header marita’s palace

7 Hal yang Membuat Bumi Manusia Layak Ditonton Lebih dari Sekali!


“Semua cara sudah dilakukan, kini saatnya pena terangkat.”

Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Sepenggal kalimat yang diucapkan Minke dalam film Bumi Manusia tersebut mampu membuatku bergetar. Ah tidak, sepertinya bukan hanya aku. Kulirik dua sahabat yang ada di samping kiriku, Kak Dee dan Mbak Hessa pun nampaknya ikut terbakar dengan kalimat Minke tersebut. Lalu kami pun saling berpandangan. Penuh arti. Hanya kami bertiga yang mampu menerjemahkannya satu sama lain.

Sejak Bumi Manusia mulai tayang 15 Agustus 2019 lalu, aku dan Kak Dee sudah berjanji bakalan nonton bareng film ini. Tidak peduli pada segala kasak-kusuk pro dan kontra di luar sana, yang kami yakini ini salah satu must watch movie. Alhamdulillah setelah penantian yang cukup panjang. Dari menanti jadwal yang cocok hingga jadwal invoice cair, akhirnya hari Senin, 2 September 2019, berhasil juga kita nobar. Bahkan nggak cuma berdua, ada mbak Hessa yang juga ikut serta.

Squad Galon dari Bumi Manusia

Hampir saja kami ketinggalan kereta gara-gara aku datang terlambat. Alhamdulillah, sebelumnya aku sudah beli e-ticket lewat aplikasi Cinema 21, jadi Kak Dee bisa langsung cetakin tiketnya. Saat aku sampai di lokasi, sudah lima menit lebih dari jadwal penayangan. Beruntung filmnya belum dimulai. Pas.

Setiap orang pasti punya insight dan pengalaman berbeda saat menonton film. Banyak yang bilang film Bumi Manusia nggak bisa menceritakan sedetail novelnya, karakter Minke yang nggak cocok diperankan oleh Iqbaal, settingnya terlalu artificial, dan sebagainya. Wajaar… tapi buatku… this is one of the best Indonesian movie I’ve ever watched! 



Aku termasuk yang suka underestimate kalau Hanung bikin karya, tapi kuakui… semakin hari besutan beliau semakin ajib! Tabik, mas Hanung. 

Film ini berdurasi tiga jam dan aku sama sekali nggak merasakan kebosanan. Alurnya pas. Nggak lambat, nggak terlalu cepat. Seandainya aku nonton Bumi Manusia di aplikasi streaming, pasti berkali-kali ku screenshot, saking banyaknya hal yang pengen kucatat dan kusimpan. Tapi berhubung aku nonton di bioskop, nggak mungkin juga ambil gambar, dan nggak mau merusak kekhusyukanku menikmati setiap dialog yang tercipta.. aku hanya bisa bertahan untuk tidak berkedip. Karena rasa-rasanya, sekali saja aku berkedip, ada banyak momen yang bakal terlewatkan.

7 Alasan Harus Nonton Bumi Manusia (Lagi)


Ya, menurutku filmnya sekeren itu. Bahkan rasa-rasanya sungguh sayang kalau nonton film ini hanya sekali. Btw, jika menurut teman-teman Bumi Manusia nggak sekeren itu, ya nggak papa. Balik lagi bahwasanya setiap orang punya pengalamannya masing-masing kan? Setidaknya ini 7 alasan mengapa menurutku Bumi Manusia layak ditonton lebih dari sekali!

1. Masterpiece of Pramoedya Ananta Toer

pic by CNN Indonesia

Siapa tak kenal Eyang Pramoedya Ananta Toer? Bahkan jikalau kita belum pernah membaca karya-karyanya satu pun, kita pasti setidaknya pernah mendengar nama besar beliau,. Seorang sastrawan besar yang pernah menjadi tahanan politik selama 14 tahun di zaman orde baru, dikarenakan pikiran-pikiran beliau dianggap pro komunis. Saat diasingkan di Pulau Buru, lahirlah tetralogi pulau Buru. Bumi Manusia adalah bagian pertama dari novel semi fiksi sejarah yang dibuat beliau di masa pengasingan tersebut. 

