header marita’s palace

Kudeta



Sebut saja ia Rihani. Tak lebih. “Cantik?” “Tidak, tak lebih cantik dari ibuku”. Ah kulihat keningmu berkerut melihat jawabku. Kenapa? Karena ia tak cantik? Iya, memang tak cantik, menurutku. Mungkin kau perlu bertanya pada orang lain mengenai masalah cantik atau tak cantiknya ia. Aku tak yakin juga jawabanku tentang hal itu sangat obyektif. Sudahlah, bukankah hal itu tak penting? Aku memintamu ada di sini untuk mendengarkan cerita usang ini, jadi kumohon janganlah kau banyak tanya!

Sudah sampai ubun-ubun rasanya puluhan amuk ingin kuledakkan padamu. Belum sempat kuluapkan sesakku, berondongan pertanyaanmu menancapkan kelu di ulu hatiku. “Seperti apa sih dia?” Sepertinya baru setengah menit yang lalu aku tegaskan padamu. Bukanlah hal yang penting tentang seperti dan bagaimana dia, bukan? Tapi baiklah sepertinya aku memang harus menjelaskan segamblang-gamblangnya tentang seperti apa dan bagaimana seorang Rihani itu agar aku bisa tenang becerita padamu.

Perempuan itu tidak cantik. Ya, si Rihani itu. Bahkan menurutku ia tak lebih baik bila dibandingkan dengan mbak-mbak yang bekerja di rumah ibuku. Sungguh! Bagaimana tidak? Kulitnya tak putih, juga cokelat. Lebih tepatnya begitu legam. Mungkin karena di desa asalnya ia sering membantu keluarganya berpanas-panasan di areal persawahan. Rambutnya juga tidak indah. Tak lebih indah dari rambut panjangku yang begitu lembut dan cukup hitam. Kenapa kau tersenyum simpul? Bukankah yang kusampaikan tidak sebuah kebohongan public? Kaupun pasti mengakuinya kan? Kalau tidak, mengapa kau begitu suka membelai rambutku? Ah sudahlah, mengapa kita jadi berunding tentang indah atau tak indahnya rambutku? Kita kembali saja pada yang semestinya.

Ia juga tak tinggi semampai. Meski seingatku ibu pernah bercerita padaku, “Ia begitu semampai, dan juga sintal.” Tapi sungguh ia tidak semampai! Aku berani bersumpah untuk hal ini. Kenapa? Karena dengan tinggi badanku yang tak lebih dari 160 cm ini, ia masih jauh di bawahku. Asal dia tak pakai high heel. Kalau mengenai kesintalannya, mungkin itu memang anugerah dari Yang Maha Kuasa. Namun bila kau melihat dari kaca mataku, kesintalannya hanyalah lubang buaya untuk para buaya darat. Kenapa kau menelan ludah seperti itu? Tersinggung? Kau bukan salah satu dari buaya darat itu kan?

Satu hal lagi yang harus kau ketahui, ia sama sekali tidak berpendidikan alias tak pintar, atau bisa dikatakan BODOH! Lagi-lagi kau kerutkan keningmu. Ada apa? Apa kata-kata bodoh kurang pantas untuk diucapkan? Pada kenyataannya ia sangat bodoh. Memang sih pada awalnya, ia mengaku kalau ia merupakan mahasiswi salah satu perguruan tinggi yang ada di Jawa Tengah. Namun akhirnya kedoknya terbuka juga, ia cuma lulusan Sekolah Dasar! Yah, cuma lulusan SD! Sekarang bisa kau bayangkan bagaimana bodohnya ia  kan? Aku senang melihatmu tersenyum seperti itu. Aku merasa tak sedang menghakimi seseorang, walaupun kenyataannya memang aku sedang menghakimi seseorang secara tak langsung.

