header marita’s palace

Manusia – Manusia Kaca


The Glass Menagerie
The Glass Menagerie

Tokoh             : Warsi            (Seorang Ibu)
                          Tini               (Anak Perempuan)
                          Tono             (Anak Laki-laki dan Narator)
                          Jono              (Seorang Teman)

(Tono duduk di depan rumah, merokok. Warsi duduk di dalam rumah, dekat jendela, melamun. Lampu menyorot, fokus pada Tono)
Prolog - Tono
Malam sedemikian pekat......Bintang-bintang berkilauan, begitu indahnya.  Bulan sabit pun melengkungkan sinarnya dengan sempurna......Seandainya kehidupan seindah ini......... (Menghisap rokok, mendesah) Bila hidup seindah ini, maka tak akan ada sesak yang merangsek di setiap hela nafas kita....Ah, tapi bukankah hidup memang sudah selayaknya berliku? Tanpa liku dan derita, apalah arti dari kehidupan? Tapi bila rasa sakit dan selalu terbatasi selalu mengepung tanpa kukenal bahagia, apakah itu adil? (tersenyum getir, menghisap rokok lagi) Oya, aku ada sebuah pertanyaan untuk kalian.......ya kalian (memandang ke arah penonton). Apa kamu punya kenangan? Kamu? Ya kenangan apa saja.......bisa baik, bisa buruk.......bisa indah, bisa kelam.......yang pasti kenangan. Pasti kalian punya kan? Manusia tanpa kenangan bukan manusia! Kenangan seringkali menyekat kita, hingga langkah-langkah kaki untuk masa depan pun menjadi berkabut...Yah....semua yang ada di sini nanti....berawal dari kenangan dan berakhir dengan kenangan...
(Lampu yang menyorot Tono mati, lampu beralih fokus pada Warsi)

Warsi
(Warsi menyanyi Lingsir wengi..Mendesah) Belum datang juga. Entah malam yang keberapa....masih tetap sama, seindah-indahnya langit malam di atas sana, yang kudapati di sini hanyalah kegelapan. Kapan ia akan pulang?
Tono
Siapa lagi yang ibu tunggu? (Keluar dari kamar, sambil memakai kaos)
Warsi
Setiap hari kopi kental kesukaannya sudah kusiapkan di meja...tapi belum datang juga
Tono
Siapa yang belum datang, Bu? Orang itu lagi? (Menunjuk pada foto yang terpasang di dinding) Hhh..sudahlah, bu....dia tak kan pulang.


Warsi
Ton...! Kamu itu kalo ngomong ati-ati. Wong sama bapaknya sendiri kok seperti itu. Eling yo le.... Semua kata yang kita ucapkan itu do’a! Jadi ......(Mendekati Tono)
Tono
Kita kalo ngomong musti yang baik-baik saja..... Oalah, bu..bu...apa ya dia itu ada baiknya, sampai harus didoa’kan yang baik-baik? Apa di sana itu dia juga ingat mendo’akan kita, Bu? Apa di sana dia bisa merasa kalau setiap malam kopi kental kesukaannya selalu ibu siapkan? Kalau dia masih punya hati, dia pasti sudah pulang! Wis lah... (Tono beranjak ke luar rumah)
Warsi
Eh...eh..Ibu belum selesai ngomong sama kamu, mau kemana lagi kamu?
Tono
Nonton layar tancep!
Warsi
Eh.....(Mencoba menarik lengan Tono, tapi mrucut) O....la bocah kandanane kok angel!
(Tini ke luar dengan kaki pincang)
Tini
Ada apa lagi to, bu?
Warsi
Adhimu lanang!
Tini
Sudah to bu, biarkan saja...dia toh sudah besar, pasti sudah tahu yang baik buat dirinya....Aku takut kalo ibu terlalu mengekangnya, dia malah ndak bahagia (lirih)...
Warsi
(Menatap Tini) Maksudmu?
Tini
Ee...ndak apa-apa kok bu...aku cuma sedih saja setiap hari lihat ibu sama Tono bertengkar terus...
Warsi
Lha wong Tono yang mulai duluan, kamu tau sendiri tho, dia itu kalau dikandhani pasti ngeyel!...
Tini
  Ya sudahlah, bu...makan malamnya sudah siap, kita makan dulu saja ya bu..
(Tini masuk ke dalam, keluar lagi membawa makanan)
Warsi
                                                                  Lingsir wengi .....


