header marita’s palace

9 Kesalahan Parenting dalam film Dua Garis Biru, Jangan Sampai Kita Lakukan Ya!



Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Hari Rabu, 17 Juli 2019 lalu, seusai otak memanas karena materi-materi Google for Publisher (GFP) Semarang yang wow banget, aku memilih tidak langsung pulang ke rumah. Sesekali me time-nya dipol-polin boleh lah ya. Langsung aku tancap gas si betty, kuda besiku, menuju XXI Transmart. Kenapa Transmart, padahal lokasi GFP jauh lebih dekat dengan Citra? Karena ngepasin saldo M-Tix ku yang tersisa Rp 39.000, pals… dengan saldo mepet itu, aku nggak bisa beli tiket di Citra, hehe. Dua Garis Biru menjadi pilihanku melepas penat.

Sebuah film yang sempat menjadi kontroversi bahkan sebelum benar-benar dirilis. Broadcast untuk melarang menonton film ini pun bermunculan. Alasannya karena film ini hanya akan mengajarkan budaya pacaran dan sex bebas. Gemes aku tuh, kalau ada hoax semacam ini. Satu orang awal membagikan hoax, dalam sepersekian detik ribuan orang yang nggak pakai mikir langsung ikut-ikutan ngeshare broadcast-nya, padahal nonton filmnya saja belum. Apa kata dunia? Kalau mau menilai baik bagusnya sebuah film, ya tontonlah dulu baru berkomentar! 

Dari awal aku lihat trailernya, aku sih tertarik sama film yang disutradarai oleh Ginatri S Noer. Konon research untuk film ini membutuhkan waktu selama 9 tahun! Means, mbak Gina bikin film ini nggak main-main. So, bagus atau tidak? Kalau soal itu relatif ya, namanya opini orang pasti nggak bisa sama. Contoh nih, bisa dilihat postingannya Si Nahla Halo Terong, Mbak Grace Melia dan mbak Annisast, pendapatnya beragam. Karena setiap orang pasti punya sudut pandang masing-masing saat menontonya. 

Buatku sendiri, film ini cukup baik tidak hanya sebagai TONTONAN namun juga sebagai TUNTUNAN.

Sore itu, studio tempatku menonton Dua Garis Biru full sampai ke kursi terdepan. Mostly sih anak remaja SMA bersama teman-teman se-gank-nya. Ada juga beberapa anak kuliahan bersama pasangannya. Hanya sedikit yang nonton bersama orangtuanya. Kulihat hanya ada satu atau dua keluarga gitu.

Padahal film ini bakal keren dan on point kalau anak dan orangtua nonton bareng, lalu setelahnya berdiskusi tentang isi dari film tersebut. Saat yang tepat untuk menginstall software-software kebaikan terkait adab pergaulan pada anak-anak. 

So, saranku jangan biarkan anak-anak remaja nonton film ini sendirian. Plis dampingi dan ajak diskusi setelahnya. Agar kita tahu apakah mereka bisa mengumpulkan poin-poin sesuai apa yang kita inginkan. Karena berabe kalau mereka nonton sendirian tanpa arahan, lalu konklusinya... "Ooh, pacaran itu nggak papa," "selama ortu ndukung hamil di luar nikah nggak masalah," "kita masih bisa sekolah dan nglanjutin cita-cita meski hamil," dsb.

No no.. tak semudah itu Ferguso.. karena dunia nyata tak seindah Bima yang mau tanggungjawab. Betapa ngasuh anak nggak segampang ngasihin  bayi ke mertua. Jangan dipikir semua mertua bisa sesayang dan semendukung di film. Hamil di luar nikah is a big problem ya, teman-teman remaja. Itu baru ngomongin soal dunia. Belum dosanya. So, parents.. plis yang punya anak-anak remaja. Dampingi dan ajak ngobrol anak-anak setelah nonton! W.A.J.I.B! 

