header marita’s palace

Inikah Rasanya Lumpuh?



Bau obat-obatan menyengat hidungku. Keringat dingin mulai bergulir. Meski ini bukan kali pertama untukku melewatinya, tetap saja ada getir yang kurasakan. Atau justru karena kali ini pengalamanku yang kedua, aku malah lebih was-was dari sebelumnya. Lebih menegangkan. Lebih dramatis. Lebih horor.

Di ruang ini aku bisa mendengar teriakan demi teriakan bersahutan. Beberapa berakhir dengan takbir yang sangat menggelegar, juga tangis bayi yang membahana. Aah, dadaku nyeri. Ternyata Allah belum memberiku kesempatan merasakan semua itu.

Selang dua bulan setelah dua strip yang membuatku girang, ternyata aku harus kembali belajar untuk ikhlas menerima segala takdir baik dan buruk yang Allah berikan.
Ya, kali ini memang jauh lebih getir.
***

Saat pengalaman pertamaku dulu aku masih pengantin baru. Ekspektasi untuk memiliki anak belum terlalu besar seperti saat ketika pengalaman kedua itu datang. Usia pernikahan yang telah menginjak tahun ketiga menyelipkan gundah. Apalagi ketika melihat kawan-kawan yang menikah setelahku justru telah menimang buah hati, bahkan tidak hanya satu, ada yang sudah dua.

Tapi bukankah soalan anak memang hak-Nya? Aku hanya bisa berikhtiar sebaik mungkin, sisanya Allah yang mengatur.

Dan setelah tiga tahun tidak pernah ada tanda-tanda kehamilan kembali, aku dan suami datang ke beberapa dokter, berkeinginan untuk menjalankan terapi. Namun belum ada yang cocok. Hingga kemudian kami memilih pasrah dan menjalani hidup seperti biasa.
***

Januari 2011 aku telat datang bulan. Namun aku tidak mau terlalu berharap, siapa tahu karena aku kecapekan. Ritme kerjaku dari jam 8 pagi ke 8 malam bisa saja membuatku capek dan telat datang bulan.

Memasuki bulan Februari dan belum ada tanda-tanda bulan akan datang. Feeling akan sebuah kehamilan mulai muncul. Namun sebuah berita duka datang, eyang putri tercinta meninggal. Perhatianku teralih.

Testpack Positif - Situs Pengen Sehat


Hingga hari ke-3 setelah eyang putri meninggal aku membeli sebuah testpack. Semoga testpack itu tidak menipu. Mengingat riwayat blighted ovum tiga tahun yang lalu, aku segera memberitahu suami kabar gembira ini. He was so excited. Ya, siapa yang tak berbahagia jika mendengar kabar bahwa ia akan menjadi seorang ayah?

Suami segera mengajakku ke dokter kandungan yang saat itu membuka praktek di sebuah apotek di Ngalian. Kami memilih dokter ini karena saat kehamilan pertama pun kami berkonsultasi dengannya. Harap-harap cemas kami menunggu antrian. Tidak sabar mendengar sebuah berita baik.

Antrian cukup panjang. Waktu semakin berputar ke angka jam 9 malam saat giliranku datang. Dokter mengoleskan cairan dingin di atas perutku, lalu meletakkan alat yang terhubung ke layar di mana aku bisa melihat dalamnya rahimku.

Dari gerak tubuh sang dokter yang berkali-kali menggerakkan alat itu di atas perutku, sambil sesekali mengerutkan kening ke arah layar, tiba-tiba aku pesimis. Dia menghela nafas. Dan mempersilakan aku dan suami duduk kembali.

Kepesimisanku terjawab. Kantong rahim terlihat, namun janin belum nampak. Diagnosa yang sama seperti tiga tahun lalu. Lungkrah.

Namun dokter itu memberikan semangat, “mungkin karena masih terlalu kecil, jadi janin belum bisa kelihatan. Saya beri beberapa penguat dan vitamin ya. Kalau tidak ada keluhan, kita evaluasi seminggu lagi.”

