Yuhuu,
tema One Day One Post-nya hari ini bebas alias tidak ditentukan. Kali ini aku
mau ngobrolin soal LGBT aah. Tau kan ya LGBT? Kali ini aku lagi nggak ngaco kok
bikin singkatan baru. Yup, Lesbian, Gay, Biseksual and Transgender. Eits…
santai, jangan langsung serius gitu dong. Raut mukanya biasa saja, sikap
duduknya nggak usah diubah juga… rileks, kaya di pantai, hehe.
Beberapa
waktu lalu topik tentang LGBT memang sempat memanas banget ya di negeri
tercinta kita ini. Baik yang pro ataupun kontra sama-sama alot dan kekeuh
memegang opininya masing-masing. Pihak yang pro memberikan segudang alasan,
dari yang katanya ilmiah sampai soal pelanggaran hak asasi manusia. Pihak yang
kontra pun tak mau kalah aksi, terutama mereka yang mengusung dalil-dalil
agama.
Tapi
saat ini aku tidak berminat membahas soal pro dan kontra pada LGBT, karena ada
permasalahan yang lebih pelik dari sekedar gembar-gembor soal hal itu; tentang
bagaimana memberikan perlindungan dan penjelasan kepada anak-anak kita
menyangkut isu tersebut.
Kalau
ada yang tanya bagaimana sikapku tentang isu ini? Dengan tegas aku akan bilang,
aku punya agama, dan di agamaku sudah jelas mengatur hal tersebut. Namun tidak
berarti aku sekonyong-konyong menghujat mereka.
Hidup
kita sudah benar atau belum itu tidak bisa dilihat dari masa lalu dan saat ini.
Bisa jadi mereka yang terlihat begitu buruk di mata kita saat ini, di masa yang
akan datang justru bisa bertransformasi menjadi sosok yang lebih baik. Bahkan
yang nampaknya sekarang begitu baik, belum tentu di akhir hidupnya masih tetap
baik.
Kesuksesan
manusia yang sebenarnya hanya akan nampak setelah mati. Maka, tak usahlah
berbangga-bangga diri dengan segala amalan yang sudah kita punya. Tak perlulah
pula sibuk menghujat orang lain dengan ini itu, apalagi jika kita tidak memberikan
kontribusi apapun. Sosok berikut ini nampaknya bisa memberikan kita inspirasi
dalam menanggapi fenomena LGBT; Sinyo Egie.
Kak
Sinyo Egie melalui Peduli Sahabat mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk
lebih mengenali, memahami dan mengajak “mereka” pulang. Ya, pulang, kembali ke
fitrahnya. Dan fitrah manusia, mereka hidup berpasang-pasangan berlainan jenis.
Beruntung
sekali pada 21 Maret 2016 lalu, aku berkesempatan untuk belajar dan mendengarkan
ide-idenya secara langsung dalam seminar yang bertajuk “Deteksi Dini Orientasi Seksual Anak sebagai Upaya Mencegah Fenomena
LGBT: Kenali dan Atasi Sejak Dini.” Acara tersebut digelar oleh Fatayat NU
di Aula PWNU Jawa Tengah Semarang yang letaknya di Jalan Dr. Cipto, persis di
seberangnya SMK Negeri 5.
Siapakah Sinyo Egie?
Ketika
belum bertatap muka dengannya, aku membayangkan sosoknya sipit, berbadan besar.
Eeh, pas lihat langsung, penampilannya ikhwan banget, lengkap dengan kopiah dan
jenggotnya. Tapi saat doi menyampaikan materinya, gokiiil abis.
Laki-laki
kelahiran Magelang, 22 Oktober 1974 ini bernama asli Agung Sugiarto. Karena
biasa dipanggil Sinyo oleh keluarga dan teman-temannya, maka dipakailah Sinyo
Egie sebagai nama pena.
Sebelum
aktif berkecimpung sebagai konselor yang mendampingi para penyuka sesama jenis
dan mendirikan Peduli Sahabat, dulunya ia sempat bekerja di salah satu perusahaan
Internet Service Provider.