Tini
Ini bu makanannya, sudah siap........nyanyinya berhenti dulu nanti diteruskan lagi...(meletakkan makanan di meja, mendekati warsi yang termenung di dekat jendela)
Warsi
Ibu belum lapar......Lihat nduk, bintangnya malam ini bagus sekali.....mungkin malam ini bapak pulang...
Tini
Iya, bu...bagus sekali....Tapi bapak tidak akan pulang kalau ibu tidak mau makan malam ini.
Warsi
ah...kamu selalu bilang seperti itu....(mendekati Tini) Tempe lagi....
Tini
Seadanya bu...Ibu kan tahu, gajinya Tono itu ndak seberapa. Bisa makan saja sudah syukur, bu.
Warsi
Coba kamu dulu ndak berhenti les njahit, nduk..sekarang pasti kamu dah pinter njahit, bisa nerima jahitan orang-orang...Pasti keadaan kita lebih baik dari ini, kita juga ndak perlu bergantung pada Tono.
Tini
Iya, bu..Tini salah...Tapi Tini risi bu, mereka selalu memandang Tini dengan tatapan yang aneh, mereka ndak pernah bisa nerima Tini....sepertinya kok Tini ini ....
Warsi
Sst...sudah-sudah....(Melamun)
Tini
Lo kok malah nglamun to, bu? Ayo dimakan! Nanti nasinya dingin, jadi ndak enak lo, bu!
Warsi
Dulu...eyang putrimu jarang masak tempe..Stiap hari itu ya nduk, kalo ndak ayam, ya ikan...(Mendesah) Tapi sekarang..........
Tini
Sudahlah bu, ndak usah ingat yang dulu-dulu...nanti malah...
Warsi
Ya ndak bisa to nduk, bagaimanapun masa lalu itu bagian dari kehidupan kita....
Tini
Inggih...Tini tau, kita ndak akan bisa ada sekarang ini tanpa keberadaan masa lalu, ya to bu?
Warsi
(Makan, sambil mengangguk-angguk) uenak tenan ya sambel buatanmu....laki-laki yang jadi suamimu nanti pasti beruntung, sudah cantik, pinter masak lagi....
Tini
(melamun)
Warsi
Nduk...kamu itu kan sudah 25 tahun to? Harusnya sudah punya pacar..Ibu dulu, seusia kamu, sudah bingung mau milih yang mana....Pernah yo nduk, waktu itu ibu habis pentas di kraton, nembang di depan para bangsawan....Eee, la kok paginya...banyak laki-laki ganteng main ke rumah....Coba tebak berapa laki-laki yang datang waktu itu?
Tini
(Tersenyum, seolah-olah bingung, kemudian menebak) Mmmm, tujuh belas...
Warsi
Eee...iya nduk, bener...Tujuh belas..kamu kok tahu to?
Tini
(Tersenyum) La wong ibu crita itu hampir setiap hari kok, ya jelas aku tahu to!
Warsi
Ooooo...gitu ya nduk? (tersenyum lucu, sambil kebingungan) Tapi ibu boleh to nerusin ceritanya?
Tini
(mengangguk) Tapi sambil dimakan to bu...
Warsi
Iya, iya...trus gini nduk critanya....17 laki-laki itu...ndak ada yang kere, smuanya darah biru! Tapi ibu sudah terlanjur trisna karo bapakmu...Bapakmu ki ya, nduk...kalo sudah maen kendhang...Hebat tenan! Apalagi kalo nembang...smua perempuan langsung kepincut, termasuk ibu...Akhirnya bapak nglamar ibu...kami menikah tanpa restu eyangmu, karena asal-usul bapakmu ndak jelas. Kami lari dari satu tempat ke tempat yang lain. Bapakmu ndak pernah mau menetap, lha wong berasal dari mana bapakmu saja, ibu ndak tahu. Sampai Tono lahir dan ibu memaksa bapakmu untuk menetap, tapi dia malah pergi....Suratnya yang terakhir cuma berisi foto itu (menunjuk ke arah foto, di belakangnya tertulis ‘aku di Bali, salam buat anak-anak, selamat tinggal’. (Menitikkan air mata)
Tini
Nah to.....Aku kan sudah bilang ndak usah ngomongin yang dulu-dulu, ibu sih......(mencoba melap air mata Warsi)
Warsi
Ibu ndak nangis...Ini klilipen...Tapi ya nduk, ibu percaya pasti suatu saat bapakmu bakal pulang.
Tini
Iya...Tini juga yakin pasti bapak nanti pulang...tapi ndak tau kapan...