Parahnya lagi, usia perempuan itu hanya terpaut lima tahun di atasku! Yah, si Rihani itu hanya lebih tua lima tahun dariku. “Bagaimana menurutmu? Apa yang bisa kau tangkap dari sekelumit gambaranku tentangnya?” Kau terdiam agak lama sebelum kemudian menjawab sebuah kata yang selama ini amat terpatri dalam benakku. “Sundalkah ia?” “Yah, ia memang sundal….juga jalang.” Kemudian hanya sunyi yang tertinggal di antara kau dan aku, juga deretan kata-kata yang tak bisa lagi aku simpan di tengah gemuruhnya jiwaku yang demikian sakit.

*****************
Mungkin kau bertanya-tanya mengapa aku begitu ingin menumpahkan segalanya tentang ia padamu. Selama ini setiap kali kau bertanya mengapa aku begitu posesif padamu, begitu mengekangmu, aku hanya sanggup menjawab karena kau laki-laki. Yah, karena kau laki-laki, makhluk yang begitu mudah untuk terkudeta hatinya oleh perempuan lain. Aku tak ingin mengalami sakit itu. Sakit kala ada perempuan lain merebut dengan paksa kedudukanku di hatimu. Tidak untuk kedua kalinya. Pasti kau bertanya-tanya apa hubungan semua ini dengan perempuan yang akan aku ceritakan. Sementara kau sendiri merasa tak mengenalnya. Tak mungkin pula ia mengkudeta dirimu, bukan? Tentu saja ada hubungannya. Semua sakit dan kelu ini hadir karena keberadaannya. Hingga aku tak sanggup melihatmu berteman dengan perempuan lain hanya karena aku takut kehilangan dirimu. Dia penyebab semua kesakitanku  karena dia telah mengkudeta semua kehidupan dan kebahagiaanku.

Ia adalah perempuan lain bapakku. Yah, ia mantan gundik bapak yang kini telah terangkat derajatnya karena telah dinikahi secara sah olehnya. Rihani namanya, meski orang-orang lebih sering memanggilnya Ninda. Aku pun tak begitu tahu bagaimana ia bisa dipanggil dengan nama Ninda. Mungkin biar lebih mudah mencari mangsa dengan menggunakan nama yang berbau modernisasi. Aku memanggilnya Mbak Ninda. Walau bila aku boleh jujur, aku terpaksa memanggilnya demikian. Terlalu sopan menurutku. Hanya saja aku masih menghormati lelaki itu, yang kusebut sebagai bapak. Aku kira ia lebih pantas kupanggil LONTHE.  Kenapa? Tak ada pertanyaan kenapa untuk kasus ini. Coba kau tanya pada hatimu, sebutan apa yang pantas disematkan pada seorang perempuan yang telah merusak kebahagiaan rumah tangga orang lain?

Aku sudah lama mengenalnya. Meski hanya dalam pendengaranku saja. Kalau tak salah ingat, namanya sudah sangat booming di antara bapak, ibu, juga aku ketika aku duduk di akhir bangku sekolah menengah pertama. Dia memang bukan perempuan pertama yang berhasil menginjakkan kaki di belantara rumah tangga bapak dan ibuku. Namun sampai sekarang pun aku tak pernah bisa memahami kenapa justru ia yang disunting bapak sebagai wanita kedua dalam kehidupannya? Apakah dia yang terbaik dari gundik-gundik bapak? Entahlah!

Waktu itu malam sudah sangat tua. Dentangnya mengisyaratkan jam 12 telah tiba. Hampir pagi kala kudengar teriakan-teriakan itu. Suara yang tak asing di telingaku. Suara yang tak pernah lelah memekakkan telinga dan membekukan hatiku. Untuk kesekian kalinya bapak dan ibu terlibat dalam pertengkaran yang sangat hebat. Dan untuk kesekian kalinya pula mereka tak henti-henti bicara tentang ketidaksetiaan! Tahulah aku, bapak kumat lagi ‘penyakitnya’. Mungkin memang sudah sangat menahun, atau sudah mendarah daging hingga obat apapun tak bisa membuatnya benar-benar sembuh! Kutarik bantalku, kuletakkan di atas kepalaku dan kutekan dengan sangat hingga tak mampu lagi kudengar pertengkaran mereka. Aku bosan, juga amat lelah. Kenapa mereka tak pernah bosan dan lelah?