Sembari
bekerja, ia juga aktif menulis. Beberapa karya yang telah dihasilkannya antara
lain “Anakku Bertanya tentang LGBT” dan “Pendidikan Anak Usia Dini ala Luqman.”
![]() |
Gambar diambil dari blog kak Sinyo |
Kecintaannya
menulis lah pula yang membawanya ‘terjebak’ pada dunia yang digelutinya saat ini.
Pada 2008, ia berencana untuk ikut sayembara menulis buku yang diadakan oleh
sebuah publisher. Tema yang harus dipilih dalam sayembara itu ada tiga; pekerja
seks komersil, perselingkuhan dan homoseksual. Setiap tema yang dipilih harus disertai
dengan narasumber yang asli.
Saat
itu kak Sinyo berpikir jika ia mengambil tema yang kedua dan ketiga sudah
terlalu mainstream. Mencari narasumber untuk kedua tema tersebut jauh lebih
kecil tantangannya dibandingkan ketika mengambil tema yang ketiga. Bisa
dipastikan saingan di kedua tema pertama sangat membludak. Akhirnya ia pun
nekat untuk mengambil tema yang ketiga.
Dalam
proses penggarapan buku bertema
homoseksual ini, perjuangannya jelas tidak mudah. Nggak mungkin kan ia
mendatangi dan menanyai setiap lelaki yang dia kenal atau tanpa sengaja ketemu
di jalan, “Mas homo nggak?”
Dia
pun mulai masuk ke forum-forum yang terindikasi sebagai forum berkumpulnya para
gay. Di setiap forum yang didatangi ia menuliskan, kurang lebih seperti ini “Dicari
gay muslim yang mau sembuh sebagai sumber penyusunan sebuah buku.”
Bukan
tanggapan positif yang ia terima, justru hujatan dan cacian yang ia dapatkan. Sampai
kemudian ia berhasil masuk ke sebuah forum “Hijrah
Euy”. Forum tersebut dibuat oleh seorang psikolog asal Surabaya, merupakan
sebuah perkumpulan para gay muslim yang merasa galau dan tidak ingin terjerat
hawa nafsu yang menyesatkan itu. Singkat cerita, dari psikolog inilah kemudian
kak Sinyo mendapatkan data-data mengenai penyuka sesama jenis.
Dari
sinilah kemudian ia berpikir, kalau bukan kita yang membantu mereka, maka siapa
lagi? Bukankah tugas manusia di dunia sudah sangat jelas; saling menasehati
dalam kebenaran dan kesabaran. Maka sejak tahun 2008 itulah, kak Sinyo membuka
diri untuk menjadi konselor bagi mereka yang memiliki orientasi seksual sesama
jenis untuk kembali ke fitrahnya melalui Peduli Sahabat.
Tujuan
didirikannya Peduli Sahabat adalah sebagai wadah untuk mendampingi orang
non-heteroseksual yang ingin hidup di jalan agama dan adat setempat. Apalah mereka
nanti berubah orientasi seksualnya itu bukan tujuan utama, hanya efek saja.
Tujuan utama adalah mereka bisa hidup secara identitas hetero dan nyaman di
jalan agama dan adat setempat. Selain mendampingi para pelaku SSA, Peduli
Sahabat juga mendampingi pihak keluarga (orangtua, anak, saudara kandung) yang
bingung menyikapi saat anggota keluarganya ada yang mempunyai SSA. Juga
mendampingi para suami atau istri yang pasangannya mempunyai SSA.
Pada
acara tanggal 21 Maret lalu, kak Sinyo Egie berpesan “jangan melawan mereka yang pro LGBT dengan alasan apapun. Semakin kita
ngotot, semakin kita nggak didengar. Semakin kita keras, justru semakin tidak
didengar. Berdakwalah dengan baik dan santun. Hanya Allah yang bisa membukakan
hati-hati tertutup itu. Tugas kita hanya menjadi pendengar dan mengajak yang
mau benar-benar sembuh.”