Well, di postingan ini aku nggak mau bahas detail soal aktingnya para pemain atau pun hendak membagikan spoilers dari film berating 13+ ini. Meski kayanya tetap ada bocoran-bocoran jalan ceritanya sih. Secara keseluruhan, sinematografinya cukup bagus, tek tok antar pemain juga klik banget, chemistry-nya keren, emosinya dapat… 8.5 of 10! Alhasil film ini berhasil bikin aku sesenggukan parah, hampir sepanjang film!

Bener kata mbak Grace Melia, bahwa nggak perlu merasakan pernah hamil sebelum nikah dulu kok untuk bisa relate sama film ini. Terutama sebagai seorang yang sudah punya anak, perasaan kita bakal diaduk-aduk sama film ini. Di sepanjang film, aku hanya bisa berpikir… naudzubillahi min dzalik… kalau anakku mengalami jalan hidup seperti Bima dan Dara, what should I do? Mau nggak mau memang jadi semikir itu setelah nonton ini. 


Aku lalu jadi ingat fragmen-fragmen masa remajaku. Alhamdulillah nggak pernah mengalami married by accident (MBA), tapi nggak bisa dibilang juga kalau gaya hidupku saat itu baik-baik saja. Pikiranku langsung melayang pada suatu masa, di usia 2-3 tahun pernikahan ketika aku sedang merasa down karena berulangkali keguguran, sementara ada teman-teman dekatku yang belum menikah malah diberi kesempatan hamil. Saat itu aku bilang sama suami, “tahu gitu dulu kita MBA aja ya yank? Daripada nikah malah nggak punya-punya anak.” 

Huss, kalau ngomong yang bener.” Suami menegurku dengan keras. Astaghfirullahal’azim. Saat melihat Dua Garis Biru, aku istighfar berulangkali, menyesal pernah berpikiran seburuk itu. Ya Allah, apa jadinya kalau saat itu aku beneran MBA, bagaimana sedihnya ibu dan bapak. Pasti mereka akan sangat terpukul dan merasa sangat bersalah, merasa gagal membesarkan anak perempuannya. Belum lagi rasa bersalah dalam diriku yang mungkin akan terus membayangi seumur hidup. Nggak MBA aja rasanya kotor banget pernah ngalami masa-masa jahiliyah. 

Belajar Parenting dari Dua Garis Biru


Wokay sudah terlalu panjang opening-nya, kini saatnya membongkar 9 kesalahan parenting yang bisa kita dapati lewat film dengan aktor utamanya Zara JKT 48 dan Angga Aldi Yunanda ini. Semoga kita belajar dari kesalahan tersebut dan berusaha memperbaiki pola asuh ke anak-anak, sehingga anak-anak bisa terhindar dari pergaulan bebas, narkoba, dan segala macam masalah lainnya.

1. Tidak Memberikan Batasan yang Jelas kepada Anak


Satu hal yang langsung menyentilku di scene-scene awal film ini adalah ketika Dara dan Bima begitu bebasnya ‘berpacaran’ di dalam rumah Dara. Tidak adakah orang di rumah saat itu? Tidak adakah peraturan tentang membawa teman ke rumah.


Satu yang kupelajari dari pola pengasuhan ibu kepadaku adalah melarangku membawa teman ke dalam kamar tidur, meskipun temanku berjenis kelamin sama denganku. Jika mau main, mainlah di ruang tamu, di tempat publik yang bisa diawasi oleh orang lain. Hal yang sama juga kuterapkan pada anak-anakku sekarang. Bahkan setiap kali anakku pamit main ke rumah teman, aku nggak lupa berpesan, “jangan main di dalam kamar. Mainlah yang aman. Mainlah di mana ada orang dewasa yang bisa mengawasi kalian. Kalau nggak ada orang, pulanglah!”

Dulu aku tak paham mengapa ibu memberikan aturan tersebut kepadaku. Toh, yang main ke rumah anak-anak cewek, kenapa nggak boleh diajak main di dalam kamar. Saat itu memang ibuku nggak kasih full explanation, dan aku juga nggak banyak tanya sih. Nggak boleh, ya udah manut. Baru setelah jadi orangtua, aku memahaminya.