Warsi
Nduk, besok itu kan sabtu, berarti malamnya malam minggu to? Kira-kira ada berapa laki-laki yang bakal main kesini ya? Besok kamu harus dandan yang cantik, nduk...yang wangi...Jangan bau terasi seperti ini!
Tini
(tersenyum) Ndak akan ada tamu, bu.
Warsi
Ndak ada...? Satupun?
Tini
(Mengangguk) Bu, Tini bukan sinden hebat seperti ibu,  yang punya suara emas dan membuat banyak laki-laki tergila-gila...Tini ndak cantik, ndak pinter...Tini ndak bisa apa-apa, Tini cuma bisa nyusahin ibu sama Tono....Tini cuma....gadis CACAT.
Warsi
Eee...kamu itu ngomong apa to, nduk? Siapa yang bilang kamu cacat? Kamu itu cuma...
(Tini lari masuk ke dalam)
Warsi
Lo, Tin...kok kamu malah masuk to? Wong kamu itu cuma....Cacat?! (Tersenyum getir....menyanyi sambil menangis, sembari membersihkan meja, lalu masuk ke dalam)
(Lampu redup-mati, lalu terdengar suara tiang listrik dipukul tiga kali)
Tono
(Melangkah gontai) KENANGAN...mereka terjebak di dalamnya...Ibuku, dia terperangkap pada ruang tanpa waktu, dan lihat itu....(menunjuk ke arah Tini – lampu menyorot ke arah Tini yang sedang sibuk dengan hiasan-hiasan kacanya) Mbakku...hidup dalam dunianya sendiri bersama ‘teman-temannya’....(tertawa). Sementara aku?! Mati terkubur dalam impianku.
(lampu general hidup)
Tono
(menggumam sebuah lagu)
Tini
Baru pulang?
Tono
Eh, Tini....kamu tahu aku tadi dari mana?
Tini
                                                                      Layar tancep       


Tono
Iya, film yang diputar tadi bagus sekali. Film dari Hongkong..tembak-tembakkan seperti ini lo, Tin...dor..der..dor(memeragakan orang yang menembak). Kamu harusnya sekali-kali keluar nonton layar tancep, jangan cuma mainan ginian! (mengambil hiasan kaca dari tangan Tini) Ini cuma benda mati.... ndak bisa bikin kamu seneng (Tertawa)
Tini
Ssst...nanti ibu bangun! Kamu bisa dimarahi lagi! Kamu itu kok ndak ada bosen-bosene to dimarahi?
Tono
Biar saja...sudah biasa. Sudah, aku mau tidur, ngantuk!
Tini
Eh, tunggu dulu...kamu minum lagi ya?
Tono
Alah, cuma sedikit...Nih, lihat aku...aku masih sadar to, masih bisa diajak ngomong to?
Tini
Aku kan sudah bilang to ma kamu, minuman-minuman itu ndak baik buat kamu! Kamu itu lo, mbok ya ..........
Tono
Ssst! (menaruh telunjuknya di bibir Tini) Jangan berisik, nanti ibu bangun! (tertawa pelan)
Tini
Jangan bikin ibu tambah pikiran!
Tono
Ibu yang justru bikin aku tambah pikiran! (mengambil posisi tidur di kursi)
Tini
Kamu kan tau to kondisi ibu seperti apa......sudah seharusnya kita bisa memberikan yang terbaik untuk ibu, bukan malah bikin ibu tambah pikiran! Kamu harus lebih ngerti ibu, Ton! Ton, Ton, Ton......(mendesah)
Tono
(pura-pura mendengkur)
(Tini masuk ke dalam, sambil bicara sendiri pada hiasan kacanya ‘Kita semua sama...’)
Tono
(mendesah Harus lebih mengerti bagaimana lagi? (tertidur)
(Lampu meredup-mati, lalu terdengar suara ayam berkokok. Warsi keluar-lampu hidup)