Cikal Bakal LGBT
“LGBT
dan Same Sex Attraction (SSA) itu berbeda,” begitu kak Sinyo memaparkan. LGBT
itu identitas sosial, sedangkan SSA adalah orientasi seksual, dan kedua hal
tersebut sangat berbeda. Berikut kutipan dari handout seminar yang memuat FAQ
mengenai hal ini, “LGBT adalah identitas
sosial, semacam penerimaan diri, pencitraan, identitas formal (KTP, KK, dll),
aktualisasi diri yang hadir sebagai lawan dari identitas hetero. Itulah kenapa
kaum LGBT juga ingin diakui eksistensinya sebagai kaum hetero seperti persamaan
pengakuan di mata masyarakat, persamaan legalisasi pernikahan dan lain
sebagainya.”
Sedangkan
di sisi lain “SSA itu orientasi seksual sesama
jenis. Misalnya ada orang yang mempunyai SSA dan pernah melakukan tindakan seks sesama jenis tetapi
dia tidak ingin menjadi LGBT maka kita tidak bisa menyebutnya sebagai LGBT.
Mudahnya, seorang SSA belum tentu LGBT, tapi kalau LGB sudah pasti mempunyai
SSA.”
Orientasi
(ketertarikan) seksual seseorang itu bisa kita samakan dengan “niat.” Sebagai
manusia, seringkali dalam diri kita muncul niat baik dan buruk. Namun tidak
selamanya niat buruk itu diteruskan hingga membuahkan sebuah perbuatan yang
buruk. Tidak jarang malah kita kemudian menepis niat buruk itu karena menyadari
hal tersebut tidak baik dilakukan. Tentunya ukuran baik dan buruk ini harus
sesuai dengan aturan agama.
Dalam
Islam kita telah belajar bahwa dengan memiliki niat baik kita telah mendapatkan
pahala, apalagi jika kemudian niat itu benar-benar terlaksana. Namun berbeda
halnya dengan niat buruk. Niat yang buruk tidak akan dijatuhi dosa jika belum
dilaksanakan. Bahkan jika niat buruk itu berhasil ditepis dan ditahan, kita
akan mendapatkan pahala atas kemampuan mengendalikan hawa nafsu.
Nah,
begitu juga dengan SSA, selama itu masih menjadi niat maka tidak akan berdosa.
Namun ketika itu telah diaplikasikan dalam bentuk tindakan, maka tindakannya
itu yang dihukumi dosa.
Maka
bayangkanlah jika mereka yang memiliki orientasi seksual sesama jenis menyadari
hal ini. Berapa banyak pahala yang akan bisa mereka kumpulkan dari menepis
setiap niat buruk yang hadir dan mengendalikan hawa nafsu tersebut.
Emang
bisa gitu orang dengan SSA ini sembuh? Dengan niat dan keinginan yang kuat, Kak
Sinyo membuktikan bahwa para pelaku SSA bisa kembali menjadi heteroseksual. Di
Peduli Sahabat telah ada tiga orang yang berhasil “pulang.
Makanya
jika nanti kita ketemu dengan orang yang tiba-tiba mengaku pada kita bahwa ia
adalah seorang SSA, jangan langsung dituding sebagai LGBT dan didakwahi dengan
kata-kata yang menghujam hati “Nanti kamu akan dapat azab seperti kaum nabi
Luth, dan sebagainya.”
Masih
banyak kok orang SSA yang tidak ingin menjadi LGBT, dia ingin hidup secara
identitas hetero sebagaimana yang diajarkan dalam agama dan adat istiadat
setempat. Para pelaku SSA di Peduli Sahabat menganggap bahwa orientasi seks
sesama jenis merupakan pemberian (anugerah) Allah sebagai ujian berupa
keburukan. Sikap yang sepatutnya diambil adalah sabar dan tetap berusaha hidup
di jalan Allah dengan identitas hetero; tetap menikah dengan wanita, punya
anak, dll, walau dirasa berat.