Aku dan suami mengangguk. Bergegas membeli obat yang diresepkan. Kami harus optimis.
Namun tiga hari setelah pemeriksaan pertama, aku merasakan darah mengalir di area V- ku. Saat itu aku sedang mengajar di salah satu SDIT. Aku bergegas ke kamar mandi, mengecek apakah benar yang kurasakan.

Deg. Semburat merah kulihat di sana. Seketika optimisme itu lebur. Aku menelpon suami, ia menenangkanku sembari berkata, “malam ini kita ke dokter lagi.”
***

Kami kembali bergelut dengan antrian yang panjang. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku merapal doa, “ijinkanku merasakan sempurnanya menjadi wanita, ya Allah.”

Namaku dipanggil dan kami kembali berhadapan dengan dokter itu. Kuceritakan kondisiku. Dia menghela nafas. Diperiksanya sebagaimana tiga hari lalu. Kondisi masih sama. “Kemungkinan blighted ovum.” Hatiku berdesir. Lagi?

Ilustrasi Blighted Ovum - Situs All Health Links
Begitulah, evaluasi demi evaluasi tiap minggu aku jalani. Hingga di minggu ke-12 tidak ada perubahan apapun. Tidak ada janin yang terlihat, meski bercak-bercak darah tidak lagi nampak. Sang dokter memberikan sebuah surat rujukan kuretase. Kami memilih melakukan kuretase di rumah sakit tempat suami bekerja karena dekat dengan rumah.

Sebelum kuretase dilakukan, kami sempat berkonsultasi juga dengan dokter di rumah sakit tempat aku akan melaksanakan kuretase. Beliau hanya menyarankan, jika memang sudah siap, segera saja dijalankan.

Dan inilah kuretase keduaku bersama dokter tersebut.

Semalam sebelum proses kuretase dilakukan, aku menjalani rawat inap untuk memicu pembukaan. Aaah, sakitnya bukan main. Sebuah obat dipaksa masuk ke area V ku agar terjadinya pembukaan. Berkali-kali dicek pembukaan mentok tak ada perubahan. Sementara perutku terasa melilit, sebagaimana ketika bulan datang menyapa. Namun ini jauh lebih sakit.

Aah, sepertinya pengalaman yang pertama tak sesakit ini.
***

Ruangan Instalasi Bedah Sentral (IBS) itu terasa mencekam.  Dinginnya semakin membekukanku. Antrian demi antrian berjalan. Ranjangku didorong, saatnya tim anestesi memberikan bius setengah badan. Ini jauh lebih horor dari pengalamanku tiga tahun lalu.

Rumah Sakit - Situs Portalkbr
Ya, berbeda dengan kuretase pertamaku yang menggunakan bius total, kuretase yang kedua ini hanya menggunakan bius setengah badan. Aku tidak dibuat tertidur. Masih bisa melihat dan mendengar, hanya tubuh bagian bawah yang lama-lama akan mati rasa.

Obat bius belum benar-benar berjalan. Aku masih bisa merasakan kakiku bergerak, meski rasanya menebal. Aku juga masih bisa mengangkatnya. Perawat datang dan menepuk kakiku, “udah nggak terasa ya bu.” Aku menjawab lirih, “masih.” Perawat tersebut kembali memeriksa kakiku, “sudah nggak kerasa ini. Udah seperti ini kok.”

Dalam hati aku mangkel, yang ngrasain siapa, kenapa dia yang membuat pernyataan sendiri. Aah, tapi dengan kondisi yang seperti ini aku sedang malas berdebat.

Tiba-tiba dokternya sudah datang, tanpa babibu, ia segera menjalankan proses kuretase. Sementara itu aku merasakan biusnya belum benar-benar berjalan hingga proses itu terasa cukup membuatku pringas-pringis menahan sakit. Seperti ini ternyata rasanya kuretase.

Kuretase - Situs Obsgynmag
Saat kesakitan itu, dokternya berkomentar, “lo ini ibunya masih kerasa lo, anestesinya gimana ini?” Perawat yang ngeyel tadi tiba-tiba bersuara, “bu, bu.. wong udah dikasih anestesi kok kloget-kloget to. Santai wae to.

