa :(

      Delete
  2. Mom..hiiiks..menyentuh..
    Insya Allah aku pun sudah menerima inner child yang aku miliki pula..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gooood.. Goood... Hehe.. Demi Pengasuhan anak lebih baik ya mom :)

      Delete
  3. Mom..hiiiks..menyentuh..
    Insya Allah aku pun sudah menerima inner child yang aku miliki pula..

    ReplyDelete
  4. iya mbak..lebih baik terlambat daripada sama sekali tidak, tidak ada kata terlambat ya

    ReplyDelete
  5. Mba... belum bisa baca sampe tuntas, kayanya harus nunggu si kecil bobok. Tapi rasanya udah mengena banget. Inner child emang kalo ga ditangani dengan benar bisa jadi hantu buat setiap ibu, terkadang banyak yang ga menyadari bahwa dia punya inner child negatif yang masih kebawa.
    Boleh aku wapri ya mba sola inner child ini, butuh sharing juga 😊

    ReplyDelete
  6. terimakasih ya mba sudah menulis ini, ternyata aku juga menyimpan luka bukan hanya kepada orangtuaku tapi juga saudaraku. terimakasih banyak

    ReplyDelete