Buku-bukunya sempat dilarang terbit. Bahkan banyak seniman-seniman lain memboikot saat Eyang Pram mendapat penghargaan Ramon Magsaysay Award, 1995. Intinya, semua tentang Eyang Pram penuh kontroversi. Terlalu panjang jika kutuliskan sejarah hidup beliau, teman-teman sebaiknya bisa menyimak dari sumber lain, salah satunya di wikipedia.

Jujur, aku tahu karya-karya Eyang Pram sebatas judulnya saja. Sungguh memalukan sebenarnya. Sebagai orang yang mengaku lulus dari SMA jurusan bahasa dan sempat menggeluti dunia panggung, tapi belum pernah baca karya beliau? Apa kata dunia? Mangir dan Gadis Pantai sepertinya yang sempat kubaca. Itupun hanya sekilas, tak menyeluruh. 

Ya, stereotype KOMUNIS yang menempel pada nama besar Eyang Pram bikin aku ngeri-ngeri sedap. Dan ternyata saat itu kekepoanku kurang besar untuk menggali lebih dalam tentang karya-karya hebatnya. Namun tetap tidak meluruhkan hormatku pada sosok sastrawan besar ini. Maka, inilah salah satu alasan utama kenapa aku menonton film Bumi Manusia. 


Buatku belum pernah membaca novelnya menjadi sebuah keuntungan besar. Aku tidak berekspektasi terlalu tinggi tentang karakter Minke, Nyai Ontosoroh dan Annelis. Gelasku benar-benar kosong dan aku menikmati setiap scene yang ada di film tersebut. Syahdu. Bahkan untuk orang yang belum pernah baca novelnya, filmnya cukup mudah diikuti dan dipahami. Ya, meski ada beberapa hal yang akhirnya terjelaskan dengan utuh saat kemudian kita membaca novelnya.

Sepulangnya dari bioskop, dengan sangat terpaksa aku memang mengunduh PDF Bumi Manusia yang ternyata banyak kita temukan di mesin pencari. Aku merasa butuh membaca versi novelnya untuk mengkonfirmasi beberapa hal yang muncul di kepala. 300an lembar habis tuntas kubaca dalam waktu sekitar 4 jam. Satu-satunya novel versi PDF yang selesai kubaca. Selama ini aku nggak pernah betah baca e book, gaess.. dan Bumi Manusia menaklukanku!

Menurutku, baik novel dan filmnya punya kekuatan masing-masing. Eyang Pram menuliskan Bumi Manusia dengan sangat mewah, Salman Aristo mampu memolesnya ke dalam bentuk skenario yang luar biasa dan Hanung Bramantyo mengeksekusinya menjadi sebuah film yang sangat indah.

2. Pecinta Literasi dan Sejarah Must Watch The Movie

RM Tirto Adhi Soerjo, Wikipedia

Jika teman-teman mengaku pecinta dan pegiat literasi, maka tontonlah film ini! Film yang bakal membuat kita semakin cinta pada Indonesia dengan segala budaya, kesenian dan unggah-ungguhnya. Meski fiksi, namun kita bisa belajar sejarah bangsa dari film ini. 

Konon Eyang Pram membuat karakter Minke bercermin pada pengalaman RM Tirto Adhi Soerjo seorang tokoh pergerakan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Prijaji. Di novelnya sendiri tidak pernah tertulis secara gamblang siapa Minke itu. Dan jujur aku pun baru tahu soal RM Tirto Adhi Soerjo setelah nonton film Bumi Manusia. Ternyata sosok yang menginspirasi Eyang Pram membuat tokoh Minke ini dikukuhkan sebagai Bapak Pers Nasional di tahun 1973 dan mendapat gelar pahlawan nasional pada 3 November 2006.