Paginya ibu mengajakku pergi. Waktu itu masa sekolah menengah pertamaku sudah hampir usai. Tinggal menunggu pengumuman hasil dan ijazah, jadi ibu bisa mengajakku pergi kapan pun ia mau karena aku tak terbelenggu dengan aktivitas belajar. Tempat itu asing untukku. Aku lupa tepatnya dimana. Yang aku ingat, tempat itu kos-kosan khusus untuk perempuan; mahasiswa dan pekerja. Ibu menemui sang empunya rumah dan menanyakan apakah benar perempuan bernama Ninda tinggal di tempat itu. Ibu separuh baya itu mengangguk. Sayangnya perempuan itu sedang tak ada di rumah. Kalau saja ia ada, pasti sudah kulemparkan ludahku ke  arah mukanya. Lalu ibuku dan ibu kos itu terlibat pembicaraan yang sangat serius. Dari yang dapat kutangkap mereka membicarakan Ninda, sepertinya ibu kos itu mau membantu ibu. Sebelum pulang, ibu sempat menitipkan sepucuk surat untuk Ninda. Dan tahukah kamu? Ternyata anak ibu kos itu adik kelasku di SMP.  Untungnya aku hampir lulus, kalau tidak aku pasti akan menutup wajahku setiap pergi ke sekolah. Malu. Yah, pasti sangat malu jikalau seluruh dunia ini tahu bagaimana kacaunya keluargaku.

Pada hari yang lain. Ibu mendatangi tempat kos itu lagi. Kali ini tak bersamaku, tapi dengan seorang reserse. Ibu membawa reserse untuk mengancam Ninda agar menjauhi bapakku. Semampu yang kudengar, Ibu dan Ninda terlibat pergulatan yang cukup serius. Entahlah apa yang terjadi di sana. Aku pun sudah tak cukup punya tenaga untuk memikirkannya. Sudah cukup kelu hatiku untuk semua itu.

Pada kenyataannya, kedatangan ibu bersama reserse itu tidak membawa hasil. Ninda tetap saja lengket dengan bapakku. Bahkan semakin lengket seperti perangko. Hingga hari itu tiba. Ibu mengajakku lagi kali ini. Ke sebuah kota tua, Ambarawa. Dari informasi yang ibu dapatkan, bapak sedang menghabiskan waktunya bersama perempuan itu di Motel dekat terminal Ambarawa. Akhirnya kami menemukan tempat itu. Sebuah motel kecil yang cukup bersih. Ibu bertanya pada salah seorang resepsionis apakah ada nama bapak di jajaran tamu motel itu. Resepsionis itu menggeleng. Namun ibu yakin bapak dan perempuan itu ada di motel tersebut. Kemudian untuk memperlancar aksi penggerebekan itu, ibu memboking sebuah kamar. Tiba tiba kami melihat lelaki itu. Bukan bapak. Tetapi kakak kandung bapak. Ada apa ia berada di tempat itu bila bapak tak di sini? Semakin kuat keyakinan ibu bila bapak berada di motel itu. Sekian jam menunggu akhirnya bapak keluar juga dari persembunyiannya. Tanpa perempuan itu. Aku tahu pasti perempuan itu ada di dalam kamar bapak, tapi bapak melindunginya. Entah untuk apa? Kenapa bapak justru melindungi permpuan yang menyakiti hati istrinya?

Kami pulang bertiga. Bapak, ibu, dan aku berada dalam mobil Carry tua berwarna cokelat. Suasana waktu itu sangat mencekam. Seperti sedang berada di depan seekor harimau yang siap menguliti tubuhku. Setelah sekian lama kebekuan itu melingkupi bapak, ibu dan aku. Tiba-tiba bapak menarik gas mobil dengan sangat kencang dan membuat kebekuan itu pecah, berubah menjadi teriakan dan amukan. Mereka bertengkar lagi. Di dalam mobil berkecepatan tinggi, di tengah lalu lintas yang sangat padat. Aku hanya bisa menangis kala itu sambil berdoa, tabrakkan saja mobil ini dengan mobil lain Tuhan. Biar damai keluarga ini dalam kehidupan yang baru. Namun kemudian kucabut kembali doaku. Aku  teringat adikku yang kala itu masih berumur kurang lebih tiga tahun. Tidak, aku harus kuat! Untuk adik perempuanku satu-satunya!

