header marita’s palace

Jurnal Syukur #7: Mendidik Anak di Era Digital

mendidik anak di era digital sekolah ibu sendangmulyo 2018


Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Di bulan Ramadan ini aku banyak mendapatkan cerita penuh warna dari sekitarku, khususnya tentang masalah-masalah berkaitan dengan pengasuhan anak. Ditambah dengan berita-berita yang banyak bertebaran di media tentang bagaimana ngerinya pergaulan kids jaman now. Ada desir halus di dada. Sebagai orangtua jelas aku juga merasa khawatir. Sembari bertanya-tanya bekal apa yang sudah kuberikan pada buah hatiku? Sudahkah kutanamkan tauhid dan adab yang baik pada mereka? Betapa tantangan mendidik anak di era digital semakin beragam. Sungguh jika orangtua tak mau belajar, entah apa jadinya.

Aku bersyukur saat ini masih diberi nikmat untuk bisa membersamai anak-anak di usia emasnya. Melihat mereka yang aktif tanpa kurang suatu apapun adalah sebuah karunia terindah dari Allah setiap aku membuka mata. Meski tak jarang aku akui keluhan masih sering muncul ketika rumah yang baru saja dirapikan akan berantakan dalam sedetik kemudian. Tapi tak apalah, itu artinya mereka sehat dan kreatif karena apa saja bisa jadi playland buat mereka. Toh, kalau mereka nggak bikin berantakan rumah, mereka nggak akan pernah belajar bagaimana merapikan apa yang sudah mereka obrak-abrik kan?

Sudah CAKAP dan BAIK kah Kita sebagai Orangtua di Era Digital?

Aku juga lebih rela mereka bikin rumah berantakan daripada rumah rapi tapi anak-anak terpapar gadget dan layar, yang efeknya jelas bisa berkepanjangan. Aku nggak anti gadget, aku pun masih memberikan kesempatan Ifa nonton YouTube dengan syarat dan batasan tertentu. Bahkan Affan pun juga suka curi-curi lihat. Aku akui nggak mungkin bisa benar-benar lepas dari gadget, karena aku juga sehari-hari membutuhkan gadget untuk melakukan pekerjaanku. Namun dengan bekal informasi yang aku tahu lewat beberapa kajian parenting yang pernah aku ikuti, at least aku jadi tahu bagaimana kita harus bijak berinternet; CAKAP dan BAIK. 

Btw, aku baru tahu istilah internet CAKAP gara-gara menyiapkan materi tentang berinternet secara produktif untuk kajian pemuda di Emerald. Istilah ini dikenalkan pemerintah lewat Depkominfo, tapi entah kok gaungnya nggak terdengar ya. Cakap merupakan singatan dari cerdas, kreatif dan produktif. Sedangkan Internet BAIK sudah pernah aku ceritakan panjang lebar beberapa bulan  yang lalu ya; bertanggungjawab, aman, inspiratif dan kreatif.

Masalahnya bagaimana bisa anak-anak kita CAKAP dan BAIK menggunakan internet, kalau orangtuanya saja belum CAKAP dan BAIK pula menggunakannya. Atau malah sebenarnya orangtuanya nggak begitu paham soal internet, tapi anaknya diberi fasilitas tersebut tanpa batasan yang jelas. Maka nggak heran kalau kemudian timbul masalah-masalah seperti anak kecanduan game, anak kecanduan pornografi, anak nggak bisa lepas dari HP nya, nggak dibeliin HP bisa ngamuk bahkan bunuh diri. 



Yang kadang bikin geli beberapa di antara orangtua ini tahu penyebab masalahnya apa dan solusinya bagaimana.  Cuma mereka kurang berani atau kalau kata Abah Ihsan terlalu MALAS untuk mempraktekkan solusinya. Malas ribut sama anak, malas bikin kegiatan seru dan nemenin anak. Akhirnya yang keluar cuma keluhan. Lebih geli lagi kalau terus mengeluhnya sama Pak RT dan minta Pak RT turun tangan mengatasi anak-anaknya yang kecanduan gadget dan game. Helloo, ntar di akhirat yang diminta pertanggungjawaban atas pendidikan anak-anaknya pertama kali itu orangtua lo, parents… bukan Pak RT. Hayuk lah jangan melempar tanggung jawab yang sudah jelas itu tugasnya kita sebagai orangtua ke pihak lain. 