Meski film ini bersetting waktu di zaman kolonial, tokoh Minke di Bumi Manusia akan membuat kita bergetar. Bergetar karena malu. Malu karena mudahnya kita mengagumi budaya barat, Korea dan segala hal yang nampak keren dari luar negeri. Melupakan bahwa banyak hal di negeri sendiri yang patut diapresiasi, bahkan orang luar pun berbondong-bondong mengagumi dan mempelajari.



Di zaman itu, hal yang sama pun terjadi. Diceritakan bahwasanya orang-orang Indo (keturunan Indonesia - Belanda) dan pribumi yang mampu belajar di Sekolah Belanda begitu kagum dengan budaya dan pemikiran-pemikiran Eropa. Modern, bebas dan inspiring. Di satu sisi, ada orang-orang Belanda, dan sebagian keturunan Indo yang justru ingin melepaskan predikat Indo-nya, dan memilih menjadi pribumi. Karena cinta. Karena Indonesia (yang saat itu belum bernama Indonesia pastinya) punya unggah-ungguh dan pekerti yang tak dimiliki oleh bangsa Eropa. 

Sosok Minke diceritakan sebagai pribumi yang awalnya juga sangat mengagungkan budaya Eropa, meski di satu sisi ia pun tak ingin pribumi diinjak-injak. Pertemuannya dengan Annelis dan Nyai Ontosoroh semakin membuka pikirannya untuk bergerak melawan kolonialisme. Pena menjadi senjata untuk Minke. Buah-buah pikirannya mengguncang sesiapa saja yang membacanya. Dan scene-scene yang menggambarkan perjuangan Minke berkarya lewat pena ini sungguh menjadi cambuk buat para pegiat literasi. Teruslah menulis, kawan…!

3. Satu-satunya Film Indonesia yang Mengajak Penontonnya Menyanyikan Lagu Kebangsaan


Cara Hanung membangun emosi sejak di awal film buatku sungguh luar biasa. Baru kali ini nonton film diminta berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya! 

Sesaat setelah informasi bahwa film segera dimulai, gambar bendera Merah Putih beserta kalimat himbauan agar penonton berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan tertera di layar bioskop. Amaziing. Tanpa ada yang memimpin, serentak seluruh penonton di theater 2 Citra XXI siang itu berdiri. Beberapa meletakkan telapak tangannya di bagian dada, lalu khusyuk menghayati lagu yang diciptakan W. R Soepratman. Begitu selesai, semua kembali duduk di kursinya masing-masing. Suasana di ruangan itu mendadak sunyi. Masih larut dalam keharuan.

Hiduplah tanahku
Hiduplah negeriku
Bangsaku Rakyatku
Semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Disusul dengan scoring OST Bumi Manusia yang tak kalah syahdu mengiringi slide gambar di masa kolonial dan monolog pembuka dari Minke. Rasakan momen-momen istimewa ini, pals… segera ke bioskop terdekat, jangan sampai terlambat!


4. Sha Ine Febriyanti… Daebaaak! Aktor Lainnya? Jempolan!


Anak-anak generasi milennial mungkin nonton ini karena ada Dilan… eh Iqbaal. Tapi buat kami, Sha Ine Febriyanti adalah alasan besar kenapa Bumi Manusia wajib ditonton. Ine yang selalu total memainkan segala peran. Ine yang nggak hanya dikenal sebagai aktor film, tapi juga pemain teater kawakan… pasti semua setuju dengan kepiawaian aktingnya dalam memunculkan karakter Nyai Ontosoroh yang kuat, tegas dan keras!