Jengkel dan lemas jadi satu. Kalau Tak sampai 10 menit kuretase dijalankan. Ranjangku digledek ke bagian luar ruang operasi. Menunggu evaluasi demi evaluasi. Aku merasakan ada yang aneh dalam diriku.

Aku merasa kakiku tambah berat dan tak bisa digerakkan. Lama-lama aku justru merasa tidak punya tubuh bagian bawah. Sementara itu kepalaku mulai pusing tak terkira. Lemas. Aah, sepertinya obat biusnya justru baru mulai bereaksi.

Seorang dokter anestesi memeriksaku. Dia sepertinya melihat keanehan dalam tubuhku lalu memanggil perawat yang bertanggung jawab atas pemberian anestesi kepadaku. Mereka bercakap-cakap tak jauh dari tempatku berbaring. Sedikit banyak yang kutangkap dokter itu memarahi perawat tersebut karena terlalu banyak memberikan dosis obat bius. “Lumpuh nih pasiennya.”

Deg. Lumpuh? Aku bergetar. Aku tiba-tiba ingat ibuku di rumah. Kalau aku lumpuh, terus siapa yang akan merawat ibu? Aah, ingin segera keluar dari ruangan ini dan bertemu suamiku. Aku kalut. Pusing. Lemas.

Akhirnya aku diperbolehkan juga keluar dari ruang IBS dan digledek menuju ruang perawatan. Dan benar, aku lumpuh. Lumpuh sementara. Aku tidak bisa merasakan kakiku, tubuh bagian bawahku. Bahkan mulai menjalar ke tangan-tanganku. Tidak bisa mengangkat kaki dan membalikkan badan ke samping. Benar-benar tidak bisa apa-apa. Bahkan aku harus buang air kecil di pispot. Benar-benar pengalaman yang menegangkan!

Gara-gara kelumpuhan sementara itu aku tidak bisa langsung pulang ke rumah. Padahal pengalaman kuretase yang pertama, beberapa jam setelah kuretase aku bisa langsung pulang ke rumah. Namun berbeda dengan pengalaman yang kedua itu, aku harus kembali menikmati bau obat hingga kondisiku benar-benar pulih. 

Bulikku datang. Melihat keadaanku dia hanya berpesan, “sabar, disuruh istirahat.” Lalu ia menyuapiku nasi goreng. Aku berdesis lirih, “jadi seperti ini yang ibu rasakan ya, bulik.”

Bulik tersenyum. Setelah selesai menyuapiku, bulik pamit pulang. Aku sendirian, suamiku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan di kantornya. Aku menangis. Aku baru sadar Allah sedang memberikanku peringatan lewat peristiwa ini.

Selama ini aku sering mengeluh. Pekerjaanku melelahkan. Sebelum bekerja aku masih harus merawat ibu, memandikan beliau, menyuapi beliau. Aku masih belum ikhlas merawat ibu. Selalu merasa capek, capek dan capek.

Kondisi Ibu - 2002
Padahal kalau dipikir-pikir sekarang, capekan siapa? Aku yang masih bisa beraktivitas kesana-sini, atau ibu yang tiap harinya hanya bisa tidur di pembaringan? Tidak bisa bergerak, tidak bisa beraktivitas apapun tanpa bantuan orang lain. Mau balik badan harus nunggu aku, adik atau suami datang. Mau ngangkat kaki, mau makan, mau apa saja ibu membutuhkan kami. Namun beliau tegar, tidak pernah marah, tidak mengeluh bahkan tidak protes ketika kami sibuk dengan dunia kami. Ibu selalu menunggu, menunggu semua orang di rumah ikhlas merawatnya.

Ya, Allah menamparku. Dua tamparan dalam satu kejadian. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi ibu yang baik ketika aku belum bisa berbakti dengan sempurna pada ibuku? Sekaligus IA menamparku atas segala keluh kesahku, rasa capekku, IA membuatku lumpuh sementara. Hanya setengah hari, namun aku bisa merasakan ternyata menjalani kehidupan seperti ibu itu berat, sangat berat. Jika aku yang di posisi ibu, aku tak mungkin bisa sekuat beliau menjalani semuanya.