Warsi
(mengambil piring dan memukulinya dengan sendok) Ayo, ayo bangun! Sudah siang....Ton, eh...kok tidur di kursi...ayo bangun! Kamu ndak kerja?
Tono
(ngolet) Iya..iya...(melangkah gontai ke dalam)
Warsi
Tin...Tini...
Tini
Iya, bu...sebentar.........ini lagi masak nasi....sebentar lagi siap kok, bu!
Warsi
(nyanyi) Lingsir Wengi...
(Tono keluar dengan handuk dan wajah basah)
Tono
Lagunya diganti lingsir esuk saja...wong sudah pagi kok lingsir wengi terus!
Warsi
Lha wong lagunya memang seperti itu kok, Ton..Ton
Tono
Ha ya mbok ganti...apa ndak bosen to nyanyi itu terus?
Warsi
Ya ndak. Wong lagu itu kesukaanne bapakmu! Kalo ibu nyanyi itu....bapakmu ki langsung klepek-klepek..
Tono
Wis...mulai...
Warsi
Mulai apane to? Bapakmu ki ya, Ton...
Tono
Mulai...ngomongin orang itu lagi....orang itu lagi...Cerita yang lain saja to bu, yang ‘happy ending’.
Warsi
Lo..apa maneh iku?
Tini
Sudah-sudah......pagi-pagi kok sudah rame, bribeni tetangga! Ini  lo makanannya sudah siap..
Tono
Siiip! Wah, dari baunya saja sudah bisa mbayangin gimana enaknya...Tin, mending kamu buka warung saja...pasti laris banget warungmu!

Tini
Masa to Ton? Apa iya aku bisa mbuka warung?
Tono
Ya bisa to, Tin...nanti aku nabung dulu...kalau sudah banyak, uangnya bisa buat modal kamu bikin warung kecil-kecilan...
Warsi
Ndak biasanya kamu punya pikiran yang bagus...
Tono
Ibu saja yang selalu mikir pikiranku selalu jelek...
Tini
Aduh...kok mulai lagi to? Sudah, sudah...ayo diterusin lagi makannya!
(semua terlarut dalam lezatnya makanan)
Warsi
(Melihat Tono) Ealah, Ton...Ton..makan itu mbok dinikmati, pelan-pelan..seperti ibu ini lo. Biarkan mulut, gigi, dan air liurmu itu bekerja sebagaimana mestinya! Jangan kamu paksa seperti itu...ndak baik...
(Tono cuma diam, dan meneruskan makan, tapi Warsi terus saja mengomel)
Warsi
Ton...eee, anak ini dibilangin kok ngeyel...kalau kamu makannya seperti itu nanti kamu jadi gampang keselek! Ayo dikunyah yang bener to,Ton!
Tono
(membanting sendok dan garpu) Gimana mau menikmati kalo makan saja harus diatur sama ibu! Mulut, gigi, air liur....ah, nafsu makanku malah ilang! Wis lah, aku berangkat ke pabrik saja! (masuk ke kamar)
Warsi
o...dasar bocah ngeyel!
Tini
Sudah to bu...ibu juga gitu, Tini kan sudah bilang Tono itu sudah besar, dia sudah tau hal-hal yang harus dia lakukan, jangan diatur-atur lagi kaya anak kecil! (warsi cuma mendesah)
Tono
(keluar kamar, marah-marah) Apa-apaan ini...siapa yang ngobrak-abrik kamarku? siapa yang ngambil puisi-puisiku, poster-poster filmku?
Warsi
Ibu....memangnya kenapa? Lha wong ngotor-ngotori dinding kaya gitu ok! Ndak bagus dilihat!