Ine sangat luar biasa. Nggak heran sih kalau Ine begitu luar biasa dalam memerankan Sanikem alias Nyai Ontosoroh. Katanya nih Ine menanti peran ini selama 24 tahun! Zaman aku masih main teater, untuk bisa mendalami sebuah karakter, aku butuh minimal 3 bulan untuk bikin karakter itu merasuk ke dalam jiwaku. Aku sampai harus membuat referensi seperti apakah pakaiannya, cara jalannya, cara ngomongnya… 

La kalau Ine sudah mengincar karakter ini sejak 24 tahun lalu… aku yakin Ine sudah berkali-kali baca novelnya, baca script terkait Nyai Ontosoroh sejak entah kapan. Meski dalam proses pembuatan filmnya sendiri, Ine mengaku butuh 3 bulan untuk mempersiapkan diri mendalami sosok Nyai Ontosoroh. Sungkem mbakyu… Nyai Ontosoroh-mu bikin speechless dan jatuh cinta! 

Bahkan kemarin sempat nonton review film ini di YouTube Channel Cine Crib, si reviewer yang juga aktif di teater bilang.. selama ini doi sudah melihat banyak orang memainkan peran Nyai Ontosoroh di panggung-panggung teater, tapi belum pernah nemu yang klik. Akhirnya Sha Ine Febrianti menjawab pencariannya. Bisa dibayangkan sekeren apa akting Ine di Bumi Manusia? Kalau nggak bisa bayangin, cuzz nonton laah!

Bagaimana dengan pemeran lainnya? Nggak kalah kece kok, pals. 

Nyai Ontosoroh dan Annelies, pic by  Tempo

Mawar de Jongh memerankan Annelies Mellema dengan sangat apik. Karakter kekanak-kanakan dari Annelies muncul dengan sangat natural di tubuh Mawar. Gadis cantik ini mampu menyeimbangi Ine. Chemistry ibu dan anaknya klik banget. 

Ada karakter pendukung yang sangat menarik hatiku. Darsam. Orang Madura kepercayaan Nyai Ontosoroh. Aktingnya bikin nahan nafas. Saat filmnya usai, langsung dong googling siapakah dia. Eng ing eng… aktor kawakan ternyata bo. Namanya Whani Darmawan. Pemain teater sejak 1985. Bukan hanya pemain teater, tapi juga sutradara dan penulis naskah teater. Pantas saja aktingnya mampu memikat hati.

Pemain-pemain pendukung lainnya juga luar biasa kok;


  • Giorgino Abraham yang cucok memainkan Robert Mellema dengan penuh arogan, 
  • Bryan Domani as Jan Dapperstern alias Panji Darman, 
  • Ayu Laksmi yang berperan sebagai Ibunda Minke, 
  • Donni Damara sebagai bapaknya Minke, 
  • Jerome Kurnia yang berhasil mewujudkan sosok Robert Suurhorf yang nyebelin banget,
  • Peter Sterk sebagai Herman Mellema (Ayah Annelies), didatangkan langsung dari Belanda dan memang cucok banget memerankan sosok Herman yang digambarkan tinggi besar,
  • Robert Alexander Prein sebagai Maurits Mellema (abang tiri Annelies dan Robert),
  • Hans de Kraker as Jean Marais (sahabat Minke dari Perancis, yang juga seorang pelukis). Btw, aku sudah suka aktingnya doi sejak main di Bulan Terbelah di Langit Amerika sebagai sosok hartawan bernama Philippus Brown. Aku baru ngeh kalau ternyata doi suaminya Paramitha Rusady!
  • Jeroen Lezer yang memerankan Dokter Martinet juga bagus banget aktingnya. Dan ternyata doi adalah suami dari aktris kawakan Indonesia, Christine Hakim. Wew… pasangan keren yaks.

Asli… para pemainnya nggak ada yang nggak keren deh. Hanung pinter lah milih pemain. Pas. Bahkan pemain-pemain Belandanya juga jempolan semua. 

Iqbaal Ramadhan?

pic by Tribunnews

Hmmm… buatku usahanya untuk menjadi Minke patut diapresiasi. Hanung menggembleng Iqbal mati-matian lo. Dari yang harus pakai bahasa Jawa setiap hari di lokasi, dipukul sama Hanung biar karakter Dilannya lenyap, sampai nggak dibolehin pakai asisten biar ngerasain hidup susah… top lah usahanya untuk seorang aktor muda yang lagi naik daun. Harus kuakui, bahasa Jawanya Iqbaal nggak kelihatan dibuat-buat saat meranin Minke. Padahal doi orang Sunda.