Maafkeun emak yang lagi gemeeees ini. Saat menulis artikel ini bakda subuh, sudah ada beberapa anak berjajar rapi dengan handphone masing-masing. Mereka duduk manis di depan teras tetangga sambil main mobile legend bareng-bareng. Sepagi ini lo… dan orangtuanya memperbolehkan, berarti nggak ada rule yang jelas kan di rumah mereka? La gimana pak RT mau turun tangan, kalau di rumah saja batasan belum jelas? 

So, sebelum kita mengeluh tentang anak kita, cek dulu yuk proses pengasuhan kita di rumah. Sudahkah sesuai syariat, sudahkah sesuai tuntunan Rasulullah sholallahu alaihi wassalam? Jika belum, mari perbaiki dan belajar. Jika sudah, mari evaluasi dan terus belajar. Karena sesungguhnya hidup adalah sebuah pembelajaran tanpa henti. Yuk, jadi orangtua shalih sebelum meminta anak shalih.


Belajar Jadi  Versi Orangtua Digital Nan Shalih

Panjang plus berapi-api banget ya pembukanya… wkwk. Padahal aslinya cuma mo bilang begini lo, alhamdulillah pada Kamis, 24 Mei 2018 aku berhasil menaklukkan rasa malasku dan hadir ke Sekolah Ibu Sendangmulyo hari keempat. Pada kesempatan itu aku bisa kembali belajar tentang mendidik anak di era digital bersama salah satu ustazah favoritku, ustazah Dyah Woro Haswini.

Khasnya bu Woro ini kalau menyampaikan sesuatu selalu diselipi guyon dan suasana bisa sangat cair, bahkan saat membahas tema yang berat sekalipun. Meski penuh guyon dan terlihat santai, pesan kajian selalu tersampaikan dengan baik ke audiens.



Nggak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi digital telah membuat perkembangan pesat di ranah teknologi informasi dan komputer, khususnya internet. Perkembangan inilah yang kemudian merubah budaya dan perilaku masyarakat beralih ke media yang lebih cepat dan memudahkan. Cari resep masakan, googling. Cari cara mengatasi anak panas, googling. Cari arti ayat dalam Al Quran, googling. Handphone selalu ada di tangan, satu barang yang bisa berfungsi macam-macam.



Bahkan anak bayi yang lahir di jaman now benar-benar sudah menjadi generasi digital. Lalu orang-orang pun berdecak kagum, “cah saiki pinter yow, wis isa nutul-nutul hp, mbahe wae ora mudeng nganggone.” Sebenarnya itu hal lumrah dan bukan sesuatu yang mengagumkan kalau melihat anak bayi jaman now sudah tahu mengoperasikan hp. Sejak dalam perut orangtuanya sudah pegang hp, setelah lahir si bayi pun mengamati bagaimana orangtuanya begitu cinta dengan hp-hp mereka, dan ketika memasuki fase batita orangtuanya malah dengan bangga mencekoki anak-anaknya dengan hp, alasannya jaman sudah berbeda.


It’s okay ketika orangtua mampu memberikan kontrol dan batasan yang jelas pada anak-anak mereka. Jika tidak, satu per satu masalah pun akan muncul, cepat atau lambat. Dampak parah dari gadget adalah membentuk masyarakat anti sosial. Anak-anak yang sudah terlalu candu pada gadget akan tumbuh menjadi anak yang tak saling kenal. Seakan-akan bermain bersama, namun asyik sendiri dengan dunia masing-masing. Begitu remaja yang tak saling kenal ini tumbuh menjadi generasi cuek dan tidak peka. Jangankan mikirin Palestina atau korban bencana di tanah air, disuruh sang ibu nyari adiknya yang belum pulang ke rumah saja mereka akan bersungut-sungut.  Dahsyatnya, ketika dewasa bibit-bibit cuek ini akan tumbuh menjadi orang-orang yang tak peduli dengan orang lain.