Tono
Ditaruh mana, bu?
Warsi
Di tempat sampah...kalo belum diangkut ma pemulung.
Tono
Sampai kapan ibu ngatur hidupku? Sampai sebesar ini, aku bahkan ndak punya sesuatu yang benar-benar milikku sendiri...semuanya diatur sama ibu...cara makan, kerja...Aku bahkan ndak punya kehidupanku sendiri!
Warsi
Sssst..kamu itu lo, teriak-teriak, malu didengar sama tetangga! Kita itu ndak hidup di hutan, jadi jangan mikirin diri sendiri!
Tono
Mikir diri sendiri? Kalo aku mikir diri sendiri, aku ndak kan mau kerja di pabrik sepatu itu, bu! Ibu pikir aku seneng, bahagia kerja di pabrik itu?! Cuma buat 250ribu per bulan, aku rela melepas cita-citaku...demi siapa? Demi keluarga ini! Dan ibu bilang aku mikirin diri sendiri?!
Tini
(mencoba menengahi) Sudah to, sudah....Bu, sudah bu....Ton, wis to Ton, wis!
Warsi
Pergi setiap malam nonton layar tancep, pulang pagi...apa itu yang namanya mikirin keluarga?
Tono
Karena cuma dengan nonton layar tancep, keinginanku untuk bertualang terpuaskan! Toh, meski aku pergi setiap malam, pulang pagi...aku ndak melepas tanggung jawabku!
Bu, kalo aku ndak mikirin ibu sama Tini, aku akan pergi seperti dia...(menunjuk ke arah foto di dinding) Pergi sejauh mungkin angin bisa membawa aku pergi!
Tini
Sudah...Sudah...Ton, ngalah, Ton...Sudah, Ton! (mencoba memegang pundak Tono, namun Tono menepis. Tangan tono menyenggol hiasan kaca Tini, pecah..Tini menangis. Tono kebingungan melihat Tini menangis, pergi...)
Warsi
Wis, ndak usah cengeng! Cuma hiasan seperti itu, nanti beli lagi di pasar.
(Warsi masuk, lampu redup, fokus pada Tini yang menangis dan memunguti serpihan-serpihan hiasan kacanya)
(lampu hidup – Tono masuk rumah)
Warsi
Ndak biasanya jam segini sudah pulang!
Tono
Ya sudah, aku pergi lagi! (Beranjak keluar)
Warsi
(menarik Tono) ee... mau kemana lagi...Layar tancep?
Tono
(menghidupkan rokok) La mau kemana lagi?!
Warsi
(mengambil rokok Tono, mematikannya) Daripada uangmu kamu habiskan untuk merokok, lebih baik ditabung untuk nerusin sekolahmu yang mandheg.
Tono
(mengambil rokok dari tangan warsi, dan menghidupkannya lagi) Aku lebih suka merokok. Banyak penulis besar yang ndak lulus sekolah, toh mereka tetap hidup!
Warsi
(mendesah) kamu keras kepala, seperti bapakmu...
Tono
Jangan pernah samakan aku dengannya, bu!
Warsi
La memang kenyatannya sifat kamu itu sama kaya bapakmu...
Tono
Kalau aku sama kaya dia, yo aku ndak mungkin masih ada di sini, bu!
Warsi
Ya wislah....ibu mau bicara tentang Tini.
Tono
Ada apa dengannya, bu?
Warsi
Ibu tahu kamu ingin bebas, kamu ingin punya kehidupanmu sendiri. Tapi kamu terperangkap di rumah ini, coba kalo Tini sudah punya suami yang mapan, kamu pasti ndak perlu repot seperti sekarang. Kamu bebas menjadi yang kamu mau, pergi ke manapun kamu mau!
Tono
Maksud ibu?
Warsi
Carikan jodoh buat Mbakmu!
Tono
(terkejut) ibu itu ada-ada saja....Ndak!

Warsi
Ayolah ton, kamu jangan egois, jangan mikir diri sendiri! Ini juga untuk kebaikanmu!
Tono
Ndak, bu!
Warsi
Apa kamu rela mbakmu jadi perawan tua? Ayolah, Ton...bawakan 1 lelaki untuk Tini, masa ya ndak ada teman kerjamu yang bisa kamu ajak ke sini? Dikenalin sama mbakmu!
Tono
Ndak tau, bu.....Lagian kenapa harus aku yang nyariin jodoh buat Tini, nanti kalau sudah saatnya, Tini juga pasti bakal ketemu jodohnya sendiri!
Warsi
Ayolah Ton...(merajuk) Ibu minta tolong sama siapa lagi kalo ndak sama kamu? Cuma kamu yang bisa, Ton! Kamu adiknya, laki-laki satu-satunya di rumah ini!
Tono
(mendesah) iya, iya...ya sudah.....nanti aku coba carikan, tapi aku ndak janji, bu! Aku juga ndak bakal bilang sama temenku kalo dia mau aku jodohkan sama mbakku. Pokoknya nanti aku coba cari, dan aku ajak makan malam di sini!
Warsi
Nah, gito to le. Pokoknya terserah kamu gimana caranya, yang penting carikan si Tini suami! Lagi pula siapa sih laki-laki yang ndak tertarik sama Tini, temenmu nanti kalo sudah ketemu Tini pasti yo langsung kepincut! Tini kan cantik, pinter masak lagi!
Tono
Ibu jangan terlalu berharap seperti itu...Kita bisa bilang Tini cantik dan baik karena dia keluarga kita dan kita sayang sama dia, tapi orang lain...
Warsi
Ada apa dengan orang lain?
Tono
(mendesah) Tini cacat, bu...
Warsi
Ibu ndak suka kamu ngomong seperti itu!
Tono
Tapi itu kenyatannya! Ibu harus bisa terima...lihat...dia selalu hidup dalam dunianya sendiri, ndak pernah mau ke luar rumah, dan ngobrol sendiri sama hiasan-hiasan kacanya! Semua orang di luar sana menganggap Tini itu aneh!