Meski jujur di part-part awal, saat scene merayu Annelies, karakter Dilannya masih kebawa banget. Sampai berkali-kali kudu ngeset otak, “ini Minke, bukan Dilan.” Tapi perlahan terbangun juga sih karakter Minke-nya, terutama setelah beradu akting dengan Ine Febrianti. Nyai Ontosoroh membangunkan Minke di dalam diri Iqbaal, hehe.

Kalau ada yang sedikit mengganggu, mungkin kemunculan Christian Soegiono yang aku sendiri lupa dia memerankan karakter apa.. kumisnya itu lo… keliatan banget nggak asli. Ooh, setelah googling sebentar… ternyata dia jadi Kommer. Di novel, Kommer digambarkan cukup berperan penting dalam karir kepenulisan Minke, tapi di film sepertinya tanpa ada kemunculan si Tian pun, film ini tetap bermakna. Ya, at least.. meski hanya muncul sak nyuk… Tian harusnya bisa menampilkan yang lebih dari itu. Jujur, aku nggak liat karakter Kommer muncul dari seorang Christian Soegiono, yang kulihat hanyalah Tian dipakaikan kumis yang nggak banget, wkwk. Maaf yaa…

5. Besutan Hanung Bramantyo

pic by Liputan 6

Kalaupun nggak kenal Eyang Pram, nggak ngerti apa itu Bumi Manusia, nggak ngeh Ine Febriyanti yang mana… sepertinya nama besar Hanung Bramantyo adalah salah satu hal yang paling menjual. Diakui atau tidak, Hanung adalah salah satu sutradara terbaik di Indonesia, karya-karyanya selalu dinanti. Baik dinanti para penggemarnya, ataupun para kritikus yang siap mengkritisi film-filmnya.

Nggak semua karya-karya Hanung aku sukai. Salah satu film lama besutan Hanung yang jadi favoritku justru Lentera Merah. Film horor dengan bumbu sejarah di dalamnya. Tapi begitu Hanung mulai memroduksi film-film bertema biografi, mulai dari Sang Pencerah (2010), Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), Kartini (2017), hingga Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018)… aku semakin menikmati karya-karyanya. Dan bisa dibilang Bumi Manusia adalah salah satu masterpiece besutannya!

Sama halnya dengan Ine Febriyanti, Hanung pun sudah mengincar Bumi Manusia sejak lama. Diceritakan secara lengkap kepada CNN, bagaimana pada akhirnya Bumi Manusia sampai di tangan Hanung, hingga proses pemilihan pemain. Lengkapnya baca sendiri saja di artikel ini.

6. Bangga… Indonesia Bisa Bikin Film Sekece Drakor!

setting di Studio Gampol, Sleman - pic by Lifestyle

Selama ini kalau nonton drama Korea khususnya yang bertema sejarah, zaman Goryeo atau Joseon, selalu dibikin ternganga dan terperangah. Lalu bertanya-tanya, kapan sih Indonesia bikin film sejarah sekeren itu. Settingnya, kostumnya, bahasa yang dipakai… dan semua itu terjawab di Bumi Manusia. 

Meski ada beberapa reviewer yang bilang settingnya terlalu dibuat-buat, artificial dan sebagainya. Buatku Hanung cukup berhasil mewujudkan pemaparan Eyang Pram di novelnya dengan baik. Pengambilan gambarnya juga sangat menarik. Salah satu hal yang menjadikanku betah nonton film ini, meski durasinya sangat panjang. 