Sebaliknya
kaum LGBT beranggapan bahwa orientasi seksual sesama jenis adalah anugerah
Allah sebagai ujian berupa kebaikan yang harus disyukuri dengan jalan menyalurkannya
kepada sesama jenis. Kalau perlu memperjuangkan hak menikah secara legal.
LGBT
sendiri mulai muncul tahun 1960an di Amerika Serikat. Awalnya para gay dan
pelaku sesama jenis di Amerika menginginkan pengakuan identitas berupa legalitas, normalitas dan sosial. Hingga hari ini ada sekitar 21an negara yang
telah mengakui LGBT.
Banyak
yang mendukung LGBT menyatakan “jangan
menghubungkan LGBT dengan agama.” Dari statement tersebut sebenarnya sudah
sangat jelas LGBT tidak mungkin bisa diakui dan dilegalkan di Indonesia. Apa mereka
sudah lupa kalau Pancasila sila pertama berbunyi, “Ketuhanan yang Maha Esa”? Agama adalah hal yang tidak bisa lepas
dari negara ini, karena dasar negara ini berlandaskan pada keyakinan kita
kepada Tuhan. Dan sebagai manusia yang bertuhan tentunya kita ingin selalu
mematuhi aturan-aturanNYA.
Menurut
data yang diperoleh kak Sinyo dari hasil wawancara yang dilakukannya, hingga
hari ini ada sekitar 14juta pelaku SSA dan sebagian besar adalah muslim. Kok
bisa? Hey, lupa ya kalau mayoritas agama di Indonesia itu islam?
Jangan
bergidik ngeri duluan. SSA bisa kok dikenali dan dicegah sejak dini. Tentunya sebagai
orangtua kita wajib berperan aktif dalam hal ini.
Penyebab Terjadinya Orientasi SSA
Pada
dasarnya pembelokan orientasi seksual ini terjadi pada masa-masa balita. Jika
pada masa balita ini tidak direspon dan dicegah, maka semakin ia besar kecenderungan untuk menyukai sesama jenis itu semakin meningkat.
Sejauh
ini adanya kepercayaan pihak yang pro terhadap LGBT tentang adanya gay gene
belum terbukti. Kalau memang benar gay adalah gen seharusnya di era modern
seperti sekarang ini sudah ada alat yang bisa mendeteksi orientasi seksual
setiap bayi yang lahir di muka bumi, namun nyatanya tidak pernah ada alat
tersebut.
Pada
dasarnya ada tiga kategori utama pemicu anak balita berbelok arah menjadi SSA, dan
ketiga-tiganya berhubungan dengan pola
asuh yang salah, yaitu;
- Pemaksaan dalam mengambil role model. Misalnya, seorang anak laki-laki mengambil peran dari ibunya. Pemaksaan ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti broken home, ketidakharmonisan keluarga, dominasi ibu, dominasi ayah, kekerasan rumah tangga, dll. Sekitar 60 persen klien Peduli Sahabat mengalami hal ini. Perlu disadari pula peran laki-laki sebagai ayah dalam turut serta mendidik dan mengasuh anak-anak masih sangat kurang. Laki-laki cenderung berpikiran bahwa tugas mereka hanya menafkahi istri dan anak-anaknya. Tugas mengasuh anak adalah tugasnya perempuan. Bahkan di Indonesia, sebagian besar guru PAUD dan Sekolah Dasar adalah perempuan. Sosok “ayah” dan “guru laki-laki” sering identik dengan kata menakutkan. Padahal anak-anak juga perlu gambaran tentang bagaimana laki-laki yang baik. Wahai para laki-laki, pulanglah ke rumah dan berperanlah sebagai ayah sebenar-benarnya. Ayah itu seharusnya menjadi cinta pertama untuk setiap anak perempuannya dan pahlawan pertama bagi setiap anak laki-lakinya. Jika ada anak yang berucap “aku tidak mau menjadi seperti ayah/ ibu” atau “saat besar nanti aku tidak mau menikah dengan laki-laki/ perempuan seperti ayah/ ibu”, berhati-hatilah! Karena berarti ada kemungkinan komunikasi antara anak dan orangtua terhambat. Jadilah ayah dan ibu yang baik adalah tips pertama pencegahan orientasi seksual yang berbelok.