Jangankan membawa teman berbeda jenis kelamin ke dalam kamar, ngajak teman berjenis kelamin sama pun bisa membawa masalah yang bisa jadi juga genting nantinya. Kasus-kasus LGBT seringkali tidak terdeteksi karena orangtua nggak aware tentang batasan ini. Bawa pulang teman yang sama-sama cowok, atau sama-sama cewek, nggak dicek di dalam kamar ngapain… dan ujung-ujungnya ternyata pasangan gay dan lesbian. Ngeri kan?

So, buatku melarang anak main di dalam kamar pribadi adalah salah satu rule yang harus ada di rumah. 

2. Memberi Peluang Pacaran


Aku termasuk sosok orangtua yang akan melarang anak-anakku pacaran, karena dalam kepercayaan yang kuanut pacaran adalah sesuatu yang dilarang. Sebagai orang yang pernah merasakan masa-masa jahiliyah, salah satu hal yang sangat kusesali adalah PACARAN! That’s why aku berharap anak-anakku nggak merasakan penyesalan yang sama denganku.


Tentu saja aku nggak mau jadi orangtua diktator yang langsung bilang, “pokoknya nggak boleh pacaran, bla bla bla.” Aku pengennya sih nanti saat anak-anak remaja, mereka tetap bisa ngobrol asyik denganku, tetap bisa terbuka tentang perasaannya pada lawan jenis, bisa tetap diskusi soal cinta dan sayang, sehingga aku bisa menginstall software “say no to pacaran” dengan cara yang smooth tapi mengena, dan lalu membiarkan mereka menentukan pilihan dari hasil-hasil obrolan kami. Mungkin salah satunya bisa dengan mengajak anakku nonton Dua Garis Biru, hehe. Semoga saja saat anak-anakku remaja, film ini masih bisa dicari secara streaming ya.

Ada satu adegan yang bikin aku tersenyum kecut. Yaitu saat Lulu Tobing yang berperan jadi mamanya Dara, membercandai anak gadisnya saat Bima datang ke rumah. “Ciee, pacarmu ya? Ganteng juga. Kayanya anaknya sopan dan baik ya?” Aku lupa kalimat tepatnya gimana, tapi intinya seperti itu. Kan sering banget ya kita temui, orangtua zaman sekarang yang sok-sokan ngece anaknya soal pacaran. Jika setelah mengolok-olok anak, kemudian bisa membuka kesempatan ngobrol tentang pacaran dari A to Z sama anaknya sih bagus. Tapi kalau hanya sekedar ngece tanpa arahan, bukankah akhirnya sang anak justru bisa jadi menangkap pesan seperti ini.. “ooh, jadi mama bolehin aku pacaran.

So, berhati-hatilah dengan bercandaan kita ya, parents… jangan sampai justru membuka peluang hadirnya masalah baru. Sebagaimana pada akhirnya mama Dara marah-marah dan sangat menyesal ketika tahu anaknya hamil. 

3. Tidak Banyak Mendengar dan Memberi Anak Kesempatan Bicara


Satu hal yang masih jadi PR-ku juga nih. Lebih banyak bicara daripada mendengar. Padahal anak-anak pun juga membutuhkan telinga dan hati kita untuk mendengar dan menerima segala hal yang terjadi dan dirasakan oleh mereka. 



Bima pulang ke rumah dengan wajah yang sangat kuyu. Saat itu ia baru tahu kalau Dara mengandung anaknya. Saking takutnya, ia kabur saat Dara mengajaknya bicara, motornya pun sampai ditinggal di sekolah. Bima benar-benar kalut, bingung, nggak tahu harus bagaimana. Dalam hati ingin meluapkan kebingungannya pada kedua orangtua, tapi nggak tahu bagaimana harus memulainya.