Melihat setting dan kostum yang dipersiapkan, serta teknologi pencitraan komputer yang digunakan, nggak heran kalau film ini menghabiskan dana sekitar 30 milliar!

studio Gampol, Sleman - pic by Lifestyle

Lokasi pengambilan gambar meliputi Studio Gamplong, Sleman, Yogyakarta; Semarang, Jawa Tengah; dan Belanda. Setelah produksi film selesai, rumah Nyai Ontosoroh yang memang khusus dibangun untuk produksi film ini diresmikan oleh Hanung dan putri Pramoedya, Astuti Ananta Toer, sebagai Museum Bumi Manusia pada 13 Agustus 2019. Wah, masuk list obyek wisata yang harus dikunjungi saat ke Yogya nih.

Selain setting dan kostumnya yang ciamik, scoring musiknya juga apik. Semakin membangun suasana dan penokohan di film tersebut. Sebuah film dengan paket yang komplit!

7. Terlalu Banyak Kalimat-kalimat Ajib untuk Dilewatkan


Selain karena enam hal di atas, poin ketujuh inilah yang menurutku sebuah koentji utama hingga membuat film Bumi Manusia nggak bisa hanya ditonton sekali. 

Banyak kalimat ajib dan quote-quote menarik yang bisa didapatkan sepanjang film ini berlangsung. Saking banyaknya, harusnya dicatat di note. Tapi kalau kita mengeluarkan HP untuk mencatat semua kalimat keren itu, bakal ketinggalan dialog-dialog penting lainnya. Sedangkan kalau nggak dicatat, akhirnya cuma mampir sebentar di ingatan. Seberapa hebat sih otak kita bisa merekam semua hal-hal keren dalam waktu lama? 

Hingga akhirnya setelah sampai rumah, kucari dan kuputuskan membaca novel versi PDF nya demi menemukan kalimat-kalimat ajib itu. Amazing, banyak kalimat yang tidak diubah alias diadopsi secara utuh dari novelnya. Namun tetep keren dilihat dan didengar di filmnya. Mungkin buat anak sekarang bahasa di film tersebut terdengar kaku dan nggak banget, tapi buat penggemar sastra, film ini ajaaiib. Suka banget dengan diksi-diksi yang dipakai di setiap dialognya. Mau tahu kalimat-kalimat ajib apa yang mampu menghipnotisku?

Simak di postingan selanjutnya saja ya. Mau kuteruskan di sini kok sudah 2500 kata, aku takut kalian mabuk bacanya, wkwk. So, jangan lupa nonton Bumi Manusia sebelum gulung layar! Cintailah film Indonesia.

Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

12 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Setelah kubaca semua bukunya, aku bingung dimana letak kekomunisan isi tetralogi beliau. Karena dalam tetralogi tersebut nggak ada menyangkut komunisme sama sekali. Sepertinya, mungkin, karena beliau bagian dari Lekra kali ya makanya dianggap komunis.

    Tapi kuakui tulisan Pak Pram masterpiece banget. Bisa banget beliau bikin tulisan yang serasa hati diiris-iris. Dan beliau benar2 membuka mata tentang sejarah yang jarang muncul di buku sejarah sekolahan.

    Dan karakter Nyai Ontosoroh yang sebenarnya jadi favorit banyak orang. Karena beliau bener2 wanita tangguh, berdaulat, dan sejatinya berpenddikan walau nggak sekolah .

    Saya belum nonton filmnya, btw. Karena sadar diri kalau saya mudah kecewa sekalipun Hanung bilang,"jangan lihat saya, iqbaal atau siapa. Tapi lihatlah pak pram sebagai pemilik karya". 🤭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepakat mbak, aku pun setelah baca novelnya bertanya-tanya letak komunisnya di mana.

      Tonton lah Mbak, kalau menurutku sih baik film atau novelnya sama-sama punya kekayaan yang berbeda.

      Pak Pram dengan detil-detil diksi show and tell nya yang tak terkalahkan. Salman Aristo, sang penulis skenario yang tetap mampu membawa misi dari karya Pak Pram tetap utuh, meski tentunya harus memotong beberapa hal yang bisa membuat durasi semakin panjang.