Aku tak pernah dekat dengan bapak. Mungkin karena ia sering menghukumku dengan keras setiap kali aku melakukan kesalahan. Aku memang nakal, tapi haruskah cambukan ikat pinggang menjadi jawaban? Masih pula terekam dengan jelas bagaimana bapak menghukumku di dalam kamar mandi. Yah, bapak memasukkanku ke dalam bak yang penuh air untuk membuatku jera. Pernah pula sebuah asbak kaca dilemparkannya ke arahku hanya karena aku mengganggu konsentrasinya menonton televisi. Seperti itulah keakrabanku dengan bapak. Aku kadang bertanya pada diriku sendiri, seperti apa bapak mencintaiku? Aku sungguh-sungguh ingin tahu. Namun hingga Ninda hadir dalam kehidupan keluarga kami, aku pun masih bertanya-tanya seperti apa bapak mencintaiku.

Aku tak pernah bahagia dengan keluargaku. Aku lelah, juga tertekan dengan semua yang ada. Hidupku sudah tak lebih dari serpihan-serpihan debu sebelum perempuan bernama Ninda itu datang. Pertengkaran demi pertengkaran bapak dan ibu selalu mewarnai hari-hariku. Tak jarang pula diselipi dengan tamparan keras, bantingan perabot rumah yang pecah dan makian-makian yang memekakkan telinga. Entah apakah mereka pernah memikirkan kedua buah hatinya yang hampir gila karena keakuan mereka? Yah, kalau pun aku tak bisa menjadi prioritas untuk mereka mencipatakan kedamaian, setidaknya adikku bisa menjadi pertimbangan utama untuk mereka. Bukankah kami telah menunggu lama kehadirannya? Lantas kenapa setelah ia hadir di muka bumi ini, mereka hanya bergelut dalam masalah-masalah mereka sendiri? Sungguh benar-benar kehidupanku telah terampas oleh kehadiran pelacur itu. Seandainya saja ia tak pernah hadir dalam kehidupan kami, pasti bapak dan ibu tak akan pernah bertengkar sehingga aku dan adikku bisa mendapatkan ketenangan yang selayaknya kami peroleh.

Aku rindu kasih sayang yang melenakan. Terutama kasih sayang bapak. Belum sempat pula aku mewujudkan impian itu, Ninda mengobrak-abrik kehidupanku yang sudah berupa serpihan-serpihan tak berwujud. Aku benar-benar tercengang ketika ibu berkata padaku Ninda akan tinggal bersama kami. Waktu itu, aku sudah menyelesaikan sekolah menengah umumku. Aku sedang mempersiapkan diriku untuk memasuki perguruan tinggi.  Saat itu pula ibu sudah tak lagi menjadi ibu yang aku kenal, baik fisik maupun psikis. Ibu tak lagi bisa melangkahkan kaki-kakinya karena sakit yang sudah menggerogotinya dua tahun terakhir. Sejak ibu sakit, pikiran ibu seperti dicuci otak entah oleh apa. Aku tak tahu apakah itu kesabaran atau ketololan! Bagaimana mungkin seorang wanita merelakan suaminya membagi cinta dengan orang lain?

Aku limbung, hampir gila! Aku tak bisa mengutarakan isi hatiku yang sebenarnya. Aku hanya tak ingin menambah beban pikiran ibu. Dengan terpaksa, aku hanya bisa mengangguk. Aku memutuskan meninggalkan Salatiga. Bukan untuk sebuah cita-cita. Aku hanya tak akan sanggup melihat pelacur itu tinggal di rumah yang selama ini memberikan aku kehidupan. Dan kudeta yang sebenarnya dimulai olehnya!
*****************