Gadget memang melenakan. Jadi sarana hiburan, pengalih rasa stress dan bosan, jadi teman saat sedang sendirian, mudah dibawa ke mana-mana dan cepat mengakses apapun yang kita butuhkan selama ada koneksi internet. Bahkan sebuah penelitian Kapersky Lab, masyarakat modern sekarang ini jauh lebih stress kehilangan gadgetnya daripada putus cinta, ditinggal mati hewan peliharaan bahkan kehilangan teman sekalipun. Bisa dibilang jika kita kehilangan kontrol, kita bisa jadi menuhankan gadget di atas apapun.




Penelitian demi penelitian dilakukan, salah satunya tentang dampak gadget dengan semakin tingginya tingkat adiksi pornografi di kalangan pelajar. Penyebab terbesarnya jelas tidak perlu ditanyakan lagi… karena paparan internet yang tanpa batas. Ustazah Woro pada Sekolah Ibu di hari keempat sempat bertanya, “coba bu… apa jenengan tahu anaknya nonton apa, main games apa, games nya tentang apa? Tahunya nonton kartun padahal nggak semua kartun iku adegannya pantas buat anak-anak. Tahunya mainan games, padahal games ada rate-nya. Games dengan rate ini cocok untuk anak umur sekian, games dengan rate itu baiknya untuk anak umur segitu. La jenengan tahu nggak bu?”

Salah satu cara untuk mencegah anak-anak kecanduan gadget, internet dan game; taruh komputer dan televisi di ruang publik. Jangan biarkan anak-anak mengakses komputer dan televisi di kamarnya sendiri karena kita akan susah mengawasi. Jangan pula biarkan anak-anak mengakses gadgetnya tanpa ada pengawasan sama sekali dari kita, pastikan kita tahu apa yang mereka tonton, apa yang mereka akses, game apa yang mereka mainkan dan isi game tersebut cocokkah untuk usia mereka. Dan ayo praktekkan program 1821 tanpa nanti!




Sebenarnya sudah banyak artikel kok yang membahas tentang dampak adiksi internet dan game terhadap anak. Masalahnya adalah kita sebagai orangtua aware kah terhadap hal tersebut. Buat parents era digital yang mungkin malas membaca buku atau artikel, kajian-kajian parenting di YouTube pun sudah semakin banyak yang membahas tentang bahaya-bahaya adiksi internet. Masalahnya maukah kita meluangkan waktu untuk menonton dan  mengambil manfaat darinya? Berikut ini beberapa dampak adiksi internet, sosial media dan games yang wajib kita ketahui sebagai orangtua:








Jika sudah aware, maukah kita turun tangan mengatasinya? Karena sadar saja akan adanya masalah tidak akan berarti, jika kita tak mau mempraktekkan solusinya. Masalah akan tetap berada di tempatnya jika apa yang menjadi sumber masalah tidak kita benahi.

Berikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan orangtua untuk mendidik anak di era digital:





Aku dan ayahnya anak-anak selalu berkata pada Ifa setiap kali ia merajuk minta dipinjami handphone. “Kalau ayah dan bunda meminjami mbak Ifa handphone berarti saat itu ayah dan bunda sedang tidak sayang dengan mbak Ifa.” Ifa biasanya pun akan menjawab, “kenapa kok nggak sayang, kalau orangtua ya harus sayang sama anaknya.” Kami menegaskan padanya, “karena saat bunda dan ayah meminjami mbak Ifa handphone, itu artinya ayah dan bunda nggak mau main sama mbak Ifa. Ayah dan bunda membiarkan mbak Ifa bebas nonton dan main, jadi ayah bunda bebas kerja dan ngobrol sendiri.” Ifa pun cemberut, “iiih ya emoh… aku maunya main sama ayah bunda wis. Maunya disayang kok sama ayah bunda.”