      Dan Hanung yang akhirnya membuatnya mimpinya jadi kenyataan; menyutradarai Bumi Manusia... tidak di angka sempurna, tapi cukup baik untuk diapresiasi :)

      Delete
  2. Cuma bisa gigit jari baca ini ���������������� a qpnh baca bukunya eyang Pram, duh epik banget karya karya beliau, dlu wkt film ini aq cuma nyeletuk dlm hati paling jg lbh bagus bukunya, oh noooo!!! Baca Review ini bener2 bikin aq gigit jari, huhuhu sygx gk ad bioskop di sini ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sabar ya mbak, paling juga sebentar lagi tayang di TV or aplikasi streaming hehe. Iya karya-karya Eyang Pram memang epik! Tak ada tanding :)

      Delete
  3. Saya salah satu orng yg skeptis dengan Hanung dan Ikbal, tapi karena buku ini sudah saya baca berulangkali, bahkan sempat mencari tahu juga teaternya yg versi nyai Ontosoroh dan bunga penutup abad, akhirny saya beranikan menonton. Dan, akhirnya sampi sekarang saya udah 3 kali menonton. Hanung memang tidak bisa memasukan semua elemen pendukung daya pikir Minke, seperti scene Jean, de la croix Dan Magda Piters yg kurang porsinya di filem, namun benang merah inti cerita terajut dengan baik. Saya ikut larut dan tertarik dalam cerit tanpa ingin membndingkan dengn versi novel atau pun teaternya. Dan Ikbal, dia masih akan bertumbuh saya rasa, dia hanya butuh pengalaman lebih banyak, dia sudah memberikan sesuatu yg layak untuk filem ini, terutama dalam kemampuannya melafalkan 4 bahasa sekaligus dan mengolah emosi emosi remaja Minke, walau tidak semuanya tereksekusi dengn sempurna, tapi bukan sesuatu yg buruk. Pengalamannya sebagai dilan membuat ia mudah memerankan sosok suami yg romantis pastinya. Tentu bukan hal yg mudah untuk aktor di usianya yang belum 20 tahun memerankan Minke yg telah hidup di pikiran banyak generasi. Dan, nyai Ontosoroh juaranya. Dia memang harus tampil besar di film ini sama seperti novelnya,dan harus mampu menjadi mentor terbaik untuk Minke, dan sukses.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yess, sepakat banget. Buku dan filmnya, bahkan teaternya sama-sama karya yang epic dan tidak untuk saling dibandingkan. Ranahnya saja sudah berbeda. Cuma bisa memberikan apresiasi untuk setiap karya anak bangsa.

      Setuju juga soal Iqbaal, usahanya untuk memerankan Minke luar biasa. Kalau ada miss2 sedikit ya wajar.. saya yakin kelak doi akan jadi salah satu best actors di Indonesia :)

      Salam kenal, terima kasih sudah mampir.

      Delete
  4. Wah bagus banget nih Mbak sepertinya film yang satu ini. Saya jadi pingin nih nonton

    ReplyDelete
  5. Suka banget nih Mbak sama para pemainnya dan juga ceritanya. Makin penasaran nih

    ReplyDelete
  6. Bagus banget nih ya Mbak memang waktu shotingnya ini. Bisa seperti di drakor

    ReplyDelete
  7. Belum sempat nonton filmnya. huhu. Jujur aku bingung kenapa banyak banget yang menganggap karya Hanung itu jelek. Padahal selama ini aku merasa film-film besutan dia oke kok. Mungkin lebih ke genre populer sih ya

    ReplyDelete
  8. Ini film yang kudu ditonton. :) Duh, pen ke Bioskop takut brojol duluan. :3

    ReplyDelete
  9. Memvisualisasikan karya tulis selalu jadi tantangan tiap sutradara dan betul katamu Dinda. Tabik! Untuk Mas Hanung dan Salman Aristo bisa menerjemahkannya dg segala keterbatasannya... masih galon aku tuh hiks

    ReplyDelete