Satu demi satu kebahagiaan yang tinggal sisa-sisa terenggut dariku. Kudeta pertama yang ia lakukan sangat jelas kulihat. Kamar yang biasanya ditempati oleh bapak dan ibu kini menjadi kamar bapak dan ia. Aku tak mungkin bisa hidup dengan bahagia, meski terpaksa sekalipun tinggal di rumah ini. Mana mungkin aku  bisa tahan melihat bapak dan Ninda bermesraan di kamar itu sementara ibu bersusah payah menjalani aktivitasnya di kamar lain yang lebih sempit? Ibu yang harusnya mendapat porsi perhatian lebih dari bapak, bukan dia! Namun kenyataannya, habis manis sepah dibuang. Kalau saja ibu masih sehat mungkin ia punya keberanian untuk meminta ketegasan talak pada bapak. Namun dengan kondisinya, ibu ingin Ninda bisa menggantikan posisi ibu untuk anak-anaknya, khususnya adikku. Tentu saja itu pemikiran terbodoh dari ibu. Bagaimana mungkin wanita sundal itu bisa menggantikan posisi ibu? Sementara yang ada dalam otaknya hanyalah memuaskan bapak di atas ranjang! Vaginalah  otaknya!

Apalagi setelah dua anak bapakku dari Ninda lahir. Aku cemburu. Iya, sungguh kelu. Aku merasa aku telah benar-benar kehilangan kasih sayang lelaki yang ingin dengan bangga kusebut bapak. Aku hancur. Amat hancur kala kulihat bapak menimang-nimang bayi-bayi itu. Amat hancur kala bapak dan keluarga barunya menghabiskan waktu bersama. Tertawa terbahak-bahak seolah tak mengingat penderitaan kami yang mereka tindaskan. Begitu hancur kala Ninda memanggil bapak dengan sebutan papi. Sedemikian hancur kala aku ingat aku tak mendapatkan luapan keakraban sebagaimana anak-anak bapak yang baru mendapatkannya. Ingin rasanya kuhabisi mereka. Kalau perlu akan ku mutilasi mereka satu per satu biar tak lagi kulihat keberadaan mereka! Namun sayangnya aku masih terlalu waras untuk melakukan semuanya.

Hampir separuh kekayaan bapak ludes setelah kehadirannya. Ini adalah salah satu akibat dari kudeta yang ia lakukan. Atau mungkin karena ia memang pembawa kesialan? Satu per satu yang pernah kami banggakan lenyap, termasuk mobil yang selama ini telah menyimpan sejuta kenangan bagi keluarga kami. Aku sempat menggugat bapak karena hal ini. Kenapa ibu, aku dan adik harus menjadi tumbal dari kedatangannya? Mungkin bapak pun tertekan dengan keadaannya, ditambah dengan sikap kerasku yang semakin menjadi. Hingga kemudian bapak jatuh sakit. Ia koma selama satu bulan di sebuah rumah sakit swasta di Solo. Hampir dua puluh juta lenyap untuk membiayai perawatan bapak. Habislah semua. Bahkan rumah yang selama ini kami tinggali terpaksa dijual. Ibu terpaksa membeli rumah kecil untuk bertahan hidup. Pengobatan ibu juga dihentikan demi perawatan bapak. Begitu besar yang telah ia korbankan. Sementara bapak terus saja menoreh luka.

Aku tak sanggup lagi bisa berdiam diri melihat kudeta yang Ninda lakukan. Sudah banyak yang terampas. Aku tak akan membiarkan semua semakin hilang dari kehidupanku! Aku marah waktu itu. Sangat marah! Kudatangi Ninda dan kuluapkan kepenatanku. “Puaskah kau sekarang? Pertama kau rebut bapak. Lalu kau buat ibuku sakit dan menderita. Bapak pun kau buat sakit. Semua harta keluargaku kau kuras. Sekarang apa lagi yang akan kau renggut, perempuan sundal?” Belum sempat kuselesaikan ocehanku sudah kudengar ibu menjerit memintaku berhenti memakinya. Bapak yang sudah pulih, meski masih tertatih-tatih mendekatiku dan menampar wajahku. Tetangga yang mendengar makianku bergerombol di sekitar rumah dan memandangku aneh. Sesekali terdengar bisikan yang menyakitkan. “Nggak tahu berterima kasih ya si Tala itu. Sudah bagus loh mbak Ninda mau menikah dengan bapaknya yang sudah tua dan merawat ibunya yang nggak bisa apa-apa itu!” Ada pula yang memilih mendekatiku dan mencoba menenangkanku. “Sabar ya mbak.” Mereka hanya bisa mengoceh tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ingin rasanya kuledakkan dunia saat itu juga. Namun hanya mengepalkan tangan yang aku mampu. Merutuki nasibku yang bak anak tiri ini. Aku heran kenapa semua orang membelanya? Melindungi perasaannya. Bagaimana denganku? Tak adakah yang ingin tahu tentang aku?