- Over protective (terlalu dimanja/ dilindungi). Biasanya hal ini dialami oleh anak bungsu, tunggal, satu-satunya jenis kelamin dalam keluarga atau anak istimewa (misalnya, anak yang paling ganteng, paling putih kulitnya, paling pintar, dll). Sekitar 30 persen klien Peduli Sahabat yang mengalami hal ini.
- Salah mengambil role model secara sukarela. Berbeda dengan bagian pertama, si anak diberi kebebasan memilih model sendiri (biasanya kedua orangtua sibuk bekerja dengan materi yang melimpah, atau anak yatim piatu). Jadi secara hubungan keluarga harmonis, tapi anak-anak dibiarkan memilih model tanpa diberi contoh atau pemberitahuan. Sekitar 10 persen klien Peduli Sahabat mengalami ini. Untuk mencegah terjadinya pemilihan role model yang salah, ketika kita tidak bisa mendampingi anak 24 jam, pilihlah sekolah atau penitipan anak dengan baik. Pilihlah sekolah yang bisa menjadi partner sesuai visi misi pendidikan dalam keluarga. Untuk anak-anak yatim piatu, gantikanlah peran ayah dan ibu kepada kakek, nenek, bibi, paman, guru atau sosok lain yang tentunya bisa membantu kita dalam proses pengasuhan anak.
Tahapan Terjadinya Pembelokan Orientasi Seksual pada Anak
Kak
Sinyo dalam seminar tersebut membagi tahapan dalam proses pembelokan orientasi
seksual pada anak sebagai berikut;
Usia
Balita
Di
usia ini indikasi fisik mulai terlihat. Indikasi fisik berlawanan dengan jenis
kelaminnya, misalnya laki-laki bertingkah laku seperti wanita. Namun perlu
dipahami pada perkembangannya dugaan ini hanya 50 persen, karena masih ada
kemungkinan biseksual, transgender, metroseksual, kultur setempat (misalnya laki-laki
yang bicaranya halus ternyata orang Solo).
Selain
dilihat dari indikasi fisik, pilihan karakter berkebalikan dengan jenis
kelaminnya sangat dominan. Misalnya anak laki-laki suka main boneka Barbie,
berdandan, animasi dengan tokoh perempuan, lagu melankolis, dll. Lantas apa perlu dibedakan mainan untuk anak
laki-laki dan perempuan? Kalau hanya sekedar mengenalkan macam-macam mainan dan
permainan tidak masalah, agar anak bisa tahu variasi dan perbedaan permainan
tersebut. Namun kalau sudah sampai pada pilihan, orangtua wajib menjelaskan
dengan bijak apa yang sering laki-laki dan perempuan lakukan.
Ciri-ciri
berikutnya yaitu ketika anak lebih senang bermain dekat dengan lawan jenis
dibandingkan sesama jenis.
Usia
6-10 Tahun
Pada
usia ini, pembelokan orientasi memasuki tahapan penguatan. Yang pertama penguatan
lewat trauma. Namun hal ini tidak selamanya terjadi. Misalnya, terjadinya
kekerasan seksual terhadap anak. Tidak selalu pelaku sodomi dulunya adalah
korban, asal masa balitanya aman.
Perlu
pula diperhatikan setelah anak berusia lebih dari tiga tahun, perlakukan anak
dengan sopan. Jangan paksa cium, jangan memegang daerah sensitive anak. Hargai
dan hormati diri anak.
Penguatan
terhadap pembelokan orientasi seksual pada usia ini juga bisa dialami melalui pembentukan
karakter anak. Adanya bullying terhadap anak, misal “anak cowok kok cantik
banget”, “ih cowok kok melambai, banci ya,” dan sebagainya. Penguatan ini juga
bisa terjadi karena kesalahan pola asuh, anak perempuan didandani dengan baju
cowok dan sebaliknya. Hati-hati juga para ibu yang suka mengajak anak laki-lakinya
ke salon.