Warsi
Ton...ngomong apa kamu ini?
Tono
(mendesah) terserah ibulah! Tapi cobalah sekali-kali ibu terima kenyataan! (Tono ke luar rumah)
Warsi
Kenyataan?
(lampu mati agak lama untuk memberi kesan pergantian waktu yang terjadi beberapa hari)
(lampu hidup)
Tono
Bu, ibu...ini ada tamu...duduk dulu, Jon. Aku manggil ibu dulu...
Jono
Ya...
(Tono masuk,  Jono melihat-lihat keadaan rumah. Tono keluar lagi bersama Warsi)
Warsi
Eh, ada tamu to? Ayo, ayo...dienakke saja lo, nak...nak..nak siapa ya?
Jono
Jono, bu..
Warsi
O iya, nak Jono...temannya Tono di pabrik?
Jono
Iya bu, tapi beda bagian.
Tono
Jono ini salah satu mandor di pabrik, bu.
Warsi
O...gajinya pasti banyak ya?
Jono
Ah, ndak juga, bu...
Warsi
Walah, nak Jono ini pasti merendah..
Jono
Ya...memang tidak banyak bu, tapi cukuplah untuk hidup sehari-hari...
Warsi
Oooo....maaf lo nak Jono, tempatnya berantakan! Kamu itu lo Ton, wong ngajak tamu kok ndak bilang-bilang Ibu dulu...kan ndak ada persiapan seperti ini!