Sejak hari itu aku lebih suka hidup dalam diam. Toh apa yang kurasa dan kuinginkan bukan hal yang penting lagi bagi orang tuaku. Atau mungkin bagi mereka aku telah tidak ada. Kini sunyi adalah teman terbaikku. Hanya padanya aku menumpahkan tangis dan senandung senduku. Aku tak mau lagi tahu tentang bapak, ibu, dan Ninda. Aku hanya ingin menjadi kakak yang baik bagi adikku satu-satunya. Meski kemudian aku harus pula menelan pil pahit ketika aku menyadari adikku pun telah terlena oleh kedatangan Ninda. Ia memang sungguh piawai berlakon sebagai ibu tiri yang baik bagi adikku. Namun tidak untukku. Sekali sundal akan tetap menjadi sundal. Adikku sudah begitu lengket dengannya. Bahkan ia kemudian memanggilnya mama. Aku semakin kecil. Tak ada artinya lagi untuk mereka.

Aku memilih tak pernah kembali. Sempat beberapa kali bapak mencariku ke tempat kosku. Aku enggan menemuinya. Kalaupun aku pulang, aku hanya sudi menginjakkan kaki di tempat itu beberapa menit untuk membasuh rinduku pada ibu dan adik. Lalu aku kembali bergelut dengan dunia malamku. Gemerlap lampu diskotik, asap rokok, alkohol, juga seks kini telah menjadi bagian hidupku. Bukankah bapak lebih menyayangi sundal itu dari pada aku yang notabene anak kandungnya? Maka aku putuskan untuk menjadi sundal biar bapak juga bisa menyayangiku. Aku bebas tidur dengan siapa saja yang aku suka, asalkan tanpa bualan cinta. Aku enggan menjatuhkan diri pada lelaki yang mengaku cinta padaku. Omong kosong dengan cinta.

Semua kegelapan itu kulalui sebelum Tuhan pertemukanku denganmu. Kau menawarkan cinta. Meski aku tak pernah yakin itu tulus. Namun kau selalu meyakinkanku. Bahkan hingga detik ini tak sekali pun kau pernah mencicipi tubuhku.  Kau membuatku berhenti dari keliaranku. Namun hal terburuk  yang harus kau terima adalah aku tak pernah bisa mempercayaimu. Aku tak suka kau dekat dengan perempuan lain selain diriku. Bahkan aku membenci mereka. Aku hanya ingin menikmati dirimu, untukku saja. Yah, sejak semua kebahagiaanku terampas, aku pun kehilangan rasa percayaku. Tidak hanya padamu, namun juga pada sekelilingku, keluargaku, diriku sendiri bahkan Tuhan sekalipun! Inilah akibat terburuk kudeta yang dilakukan Ninda. Aku menjadi pesimis menjalani hidup dan aku membenci semua skenario Tuhan. Aku meyakini bahwa yang kumiliki hanyalah kehancuran!