Sementara Cut Mini yang memerankan ibu Bima, terus nyerocos melihat anaknya pulang tanpa membawa sepeda motornya. Ia menuduh Bima kecanduan narkoba seperti anak tetangganya. Bima yang sedang kalut, semakin jengkel dipojokkan oleh ibunya. Ia pun marah dan lari ke kamarnya. Syukurlah Bima punya bapak yang cukup bijak. Dari obrolan bapak dan anak ini terlihat hubungan mereka cukup dekat, meski tetap saja si bapak kecolongan perilaku anaknya.

Benar-benar menggambarkan reality orangtua segala zaman. Ngoceh dan ngomel kaya gerbong kereta. Ketika anaknya bosen diceramahi melulu, lalu mingser masuk ke kamar, eh kitanya marah-marah. Ya kali siapa yang nggak bosan diceramahin melulu kan?

Rumus dari Abah Ihsan yang selalu kuingat, jika ingin menasehati anak, keluarkan dulu isi kepala dan hatinya. Karena ketika kepala dan hatinya masih penuh, bagaimana mungkin kita bisa mengisinya dengan nasehat-nasehat. Sesuatu yang baik sekalipun tidak akan berfaedah ketika tidak dilakukan dengan teknik yang tepat. Dengarkan dulu curahan hatinya, netralkan kejengkelannya, barulah bisa diisi dengan software-software kebaikan.

4. Terlalu Reaktif dan Emosional


Jangankan anak hamil di luar nikah, anak mecahin gelas saja reaksi kita bisa jadi sangat emosional. Jika dari hal-hal kecil kita tidak belajar cara bereaksi dengan tepat, maka saat terjadi hal-hal yang besar akan seperti apakah kita menghadapinya. 

Kejadian-kejadian tak terduga dalam hidup tentu sudah sewajarnya jika kita mengalami shock. Namun dengan mencoba berlatih how to react about some bad problems, kita bisa lebih cepat menggunakan akal sehat daripada emosi kita. Apakah dengan membentak-bentak anak, menamparnya… masalah tersebut selesai atau hilang? Tidak kan? Malah mungkin timbul masalah baru lagi. 

Terlalu emosional justru akan membuat kita semakin menyangkal. Namun dengan mencoba tetap tenang, insya Allah kita akan lebih bisa menemukan jalan keluar dengan lebih cepat. 

5. Kurang Banyak Mengajak Anak Ngobrol



Kalau saja kita dulu lebih sering ngobrol begini, pasti nggak bakal kejadian ya, Bim.” Lagi-lagi aku lupa bagaimana kalimatnya yang tepat. Saat itu Bima duduk di dekat ibunya yang sedang membungkusi pesanan snack, Bima meminta maaf pada ibunya. Lalu mereka saling mengobrol dari hati ke hati.

The power of ngobrol itu dahsyat lo, parents. Jangan abaikan momen-momen ngobrol dengan keluarga. Bahkan dari ngobrol remeh-temeh, dampaknya akan sangat luar biasa. 

Aku jadi ingat anak tetangga yang terjerat pergaulan anak jalanan, saat kami berbincang aku bertanya padanya, “di rumah sering nggak sih ngobrol sama bapak ibu?” Ia menggeleng dengan pandangan kosong. Lalu ia menjawab kalau ibunya asyik nonton sinetron, bapaknya asyik di dalam kamar mainan HP. Dan nggak bisa dipungkiri kalau hal tersebut banyak kita jumpai, bahkan mungkin juga di rumah-rumah kita. 

Aku pernah menyarankan soal ngobrol ini pada salah seorang tetanggaku. Beliau lalu menjawab, “udah sering kok saya nasehati, tapi ya gitu anaknnya memang angel.” Itulah salah kaprahnya. 

Ngobrol dan ngomongin anak itu berbeda. Ngobrol itu dua arah, baik anak dan orangtua saling berbicara dan mengungkapkan perasaan masing-masing. Sementara ngomongin anak itu kita ngomel sesuka hati kita, tanpa mendengarkan pendapat si anak. 