Usia
11-14 Tahun (Kebingungan dan Penguatan)
Keingintahuan
tentang seks pertama kali mulai berkembang. Jika orang tua tidak bisa menjadi
tempat bertanya yang baik, anak-anak akan mulai mencari tahu dari bacaan, film,
dan teman-temannya. Padahal informasi dari yang selain orangtua ini tidak
selamanya benar dan seringnya menjerumuskan.
Pada
usia-usia ini, anak juga mulai mencoba mengatasi kebingungan yang dihadapi
terhadap apa yang dia rasakan dalam jiwanya. Ia mulai mengalihkannya lewat
kegiatan-kegiatan seperti sepakbola, pramuka, membaca, menulis, menari dan
menyanyi. Kegiatan-kegiatan yang selama ini jauh dari karakter mereka selama
ini dan tidak mungkin mereka lakukan. Semacam sebuah keinginan untuk menutupi
apa yang terjadi pada dirinya.
Usia
15 Tahun ke Atas (Pengkristalan)
Pada
masa-masa ini anak mulai melakukan self hypnosis. Pembelokan semakin jauh
menguat. Keingintahuan terhadap ‘perbedaan’ dalam dirinya semakin besar. Ia
mulai mencari tahu lewat bacaan (media, buku, game, dll). Banyak pula yang menemui
ustaz atau tokoh agama lainnya untuk mendapat jawaban atas permasalahannya.
Yang lebih mengerikan anak-anak tersebut mulai mencari-cari kelompok yang bisa
memahami mereka. Mereka mulai bergabung dengan kelompok LGBT. Tak jarang pula mereka
lebih suka menyendiri.
Cara Mengatasi dan Mencegah SSA pada Anak
Peran
orangtua sangat besar dalam menghindari adanya pembelokan orientasi seksual
pada anak. Pola asuh yang benar sangat diperlukan. Kedekatan dan kebersamaan baik
secara fisik dan emosional antara anak dan orangtua adalah kunci utama. Dengan adanya
kedekatan dan kebersamaan yang intens, komunikasi antara anak dan orangtua akan
tumbuh dengan baik.
Anak
juga perlu dibekali dengan pengetahuan seks secara benar. Pengetahuan seks itu
meliputi adab-adab pergaulan yang benar. Untuk mengajarkan adab pergaulan,
setidaknya orangtua wajib mengetahui 4 komponen utama;
A. Reproduksi (perbedaan gender laki-laki dan perempuan)
Ajarkan anak sebelum usia 7 tahun tentang perbedaan laki-laki dan perempuan; ada vagina dan ada penis. Hindari menggunakan kata-kata seperti "burung" untuk menggantikan menyebut alat kelamin laki-laki dan "tempe" untuk alat kelamin perempuan. Tidak ada pikiran negatif pada anak-anak saat kita mengajarkan mereka dengan nama yang sebenarnya, yang berpikir saru dan tidak etis justru kita orang tuanya.
Pakaikan anak-anak baju sesuai gender. Di bawah 7 tahun anak perempuan boleh dipakaikan celana tapi mulai 7 tahun sudah harus dibiasakan berpakaian wanita (rok) dan berkerudung bagi yang beragama islam.
Pada waktu anak berusia 6 tahun, anak sudah harus bisa cebok/ bersuci sendiri. Di usia ini anak sudah mulai merasa nyaman dipegang oleh orang lain. Jadi jangan sampai menceboki anak pada usia tersebut untuk menghindari ketergantungan pada diri anak.
Tidak boleh mengajari tasyabuh (berlagak seperti jenis kelamin yang berbeda), seperti anak cowok diajari suara yang mendayu-dayu, anak cowok dipakaikan kerudung untuk lucu-lucuan. Hal ini bisa membuat bingung anak-anak saat mengenali identitas. Berikan batasan yang jelas seperti apa laki-laki dan seperti apa perempuan.