Yah, aku memang telah hancur. Hingga kini sekalipun. Aku kelu dan jiwaku mati. Aku ternyata tak lebih bodoh dari perempuan-perempuan lain yang membiarkan kehidupannya terinjak-injak oleh kebahagiaan perempuan lain. Seandainya aku punya tenaga lebih, aku akan mengepalkan tanganku dan menikamkan sebilah pisau ke dada orang-orang yang telah membuatku mati suri seperti ini.
******************

Kuhela nafasku yang masih tersisa. Kutatap wajahmu yang mendamaikan. Kau cium keningku dengan begitu lembut. Mengelus rambutku dengan halus. Menatapku dengan penuh kehangatan. Seolah kau mencoba mengerti kenapa selama ini aku mengekang kebebasanmu bergaul dengan perempuan-perempuan lain. Semua perempuan adalah sundal. Dan bukan hal yang tak mungkin salah satu sundal itu akan merebutku darimu.

Dengan segala kebijaksanaan yang kau punya, kau berkata “Berterima kasihlah pada masa lalumu. Kelak ia akan memberikanmu kekuatan yang luar biasa untuk dirimu menentukan pilihan dalam hidup yang tak pernah bisa kita tebak alurnya.” Sunyi. Aku mencoba untuk memahami setiap kata yang kamu ucapkan. Kamu tersenyum begitu manis sebelum kamu meninggalkanku ke toilet. “Aku ke belakang dulu sebentar ya.” Aku mengangguk pelan. Seperti enggan melepasmu. Inikah sebentuk cinta yang aku cari dari seorang lelaki?

K800i-mu berdering. Sebuah nama yang tak kukenal muncul dari layar HPmu. Alena. Siapa Alena? Seingatku kamu tak memiliki teman bernama Alena. Bahkan seingatku sudah tak ada lagi nama perempuan di HPmu selain namaku. Aku selalu menghapus semua nama perempuan di HPmu. Tak jarang kau menyimpan nomor telepon teman perempuanmu dengan nama lelaki. Dan kini kulihat nama Alena terpampang di layar HPmu. Bagaimana mungkin bisa? Tak mungkin pula ia seorang lelaki.  Kucoba memastikannya. Kuhubungi nomer Alena dan ……”Hi Babe. I miss u so much.” Entah kenapa jantungku berdetak cepat. Segera kumatikan panggilan keluar itu.

Batinku berperang sedemikian dahsyat. Haruskah ku ingkari komitmen kita untuk saling menjaga privasi? Namun kemudian aku ingat kata-katamu yang masih hangat di telingaku. Yah, aku harus bisa belajar dari masa lalu. Kubuka pesan singkat dari Alena untukmu. Sambil berharap kau akan lama di kamar mandi seperti biasanya. “Hai, sayang. Lagi apa? Masih dengan perempuan tololmu itu?” Sakit. Perempuan tolol, itukah yang kau pikir tentangku? Kubaca pesan-pesan terkirim yang masih tersimpan di HPmu untuknya. Sangat mesra dan sadarlah aku telah tertipu.

Kali ini aku tak akan terpedaya dengan sakit. Aku akan kuat. Masa lalu mengajarkanku bagaimana harus bersikap. Dapur menjadi tujuanku saat kau keluar dari persemedianmu di kamar mandi. Mendekapku dari belakang dengan begitu hangat. Aku membalikkan badanku dan menatap wajahmu dengan tajam.  Kau berusaha mencium bibirku kala dengan tegas aku tancapkan sebilah pisau ke dadamu. Darahmu begitu deras membasahi pisau dan tanganku. “Maaf sayang, seperti yang kau katakan tadi. Aku harus belajar dari masa laluku untuk bisa menetapkan pilihan dengan tepat.  Dan ini pilihanku untukmu. Tak akan kubiarkan perempuan lain melakukan kudeta dalam kehidupanku untuk kedua kalinya. Bila aku tak bisa menjadi milikmu seutuhnya, maka tidak juga Alena ataupun perempuan lainnya. Selamat tinggal cinta yang sempurna….”

Sunyi. Hampa. Kelu.

Aku tertinggal dalam bilik keterasinganku lagi. Tanpa siapapun. Kulihat pisau yang masih tergenggam di tanganku. Tiba-tiba aku ingin kembali ke rumah.
************

August, 10th 2008
Finished at 09:53 P.M.
On  my painful city.

For my painful soul, the other Tala

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com