Jono
Sudah bu, ndak usah repot-repot...wong saya cuma mampir kok.
Tono
Tono ini mau nglanjutin sekolah, bu....
Warsi
O...ya bagus to! Memang harus begitu..mau nglanjutin sekolah apa nak Jono?
Jono
Belum tau, bu...yang pasti biar bisa dapat kerja yang lebih bagus lah bu, jadi mandor terus ndak ada peningkatan!
Tono
Walah...la kamu sudah bagus, Jon... bisa jadi mandor, aku dari dulu sampai sekarang yo masih saja jadi pekerja!
                                                                           Warsi       
                        La kalau kamu memang ndak pernah mau maju, Ton! Eeee...ngomong-ngomong keenakan ngobrol malah belum diambilkan minum...Tin, Tin..!
Tini
I..Iya bu..
Warsi
Tamunya ini tolong dibuatin minum, jangan lama-lama ya!
Tini
I..i..iya bu (Tini keluar membawa nampan berisi minuman, sedikit melirik pada Jono)
Warsi
Ini anak perempuan saya...mbaknya si Tono...cantik to nak Jono?
(Tini gemetaran menaruh minum untuk Jono, tumpah dan membasahi baju Jono)
Warsi
Lo...piye to nduk, hati-hati to! Maaf lo, nak Jono!
Tini
Ma..ma...maaf, mas...Saya ndak sengaja.
Jono
Sudah, ndak papa kok.
(Tini berusaha lari ke dalam, dicegah ibunya)
Warsi
Eeee...mau kemana kamu? Sudah kamu duduk di sini saja....biar ibu yang ambil minuman...Ton, ayo bantu ibu di belakang! (menarik Tono)
Tono
Lo..aku ikut? Aku disini saja, bu..(Warsi berkedip...menarik baju Tono)
(Jono dan Tini saling terdiam lama...Kemudian Jono melihat sekilas ke arah Tini)
Jono
Eeee...Tini...kamu Tini kan? Tini yang......(melihat ke arah kaki Tini)
Tini
(mengangguk dan berusaha lari ke dalam, tapi ditarik oleh Jono)
Jono
Eh, mau kemana? Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu...
Tini
Ndak kok...ndak apa-apa...aku memang..
Jono
Kok kamu dulu mandheg sekolah kenapa?
Tini
Ndak ada biaya...lagipula...
Jono
Lagipula apa? Karena kamu tidak punya teman? Sayang sekali, padahal seingatku dulu kamu pintar, sempat juara kelas beberapa kali, kan?
Tini
Apalah artinya sebuah kepintaran kalau sekelilingmu tidak pernah bisa menerima keadaanmu apa adanya, melihatmu seperti orang aneh....mencemoohmu...
Jono
(tersenyum) Aku tidak seperti mereka...
Tini
Iya...kamu tidak mencemoohku seperti mereka, tapi kamu juga tidk mau berteman denganku juga kan?
Jono
Ndak seperti itu...aku mau kok berteman denganmu...Cuma..
Tini
Sudahlah...Cuma mereka yang mau berteman denganku secara tulus...
Jono
Ini? Mainan-mainan kaca seperti ini? Apa enaknya bermain dengan mereka? Mereka tidak bisa bicara, tidak bisa membuatmu senang dan tertawa...
Tini
Tapi mereka bisa mengerti aku....aku tidak perlu mereka berbicara...cukup mendengarkanku dan tidak membuatku larut dalam kesedihan..
Jono
Dan semakin lama kamu berteman dengan mereka, kamu akan semakin mirip seperti mereka, lihat ini!(jono mengambil salah satu mainan kaca itu dan memcahkannya...)
Tini
Kenapa kamu memecahkannya?
Jono
Biar kamu tahu...betapa mudah pecahnya teman-temanmu ini! Kamu tidak mau seperti mereka, kan? Tin...kamu cantik, baik dan pintar...kamu bisa menjadi apapun yang kamu mau, asal kamu keluar dari perangkap yang kamu buat sendiri! Bangunlah...di luar sana..masa depan menantimu! Kamu tidak bisa begini terus-terusan!
(Jono memandang Tini dan memegang pundaknya...Tini menitikkan air mata, Tono dan Warsi keluar)
Tono
                                                Ehm...(batuk2 kecil) Ini minumnya, Jon..
                                                                           Warsi            
Wah, kliatannya sudah akrab...
Jono
                                              Ehm...kami dulu teman SMP, tapi...(Kikuk)
Tono
                                                     Iya, Tini mandheg pas kelas dua....   
Jono
Tadi kami juga sudah sempat ngobrol, sebenarnya rugi sekali kalau Tini sampai mandheg sekolah, wong dia itu pinter...
Tini
La mau gimana lagi...kan tadi aku sudah bilang....ndak ada biaya...
Warsi
Walah bagus to kalo kalian berdua dah saling kenal, tinggal pendekatan sebentar saja, bisa langsung...
Jono
Pendekatan? Langsung...maksud ibu?
Warsi
Ya...langsung ni...
Tono
Maksud ibu, ngobrolnya malam ini bisa lebih enak, kan sudah saling kenal...gitu to, bu? (berkedip pada Warsi)
Warsi
Iya, iya...maksudnya seperti itu...
Jono
Ooo...tapi saya ndak bisa lama-lama, tadi saya juga sudah bilang sama Tono sebelum kesini, Cuma bisa mampir setengah jam. (melihat jam tangan)  wah, sepertinya sekarang saya harus pamit, bu.
Warsi
Lo kok cepet-cepet, ada acara apa to? Tapi lain kali mampir lagi ya nak Jono!
Jono
Iya bu, saya usahakan. Ini lo...saya harus jemput calon istri saya pulang kerja.
Warsi
Calon.....istri?
Jono
Iya, rencananya bulan depan saya akan menikahinya, nanti undangannya pasti sampai kesini, bu...
Warsi
O iya..iya...kami tunggu undangannya. (melirik ke arah Tono)
Jono
Ya sudah, saya pamit dulu. (bersalaman, ketika menyalami Tini...’Kamu tambah cantik, sayang....aku pamit’...lalu keluar)
 Warsi
Ati-ati lo nak...
(Tono mengantar Jono keluar, Tini lari masuk ke dalam menahan tangis.....Setelah Jono pergi...)
Warsi
Apa-apaan ini? Apa serendah itu mbakmu di mata kamu? Sampai-sampai kamu bawain laki-laki yang sudah mau nikah ke sini?
Tono
Aku ndak tau bu kalo Jono mau nikah!
Warsi
Ndak tau bagaimana? Lha wong temen sepabrik kok ndak tau?!
Tono
Aku di pabrik itu kerja, bukan buat cari tau urusan orang lain! Jadi kalo Jono ternyata sudah punya calon istri, ya aku ndak tau!