Meski tidak setiap kali pula kalimat itu berhasil membujuknya berhenti merengek minta dipinjami handphone. Setidaknya saat Ifa mulai merengek minta handphone, membuat aku sadar bahwa saat itu Ifa mulai bosan berada di rumah, bahwa bisa jadi aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri, atau aku justru asyik bercengkrama dengan handphone dan tidak membersamainya bermain. Saat ia mulai merengek minta handphone, aku yang patut mengoreksi diriku sendiri karena tidak berhasil menjadi teman yang asyik buat Ifa.



Bisa jadi secara fisik aku ada di dekatnya, namun aku tak benar-benar ada untuknya. Mungkin asyik menyelesaikan pesanan artikel atau ngrumpi di grup-grup whatsapp. Sedang bersama anak seharusnya lahir batin… jiwa dan raga.

Waktu bersama anak itu sangat terbatas, parents. Hanya 12 tahun pertamanya. Setelah itu mereka akan punya dunianya sendiri. Jika di 12 tahun pertamanya kita tidak bisa mewarnainya dengan kebaikan, tidak membersamainya dengan maksimal dan malah membiarkan gadget menjadi teman setia mereka. Maka tunggulah “kejutan demi kejutan” yang mungkin akan membuat kita geleng-geleng kepala berulang kali.

Tidak ada anak yang terlahir buruk, bengal, memilih jadi anggota gank motor atau kecanduan pornografi, semua anak terlahir dengan fitrah keimanan, kebaikan, fitrah belajar dan fitrah-fitrah kece lainnya. Jika kemudian mereka tumbuh tidak sesuai dengan yang kita bayangkan, bukan lingkungan, handphone dan teman-temannya yang disalahkan. 

Tengok dulu ke diri kita sendiri, sudahkah membersamainya dengan benar selama ini? Sudahkah kita memberinya warna yang baik dan menumbuhkembangkan fitrah-fitrah yang Allah berikan?



Mengasuh anak dengan benar memang melelahkan, tapi tidak mengasuh mereka dengan benar juga akan lebih lelah kemudian. Kalau sama-sama lelah, mending pilih yang mana? Susah di awal tapi panen yang enak-enak kemudian, atau santai-santai di awal tapi susah kemudian?

Ayo parents, kita mulai belajar dan melek parenting.  Belajar hal itu memang perlu untuk bekal mendidik anak di era digital seperti ini, karena selalu ada bedanya orang yang belajar dengan yang tidak. Namun jangan pula lupa bahwa kita punya Rabb yang maha segalanya. Titipkan jiwa-jiwa anak kita padaNya. Ia lah yang mampu membolak-balikkan hati. Sebut selalu nama anak-anak kita dalam munajat-munajat panjang padaNya.

Ketika semua cara telah ditempuh, maka hanya DOA jalan paling ampuh. Karena doa adalah seni dari segala ketidakmungkinan. Ustazah Woro menutup kajiannya hari itu dengan kembali membuatku ingat akan hal penting tersebut. Ya, doa itu bak ujung dan pangkal dari setiap usaha kita. Tidaklah ada artinya sebuah usaha jika tidak diiringi dengan doa yang tulus. Maka mari jiwai setiap detik kebersamaan kita dengan anak-anak lewat usaha-usaha terbaik yang disertai doa-doa penuh penghambaan padaNya.


Sebuah puisi indah dibawakan oleh Ustazah Woro menutup Sekolah Ibu Sendangmulyo hari keempat dengan penuh rasa syahdu dan gemuruh di hati setiap ibu yang hadir. Gemuruh untuk terus  belajar, memperbaiki dan memantaskan diri menjadi orangtua dari generasi digital yang shalih. Aamiin.

Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.


"Diikutkan dalam May's Challenge: Gratitude Journal Rumbel Literasi Media Ibu Profesional Semarang."

1 comment

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. wah aku juga suka jengkel ma si sulungku yg gadget mania...sekarang aku batesin pake gadget hanya 1 jam aja. selebihnya kusuruh nulis atau gambar mbak

    ReplyDelete