B. Jannabah (haid, mimpi basah, dan mandi besar)
Bicarakan soal mimpi basah dan haid. Jangan sampai mereka tanya atau kejadian duluan. Justru ketika kita menceritakan soal ini kepada mereka sebelum baligh (di bawah 10 tahun), mereka belum memiliki hormon yang bisa membuat mereka berpikir macam-macam tentang informasi yang kita berikan.
Ceritakan proses terjadinya mimpi basah dan haid dengan bahasa anak-anak yang mudah dimengerti. Jangan bohongi anak ketika bunda sedang haid dan tidak melakukan sholat dengan berkata "Bunda sudah sholat." Justru ini waktu yang tepat untuk membicarakan masalah haid dan apa-apa saja yang tidak boleh dilakukan saat haid. Sebaiknya mimpi basah diceritakan oleh ayah, sedangkan haid diceritakan oleh bunda.
Selain bercerita tentang mimpi basah dan menstruasi, anak-anak juga harus sudah dibekali informasi tentang praktek mandi besar dan menjaga kebersihan tubuhnya.
C. Istidzan (pemisahan tempat tidur baik sesama jenis maupun berlawanan jenis)
Dimulai dengan memisahkan tempat tidur. Bisa mulai dilatih dari anak umur 3 atau 4 tahun, maksimal 6 atau 7 tahun sudah tercapai tujuan tersebut. Paling terlambat ketika anak berumur 10 tahun.
Butuh waktu setidaknya antara 6 bulan hingga 1 tahun untuk proses pemisahan kamar ini. Diawali dari pisah kasur tetapi masih sekamar dengan orangtua hingga benar-benar pisah kamar dari orangtua.
Sesama anak laki-laki atau perempuan boleh tidur di satu kamar tapi beda selimut alias beda tempat tidur. Anak laki-laki dan perempuan jelas harus berbeda kamar. Jika anak kos/ mondok di pesantren, pastikan kos/ pesantrennya sesuai prinsip ini. Untuk kos sebaiknya cari yang satu kamar untuk satu orang. Begitu juga pesantren, cari tempat yang paling aman untuk menghindari terjadinya kasus-kasus LGBT.
D. Hijab (tabir/ penutup, batas-batas aurat)
Langkah paling akhir dalam mengajari adab pergaulan yaitu hijab. Anak-anak harus mengerti batas-batas aurat. Untuk laki-laki auratnya yaitu dari pusar hingga lutut, sedangkan untuk perempuan seluruh bagian tubuhnya aurat, kecuali muka dan telapak tangan.
Di rumah biasakan anak tidak melihat orangtua berganti baju. Jika orangtua akan berganti baju, lakukan di kamar tertutup, begitu juga orangtua tidak boleh melihat aurat anaknya dengan bebas.
Setelah anak bisa bicara mulai biasakan anak laki-laki mandi dan bersih-bersih badan dengan ayahnya, anak perempuan mandi dan bersih-bersih badan dengan ibunya. Suami, istri dan bayi bebas melihat aurat, namun anak usia baligh tidak boleh melihat aurat ortunya, begitu juga ortu tidak boleh melihat aurat anaknya. Yang tidak boleh dilihat anak batasnya dari leher hingga lutut.
Selain hijab fisik, ajarkan pula tentang hijab pergaulan. Ajarkan anak untuk tidak bersentuhan dengan non mahram, tidak menerima tamu berbeda kelamin jika suami/ istri tidak ada, pemisahantempat laki-laki dan perempuan untuk acara-acara seminar, walimah, dll, tidak boleh berkhalwat.
Tumbuhkan rasa malu pada anak. Jika rasa malu dan iman sudah menancap di dada dan diri anak, insya Allah benteng anak akan kuat. Jangankan berzina, membuka aurat di depan non mahram saja ia akan segan.