Warsi
Alesan! Kamu itu memang egois, sakpenake dhewe! Ndak pernah mikirin orang lain!
Tono
Kalo ibu terus ngomong aku egois, aku pergi!
Warsi
La memang kenyataannya kamu itu egois...kenapa? ndak terima ibu ngomong seperti ini? Lihat to...apa yang sudah kamu lakukan sama keluarga ini?
(mendengar Warsi dan Tono bertengkar, Tini keluar)
Tini
Ton...sabar ton, tenang...Sudah, bu...sudah...(menenangkan)
Tono
Ibu yang musti lihat apa yang sudah aku lakukan untuk keluarga ini! Demi ibu, juga Tini...aku pendam keinginanku untuk pergi dari rumah....ibu tau aku pinginnya seperti apa? Ibu ndak tau to? Ibu memang ndak pernah tau, ndak pernah mau tahu...semua yang aku lakukan selalu salah di mata ibu, ndak pernah bener! Percuma...percuma aku bertahan di sini...percuma aku lepas cita-citaku untuk bertualang, jadi penyair, penulis...Aku selalu salah, dipersalahkan! Aku capek, bu! Sekarang terserah ibu mau bilang apa...asal ibu tau kalo aku ndak pernah ingin mengecewakan ibu, juga Tini! Semua yang ibu mau sudah aku kerjakan, dari cara makan, cara hidup, kerja sampai cari jodoh buat Tini...tapi semuanya ndak ada artinyakan buat ibu? Kenapa, bu? Kenapa aku selalu saja dicap selalu mikir diri sendiri, egois...tapi dia selalu ibu sanjung-sanjung...siapa yang mikirin diri sendiri bu? Dia atau aku? (mendekat dan menunjuk ke foto di dinding, dibanting)
Warsi
Dasar anak ndak tau diri! Sana, pergi...minggat’o! ndak usah mikirin ibumu ini, mbakmu yang cacat, perawan tua...pergi sana pergi! Nonton layar tancep sakpuasmu!
Tono
Iya...aku pergi....ndak ke layar tancep, bu...ndak! Aku pamit!
(tini berusaha mencegah kepergian Tono)
Tini
Ton....jangan, Ton...sabar...
(Tono melihat Tini sekilas, lalu pergi)
Tini
                                                                  Ton...Ton....ton....   
Warsi
Biarkan saja dia pergi, besok pagi juga pulang....
(Warsi masuk, lampu redup...tiga lampu fokus pada Tono, Tini dan selembar foto yang terjatuh di lantai)
Tini
Kata Jono aku tambah cantik... (tersenyum, mengelus wajahnya...lau memandangi hiasan-hiasan kacanya, dan membantingnya satu per satu) Aku ndak mau jadi seperti kalian...aku ndak mau jadi seprti kalian...aku ndak mau jadi seperti kalian....(menangis, teriak, tersenyum, mengelap air mata dan masuk ke dalam rumah, keluar lagi mengambil sapu dan menyapu halaman)

A Glass Menagerie
A Glass Menagerie

Epilog – Tono
 Dulu aku selalu mengira kehidupan yang sebenarnya ada di luar rumah...sebuah petualangan tanpa henti dan menakjubkan...tapi ternyata petualanganku justru berakhir semenjak kulangkahkan kaki dari rumah....kini yang aku punya cuma kenangan...(Tono menengok ke arah Tini, mendekatinya dan mengelus rambutnya)
Aku ndak pernah ingin jadi laki-laki seperti dia....(mendekat dan memungut selembar foto yang terjatuh di lantai) tapi darahnya mengalir dalam tubuhku......
(Tono lari ke luar panggung...Tini masih menyapu serpihan-serpihan kaca sambil menyanyi...”Lingsir Wengi...”   Lampu mati)


Disadur bebas dari The Glass Menagerie
Karya Tennesse Williams

                                                Semarang, 17 Juni 2007

✓ OldestNewer ›

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com