So, mulai sekarang mari kita banyak ngobrol sama anak, pals.


6. Tidak Menjadi Role Model yang Baik


Dara, kalau sama Mama itu ngomongnya nggak perlu pakai nada tinggi gitu dong.” Ujar Dwi Sasono, pemeran Papa Dara kepada Dara.

Papa juga sering begitu.” Dara menjawab singkat dan tegas, lalu membanting pintu kamarnya.



Orangtua seharusnya menjadi role model bagi anaknya. Perilaku anak sesungguhnya adalah cerminan dari perilaku dan pola asuh kita. Jadi ketika anak bertindak kasar, sengak, nyebelin.. jangan langsung jengkel duluan. Coba cek lagi, siapa tahu sebenarnya selama ini seperti itulah kita berperilaku, dan anak-anak meniru apa yang kita lakukan.

That’s why kalau mau punya anak sholih, ya orangtuanya kudu sholih duluan. Nggak mau punya anak kasar, bicaranya keras dan ngeyelan, tapi tanpa kita sadari seperti itulah perilaku kita. 

7. Memaksakan Pilihan dan Tidak Berdiskusi


Dua perbedaan pola asuh antara keluarga Dara dan Bima terlihat nyata. Dalam keluarga Dara, mamanya lebih dominan dari papanya. Semua keputusan sang mama harus menjadi keputusan dalam keluarga. Jangankan Dara, sang suami pun sering tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Sedangkan di keluarga Bima, ayahnya selalu melibatkan sang istri dan anak-anaknya di setiap keputusan yang diambil. Semua itu nampak saat mereka sedang mencari jalan keluar tentang anak yang dikandung oleh Dara.

Dan sesungguhnya tidak usah sebesar kasus Dara, di rumah-rumah kita pun mungkin soal memaksakan pilihan bisa jadi sering terjadi. Misal soal memilih baju yang mau dipakai pergi, memilih tas baru, atau memilih jurusan kuliah, banyak sekali orangtua yang memaksakan pilihan pada anak-anaknya, tanpa mengajak mereka berdiskusi. Anak-anak punya hak untuk didengar, punya pandangan yang harus dihormati, jadi ayo mari belajar untuk mendengar pendapatnya dan mengajak mereka berdiskusi. Kalaupun pendapatnya adalah sesuatu yang tak bisa kita terima, setidaknya kita bisa menjelaskan dengan cara yang baik apa saja resikonya dan bukan melakukan pemaksaan.

8. Kurangnya Penanaman Agama dan Pendidikan Adab Pergaulan


Film ini benar-benar menampar para orangtua. Diceritakan di sini kalau bapak dan ibu Bima adalah sosok yang saat taat beragama, bahkan bapaknya pun ketua RT di lingkungannya dan sangat disegani. Digambarkan bagaimana sosok bapak Bima ini selalu mengingatkan anak-anak di lingkungannya untuk sholat ketika azan berkumandang. Jika anak orang lain saja diingatkan, apalagi Bima kan?

Tapi kok bisa Bima sampai melakukan perzinahan? Pembelaan pertama tentu saja manusia bisa khilaf. Bima meskipun bukan anak yang pintar, tapi doi sosok yang baik kok. Bukan sosok begajulan yang suka ngrokok, nongkrong di pinggir jalan lalu malakin orang. Bima dan Dara pun melakukan ‘kesalahan’ itu cuma sekali. 

Meski sekali tetap saja berdosa kan? Kalau ngomongin dosa ya pastilah dosa. Itulah sebenarnya PR para orangtua, termasuk aku, saat ini. 


Mengajari beragama itu bukan sekedar mengajarkan skill beragama; sholat, ngaji, hafal surat pendek, wudhu, dsb. Namun juga bagaimana bisa menanamkan keimanan dan aqidah yang kuat di dalam diri anak-anak. 

