header marita’s palace

Es Sirop untuk Udin


Namanya Udin. Ia anak lelaki berbaju kumal yang sedang berdiri di gerobak penjual minuman, sambil menelan ludah berkali-kali. Cairan berwarna merah itu benar-benar membuat dirinya tak kuasa untuk beranjak dari tempat berdirinya. Diliriknya uang di bagian dada kantong bajunya, hanya ada beberapa koin receh. Baskom berisi bulatan donat yang dijajakannya sejak siang sepulang sekolah tadi, baru terjual dua atau tiga biji.

Sejak dibukanya toko donat di seberang masjid, banyak pelanggannya tak lagi membeli donat darinya. Ia sadar secara rasa donat buatan ibunya terlalu sederhana. Jelas kalah dibandingkan donat yang dijual di toko besar tersebut. Donat buatan ibunya hanya berbalut gula halus, sedangkan donat dari toko besar itu penuh warna-warni dengan topping krim manis yang menggoda. Namun andai saja semua orang tahu sejak pagi-pagi buta ibunya telah menyiapkan adonan donat yang nanti akan dijual oleh Udin sepulangnya sekolah. Tetes-tetes keringat ibunya inilah yang terus membuat Udin semangat menjejakkan kaki dan menjajakan donat-donatnya dari satu kampung ke kampung lainnya.

Ia sadar jika sebaskom donat ini tak habis terjual, maka ibu akan menyuruhnya untuk membagi-bagikan donat itu kepada para tetangga. Sementara itu Udin dan ibunya akan kembali berpuasa. Bukan sekedar karena ini sedang bulan ramadhan, namun karena sudah tak ada lagi beras yang bisa ditanak menjadi nasi, apalah lagi lauk yang bisa diolah. Puasa bagi Udin dan ibunya adalah hal yang biasa dilakukan saat donat-donat tak habis terjual. Menahan lapar dan dahaga bagi mereka bukanlah hal yang sulit. Mereka telah terlatih melakukannya.

Jangan tanyakan lelaki yang harusnya bertanggungjawab atas hidup mereka. Sudah empat tahun laki-laki bernama bapak itu tidak ingat pulang, setelah seorang perempuan dengan mata yang selalu berkerling memikat hatinya. Tak ingat anak dan istri, hingga ibunya harus berjuang sendirian. Namun tak ada keluhan dari bibir ibunya. Buat ibunya, hidup harus tetap dijalani sebaik-baiknya. Bahkan wejangan ibunya selalu terngiang di telinga Udin, “Nak, jika donat-donat ini tak laku dijual dan tak ada lagi yang bisa kita makan, jangan mengeluh. Apalah lagi meminta-minta belas kasihan pada orang lain. Yakinlah, Gusti Allah mboten sare. IA telah mengatur rezeki hambaNya sebaik-baiknya. IA tak akan membiarkan hambaNya kekurangan, selama mereka selalu bersyukur.” 


Udin sebenarnya tak begitu paham dengan yang dimaksud ibunya. Anak laki-laki yang kini duduk di kelas 3 SD itu hanya tahu bahwa wejangan ibu adalah titah yang tak boleh dilanggar. Yang ia tahu ibunya sudah berjuang kerasa untuk kehidupan mereka. Ia hanya ingin membantu ibunya dengan menjadi anak yang berbakti. Sore itu ketika matanya menatap gerobak penjual minuman berwarna merah, hampir saja wejangan ibunya terlupakan. Ia hampir saja meminta-minta belas kasihan dari orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan, “Pak, Bu.. tolonglah dibeli donat ini. Kami belum makan sejak dua hari lalu…” Namun Udin menepis pikiran itu, juga keinginannya pada minuman berwarna merah itu. Entah kapan terakhir ia mencecap minuman yang pasti akan menyegarkan kerongkongannya saat azan maghrib nanti dilantunkan.