Terima kasih Allah untuk tamparan ini. Begitu hebat caraMU mencintaiku. Begitu indah caraMU menunjukkan kuasaMU. Begitu luar biasa caraMU mendidikku agar lebih bijak menjalani hidup.

Dan itulah pengalaman terhoror dalam hidupku. Merasakan apa yang ibu rasakan. Hanya setengah hari, sedang ibu belasan tahun menjalani semuanya!

Kondisi Ibu 2011 setelah Ifa Lahir



#OneDayOnePost Day 13

18 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Saya juga pernah nyaris lmpuh karena urat punggung kejethit. Jika tak segera ditangani pasti saya lumpuh. Alhamdulillah saya sembuh setelah berobat alternatif di Cisaat Sukabumi.
    Salam hangat dari Jombang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah kaya ibu saya itu pakdhe... syaraf tulang belakangnya terjepit.. tapi sudah dibawa kemana2 belum ada hasilnya :)

      Delete
  2. Ya alloh, berat sekali perjuangannya. Ternyata bius over dosis bisa berakibat lumpuh sementara to.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin karena kebanyakan yang harusnya mati rasa cuma satu atau dua jam, jadi setengah hari mbak mati rasanya.... nggak bisa ngapa2in, kaya nggak punya tubuh bagian bawah..

      Delete
  3. Ya Allah... Saya ikut tegang Mbak...
    Alhamdulillah semua bisa dilewati ya.

    Saya pernah lumpuh tapi di wajah, sebelah. Saat itu masih SMP dan saya jauh dari ortu. Takuuut banget. Tapi alhamdulillah berkat bantuan teman2akhirnya sembuh lagi. .
    Trims kisah horornya Mbak, jadi pelajaran juga buat saya ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah... kenapa itu mbak wajahnya kok bisa begitu? Campur aduk pasti rasanya ya mbak..

      Sama-sama mbak :)

      Delete
  4. Duh, ngeri banget bayanginnya.
    Dulu kami beruntung istri langsung hamil cuma kurang-lebih sebulan setelah menikah. Eh, lahirnya pun nggak perlu jauh-jauh karena pas bidan dan dukun bayi datang, anak pertama kami tinggal mbrojol keluar. Cuma tegang juga sih ikut nemenin persalinan pas dua tenaga tersebut belum sampai. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah ya pak diparingi lancar semuanya :)

      Delete
  5. wahhh...perawatnya sembarangan ya mbak. semoga ini menjadi pelajaran juga baginya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah pas operasi SC 9 bulan kemudian, tim anestesinya oke banget. Sampai aku wanti2 ke suami, tungguin, jangan ditinggal pergi, bilangin ke tim anestesinya jangan sampai ada kesalahan fatal lagi... bisa mati duduk aku kalau operasi SC kejadiannya kaya pas kuret itu :D

      Waktu mo keluar RS kan disuruh isi form saran dan kritik, aku tulis juga pengalamanku itu biar tidak terulangi lagi.

      Delete
  6. Replies
    1. Iya super ngeri. Terima kasih, salam sehat kembali.

      Delete
  7. Mba.. ngeri banget..

    Alhamdulillah sekarang sdh ada Ifa yang shalihah. Allah memang paling tahu yg apa dan kapan waktu yg paling tepat dan hal yg dibutuhkan oleh kita ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak..

      "Ditampar" dulu sama Allah biar kebuka matanya. Selang sebulan setelah kuret kedua ini, Aku langsung Hamil si Ifa :D

      Sempat flek-flek Dan nggak nampak juga janinnya waktu si ifa... Alhamdulillah setelah 12 minggu kliatan terus lancar mpe lairan.

      Delete
  8. so sweet mbak ceritanya..bikin terharu..

    ReplyDelete
    Replies
    1. semoga nggak mengalami lagi deh mbak.. trauma :D

      Delete
  9. kisah yg penuh perjuangan mbak

    ReplyDelete