Jadi jangan bangga kalau anak sudah bisa hafal quran sejak PAUD, anak sudah sholat 5 waktu sejak TK, anak sudah nutup aurat sejak bayi… itu bukan standar bahwa kelak anak kita akan beriman.

Bukankah sebelum 7 tahun tidak ada kewajiban apapun untuk anak-anak. Fitrahnya usia 0-7 adalah usia bermain. Secara fitrah, anak-anak telah mengenal Tuhannya di rentang usia tersebut. Tugas kita adalah memahamkan dengan cara yang tepat. Bukan sekedar dengan meminta anak menghafal surat-surat pendek, gerakan sholat, dsb… namun justru di usia-usia awal ini kita tanamkan tentang keimanan; Khatamkan tentang Asmaul Husna, kisah-kisah Nabi, khatamkan tentang kecintaan pada Allah dan rasulNya.

Jika keimanan anak-anak tumbuh kuat sejak dini, lalu dilanjutkan dengan pembiasaan skill-skill beragama mulai usia 7 tahun, insya Allah saat usia 10 tahun, anak sudah paham akan kewajibannya sebagai hamba Allah. Jangankan pacaran, melirik lawan jenis aja takutnya bukan main.. karena mereka tahu aturan dan resikonya.

Menggegas sesuatu yang belum waktunya bukanlah suatu hal yang baik. Kalau ada yang bilang bayi dilahirkan tanpa manual book, aku tak sependapat. Sebagai seorang muslim, Allah telah menurunkan Al Quran sebagai manual book, termasuk juga soal cara mengasuh anak. Tinggal kita mau nggak ngikutin caraNya. Begitu juga soal adab pergaulan. Semua sudah diatur sangat komplit dalam Islam. Pertanyaannya, sudah tahu dan sudah melaksanakannya atau belum?


9. Mengejar Ambisi Pribadi dan Melupakan Hak-hak Seorang Anak


Jika ada yang tak kusukai dari Dua Garis Biru, maka itu adalah endingnya. Kalau aku jadi mamanya Dara, I’ll not let her go dan memberikan semua tanggungjawab kepada Bima beserta keluarganya. Ya, meski endingnya sebenarnya cukup open.. boleh juga dibilang nggantung… bisa aja kan itu mobil Dara tiba-tiba berbalik arah dan akhirnya doi nggak jadi pergi? Wkwk. Ya kali sutradaranya bikin begitu, biar penonton memang sengaja bikin pengandaian-pengandaian tertentu.



Satu hal yang aku pelajari saat menjadi orangtua; menghentikan ambisi pribadi. Ambisi lo ya, bukan cita-cita. Jujur aku nggak ngerti kenapa harus ke Korea, apakah pendidikan di Korea sebagus itu, sampai Dara pengen banget kuliah di sana? Atau hanya karena doi pengen ketemu oppa-oppa idolanya? Emang dia mau kuliah jurusan apa sih, sampai harus di Korea, memangnya di Indonesia nggak ada jurusan itu? Sampai akhir film aku sama sekali nggak ngerti kenapa harus Korea. Kecuali kalau itu Harvard, masih masuk akal diperjuangkan. But Korea? Jadi ingat Sky Castle dan pendidikan Korea yang nggak ada jauh beda sama Indonesia.

Kalau aku emaknya Dara, aku akan tetap mendukung keinginannya untuk kuliah…. tapi tidak di Korea. Silakan kuliah di Indonesia, toh banyak universitas bagus juga di sini. Apalagi keluarga mampu, bisa lah bayar kuliah di universitas swasta dengan kualitas bagus. Kenapa nggak di Korea? Karena dia harus tetap bertanggungjawab untuk membesarkan anaknya sendiri. 

Nanti Adam bakal ngerti nggak ya soal keputusanku?” Pertanyaan bimbang Dara sebelum akhirnya benar-benar terbang ke Korea. Mungkin anaknya akan mengerti, tapi bisa jadi luka merasa ditinggal dan merasa tidak berarti serta tidak diinginkan muncul di dalam dirinya. Luka yang tak terobati ini bisa membentuk konsep diri negatif ke depannya. 