Anak-anak yang mudah terpengaruh virus-virus dari lingkungan luarnya dikarenakan orangtuanya tidak mampu menjadi pengaruh terkuat untuk anak-anaknya. So, yuk berikan imunitas pada anak-anak kita dengan menjadi pengaruh pertama dan utama bagi mereka. Caranya jadilah sahabat terbaik untuk anak yang siap mendengar segala keluh kesah dan tawa cerianya.
Materi tentang adab pergaulan di atas aku dapatkan ketika mengikuti kajian parenting dengan tema pendidikan sex islami bersama Abah Ihsan di Ponpes Saubari Bening Hati beberapa waktu lalu.
Bagi
yang ingin belajar dan berkomunikasi langsung dengan kak Sinyo Egie mengenai fenomena
LGBT dan Peduli Sahabat, doi welcome banget lo bagi yang tertarik untuk mengundangnya
sebagai pembicara pada acara seminar dan sejenisnya. Bahkan ia tidak meminta
bayaran, cukup sediakan transport dan akomodasi saja. Hmm, baik bangeet ya?
Kak
Sinyo memang ingin Indonesia lebih melek tentang adanya SSA dan bagaimana
menanggulanginya. Nah, untuk yang ingin berhubungan langsung dengannya bisa
menghubungi lewat:
Facebok:
Sinyo Egie
Grup
Facebook: Peduli Sahabat (https://www.facebook.com/groups/pedulisahabat2014/)
Nomor
Handphone: 0857 2768 6015
Email:
sinyoegie@gmail.com
Blog:
http://sinyoegie.wordpress.com, www.pedulisahabat.org
Insya Allah bulan Mei, Komunitas HSMN Semarang akan mengundang Kak Sinyo hadir pada sebuah seminar. Datang yuk!
#OneDayOnePost FunBlogging Day 5
Memang ya mbak LGBT ini kalau gak diantisipasi sejak dini kepada anak-anak, bisa menakutkan banget ya mbak. Peranan orang tua sangat dibutuhkan :)
ReplyDeleteYa mbak betul banget. PR ortu jaman Semarang banyak banget :)
DeleteKeren banget. Nggak ngajak2, ik..
ReplyDeleteAiih.. Kelupaan.. Uni masuklah grup WA HSMN...
DeleteNgeri juga ya klo anak-anak sudah kadung menjurus ke situ. Yuk, lindungi anak-anak kita dari sekarang
ReplyDeleteIya mbak.. Apalagi kalo ternyata terjerumusnya krn pola asuh kita yg salah. Hiks.. Berlipat2 galaunya :(
Deletesuka bgd sm kata2 ini mbk dr mas sinyo "Hanya Allah yang bisa membukakan hati-hati tertutup itu. Tugas kita hanya menjadi pendengar dan mengajak yang mau benar-benar sembuh.”
ReplyDeletemakash shre ilmunya yak, nambah pengtahuan lg nih
Sama2 mbak :)
DeleteKadang terlalu banyak teriak2 justru gak didengar... Buktikan dengan aksi malah orang lebih appreciate :)
terimakasih mbak atas postingannya. walaupun belum menikah dan punya anak, postingan ini bantu buat kedepannya biar kita aware sama LGBT terhadap generasi penerus.
ReplyDeleteSama-sama mbak Pipit, semoga bermanfaat. Salam kenal ya :)
Deleteover protektif tak baik ya mbak buat anak...
ReplyDeleteIya mbak.. Segala hal yg over pasti nggak baik.. Harus sesuai porsinya.. Bebaskan tp tetap terarah dan sesuai aturan :)
DeleteKereen mom ..lanjutkan dakwah lewat tulisan
ReplyDeleteAlhamdulillah... Makasih mom support-nya :)
DeleteKereen mom ..lanjutkan dakwah lewat tulisan
ReplyDeletengeri ya kalau masalah gini.
ReplyDeleteInsya Allah tidak ngeri kalau kita bs membentengi anak2 kita :)
DeleteSemoga indonesia bebas LGBT ya, karena LGBT nya bisa disembuhkan. Aamiin
ReplyDeleteAamiin :)
Delete