Udin menghela nafas dan melempar pandangan dari gerobag penjual minuman. Ia kembali fokus untuk kembali menjajakan donat-donatnya. Ia mengingat kembali wejangan ibunya. Ia kembali meyakini bahwa Allah Maha Pemberi Rezeki. Baru saja tiga langkah ia jejakkan, seorang perempuan muda berkerudung ungu melambaikan tangan ke arahnya. “Alhamdulillah…” Syukurnya di dalam hati, ia optimis sore ini baskom berisi donat akan dibawa pulang dalam keadaan kosong, sehingga sahur besok pagi mereka tak lagi hanya meneguk segelas air putih.

Udin menghampiri perempuan muda itu. “Dik, beli donatnya ya. Satunya berapa?” Tanya perempuan muda itu ramah.

“2000 saja Kak. Kakak mau beli berapa?” Jawab Udin tak kalah ramah. Jemarinya bersiap memasukkan donat-donat ke dalam plastik putih kiloan.

“Kakak beli semuanya ya Dik. Minta tolong dibawakan ke musholla di ujung gang sana ya.” Kaki Udin bergetar mendengar jawaban perempuan muda tersebut. Kini ia paham maksud dari wejangan ibunya. Bahkan jika dalam pikirannya seakan tak mungkin terjadi, bagi Allah semua adalah mungkin. Udin masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Sambil mengucap syukur berkali-kali di dalam hati, ia mengekor di belakang perempuan muda berkerudung ungu itu. Sesampainya di musholla yang dimaksud, baskom donatnya disambut oleh teman-teman perempuan muda tersebut. Mereka bahkan mengucapkan terima kasih pada Udin. Dilanjut dengan tangan terampil mereka memasukkan satu donat ke dalam satu kantong plastik hingga habis.

Udin masih takjub dengan apa yang didengar dan dilihatnya. Ternyata perempuan-perempuan itu sekelompok remaja yang menjadi panitia pembagian takjil di musholla ujung jalan. Udin senang donat-donatnya bisa membantu teman-teman seusianya berbuka. Ia juga senang membayangkan esok pagi akan ada nasi di meja lengkap dengan sayur dan lauknya. Udin lalu bersujud syukur di lantai masjid. Ia melepaskan keharuan di dadanya.

Tanpa Udin sadari perempuan muda berkerudung ungu itu telah berdiri di sampingnya. Ia menyodorkan selembar uang seratus ribu kepada Udin. “Terima kasih, Kak.” Udin menerimanya dengan gemetar.

“Kami yang berterima kasih, Dik. Karena donat adik, adik-adik di musholla kami bisa berbuka dengan layak.” Seutas senyum terseungging di bibir perempuan tersebut. “Dik, setiap sore selama bulan ramadhan bisa bawakan donat bikinan adik ke musholla ini?” Udin lagi-lagi kembali takjub dengan apa yang didengarnya. Bibirnya bergetar menjawab pertanyaan perempuan muda itu, “Insya Allah bisa kak.”


“Alhamdulillah. Jumlahnya sama dengan yang dibawa adik hari ini ya.” Udin mengangguk cepat. Lagi-lagi ia bersujud syukur. Lagi-lagi ia terngiang wejangan ibunya. Gusti Allah mboten sare, Gusti Allah tak akan pernah membiarkan hambaNya kekurangan. Saat ia bangun dari sujud syukurnya, azan telah berkumandang. Perempuan muda berkerudung ungu menyodorkan minuman berwarna merah berwadahkan gelas plastik ke arahnya. “Adik puasa kan? Ini diminum dulu.” Hati Udin kembali gerimis menerima gelas berisi es sirop yang hampir saja membuatnya lupa wejangan ibunya. Kini segelas es sirop itu membuatnya bersyukur untuk sekian kalinya. Alhamdulillah.. Nikmat Allah mana lagi yang harus kita dustakan.

***

#RWCODOP2019
#OneDayOnePost
#Day2

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com