Aku cuma mo bilang, setiap individu pasti punya cita-citanya masing-masing. Namun ketika kita menjadi orangtua, jangan sampai keputusan yang kita ambil menoreh luka di hati anak-anak dan merampas hak-hak anak. Salah satu hak anak yang sering terampas adalah mendapatkan waktu yang berharga dari kedua orangtuanya. Semoga kita termasuk orangtua-orangtua yang tetap bisa memenuhi hak-hak anak. Aamiin.

Well, sebuah pesan utama yang disampaikan Dua Garis Biru; menjadi orangtua itu nggak gampang, karena orangtua itu pekerjaan seumur hidup. Karena orangtua adalah pekerjaan seumur hidup, maka sudah pasti belajarnya pun juga seumur hidup. Jadi pleaaseee, jangan pernah lelah untuk belajar menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak kita. 

Buat adik-adik remaja, menikah dan punya anak itu nggak segampang mbalikin telapak tangan, nggak seindah dan semudah di film-film. Ketika kami  yang menikah dengan rencana matang saja bisa jadi belum siap menjadi orangtua, apalah lagi kalian? So… nikmati masa muda kalian, belajarlah dengan benar, bergaullah dengan bijak dan berprestasilah sebaik mungkin. Lakukan hal-hal terbaik dalam hidup kalian. Hal-hal yang tak akan pernah kalian sesali seumur hidup.

Namun seandainya Dua Garis Biru itu harus jadi takdir hidup salah satu dari kita, stop blaming yourself. Sebuah pesan menyejukkan dari Ibu Bima pada putranya, “jika ibu saja perlahan bisa memaafkanmu, Allah pun pasti juga akan memaafkanmu.” Allah Maha Pemaaf, mari kita bertobat dan perbaiki kesalahan yang telah diperbuat. Kita tetap bisa melanjutkan hidup, meski akan ada banyak hal berbeda… namun yakinlah cahaya itu masih ada.

Buat para orangtua yang mungkin mengalami hal tersebut. Sangat berat pasti menghadapinya. Apalagi jika kita telah merasa berikhtiar sebaik mungkin untuk menjaga anak-anak agar terhindar dari pergaulan bebas. Terima takdir tersebut, bukankah Allah selalu memberikan kesulitan lengkap dengan jalan keluarnya? Serahkan semua padaNya, ikuti semua rencanaNya, insya Allah akan ada pelangi setelah hujan.



Setelah nonton ini, mungkin banyak ketakutan hadir di dalam diri para orangtua. Parents, tugas kita sebagai orangtua hanyalah berikhtiar sebaik mungkin, sekuat yang kita bisa. Namun sejatinya sebaik-baik Pengawas dan Penolong adalah Allah. Maka, setelah semua ikhtiar kita usahakan, tidak ada parenting terbaik selain munajat-munajat panjang para orangtua untuk anak-anaknya. Jangan lepaskan anak-anak tanpa doa-doa, karena bisa jadi kelak doa-doa itulah yang akan menjadi penyelamat bagi mereka.

Akhir kata, let’s build Indonesia strong from home!

Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

5 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Baca tulisan ini bikin aku inget, bahwa ternyata PR-ku masih buanyaaaakkk mbak. Hiks. Makasih sudah menamparku mbak :(

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah dapat ilmu baru lagi, makasih banyak Mbak Ririt...😊

    ReplyDelete
  3. Jadi inget gimana pentingnya menanamkan fitrah seksualitas anak semenjak dini ya mbak

    ReplyDelete
  4. Saya termasuk salah satu penonton yang cukup senang dan memberikan respon positif terhadap film ini. Film ini banyak memberikan pesan moral bagi remaja dan orangtua. Tulisan yang sangat informatif, Mbk ...

    ReplyDelete
  5. Masha Allah mbak, reviewnya bagus sekali, banyak ilmu yang saya dapat. Mantul mbak hehe

    ReplyDelete