Kadang aku bertanya dalam hati, kenapa ya seorang istri bisa merasa sendiri padahal setiap hari hidup berdampingan dengan suami? Ada momen jalan bareng, makan bareng, bahkan aktivitas keluarga yang ramai. Tapi tetap saja, ada rasa kosong yang menyelinap.
Baru-baru ini aku kembali mengalaminya, pals. Ingin rasanya sekali saja bisa deep talk dengan pasangan, ngobrol serius tentang mimpi, merefleksi tujuan hidup, atau sekadar ungkapin perasaan. Tapi seringkali yang kudapat hanya jawaban singkat, “iya, iya, aku yang salah.” Obrolan berhenti di situ, tanpa ada kesadaran atau solusi. Lama-lama aku jadi capek. Seolah semua hanya aku yang memikirkan.
Dan rasa lelah itu menumpuk, apalagi saat itu di kantor juga penuh tekanan. Tugas datang bertubi-tubi, semua serba cepat, semua serba instan. Pulang ke rumah, aku berharap bisa dapat ruang untuk melepas penat, tapi justru merasa makin sepi. Sepi di tengah kebersamaan.
Kenapa Rasa Sepi Itu Hadir?
Aku akhirnya sadar, kesendirian seorang istri bukan karena ketiadaan pasangan secara fisik, tapi karena kebutuhan emosional yang tak terjawab. Yang dibutuhkan bukan hanya kehadiran, tapi juga keterhubungan hati.
Sayangnya, kita sering terjebak dalam rutinitas, sibuk dengan tuntutan, hingga lupa menyediakan waktu untuk hadir secara emosional. Dan di sinilah muncul rasa "sendiri" itu.
Kalian pernah ngalamin juga nggak sih? Kalau pernah, apa yang biasanya menjadi penyebab perasaan sepi itu hadir versi temen-temen kongkow?
Apa yang Bisa Dilakukan?
Well, mungkin kita tak bisa mengubah pasangan secepat kilat. Tapi kita bisa mulai dari diri sendiri, agar hati tidak semakin kosong. Beberapa hal ini perlahan-lahan bisa dicoba:
1. Belajar Mengomunikasikan Kebutuhan dengan Jelas
Bukan sekadar “aku capek” atau “kamu nggak ngerti,” tapi spesifik: “Aku butuh kamu dengerin tanpa menyela,” atau “Aku pengin ngobrol serius tanpa HP sebentar aja.”
Penting banget untuk menggunakan i-message agar pesan yang kita mau lebih sampai, pals.
2. Pilih Waktu yang Tepat untuk Ngobrol
Kalau pasangan lagi lelah, biasanya susah terbuka. Coba pilih momen santai—misalnya sebelum tidur atau saat weekend—daripada di tengah kesibukan.
Nyari momen yang pas ini juga susah-susah gampang menurutku. Nggak selalu pas lagi jalan bareng itu jadi momen yang pas. Apalagi kalau suami udah nyerocos duluan tentang warna-warni kerjaannya.
Menunggu anak-anak tidur pun jadi PR buat kami. Setelah segudang rutinitas di pagi - sore hari, energi kami pun terkuras lebih banyak di luar rumah. Sampai di rumah, fokus dampingin anak-anak belajar.
Dulu kami punya waktu kencan tersendiri. Kalau sama anak-anak kami biasa bareng dengan Program 1821, sama pasangan kami punya Program 2122. Tapi yaa itu sekarang kami lebih cepat terlelap dari tahun-tahun sebelumnya.
Kalau dulu, begitu anak-anak tidur, kami biasanya sempatkan dulu ngobrol sambil ngopi di teras rumah. Sekarang susah sekali untuk merutinkan kebiasaan itu lagi. Jadi ya wajar aja kalau terjadi relationship burnout yaa, hihi.
Meski kami seringkali menyempatkan diri untuk nongkrong di kafe, tapi tetap beda gitu lo vibesnya. Pada akhirnya, waktu yang paling tepat itu ya sepertiga malam. Lebih cakep lagi kalau bisa shalat malam bersama, rasanya lebih adem. Karena kita nggak cuma membangun koneksi sama pasangan, tapi juga membangun koneksi sama Sang Pemilik Hidup.
How about you, pals? Udah nemu waktu yang pas?
3. Tulis Dulu Kalau Sulit Bicara
Kalau rasanya selalu buntu, coba tuliskan dulu isi hati di kertas atau chat panjang. Kadang tulisan lebih mudah menyampaikan emosi dibanding kata-kata lisan.
Selain itu, seringkali kalau langsung ngomong tuh, jadinya malah spontan dan kita nggak bisa ngerem apa yang keluar. Beda kalau ditulis dulu, kita punya waktu untuk berpikir dan memilih kata-kata yang pas.
Sekiranya dibaca lagi kok kurang nyaman, kita bisa ubah kalimatnya. Itu aja kadang masih ada nyerimpet-nyerimpetnya. Karena ya minusnya, bahasa tulisan seringkali punya tafsiran yang berbeda. Kita maksudnya gimana, ditangkapnya gimana.
Namun buatku yang sering belibet ngomong secara langsung, mengungkapkan isi hati lewat tulisan jauh lebih ampuh sih. Kalau kamu gimana, pals?
4. Bangun Support System di Luar Pasangan
Bukan berarti curhat ke sembarang orang, tapi punya lingkaran sehat—teman, komunitas, atau bahkan konselor—yang bisa jadi tempat menumpahkan rasa.
Dan seringkali support system ini nggak perlu jadi tempat curhat juga sih. Ada kalanya dengan punya circle, beraktivitas sama mereka bisa jadi kita menemukan solusi atau sudut pandang yang berbeda dari suatu masalah, termasuk masalah kita sama pasangan.
Aku sering sih begitu. Ngumpul aja gitu sama temen-temen komunitas, nggak yang curhat juga, tapi tiba-tiba obrolannya sesuai dengan yang lagi aku butuhkan. Kek Allah tahu aja gitu, aku lagi butuh sentilan lewat orang lain.
Atau lagi makan siang di kantor misalnya, ngobrol tipis-tipis aja sama teman-teman kantor. Eh ada aja insight yang tiba-tiba mak cling masuk ke kepala. Kalian pernah nggak sih ngalamin yang seperti ini juga, Sohib Kongkow?
5. Rawat Diri Sendiri
Jangan menunggu dipahami dulu baru bahagia. Luangkan waktu untuk hal-hal kecil yang bikin hati tenang: membaca, menulis, olahraga ringan, atau sekadar me-time tanpa rasa bersalah.
Kalau dipikir-pikir, sejak aku kembali kerja kantoran, aku tuh udah juaraaang banget skincare-an. Terutama night skincare. Kek, energinya udah abis aja untuk CTMP kek dulu. Boro-boro CTMP, ingat cuci muka aja, alhamdulillah.
Nah, sekarang aku mulai merutinkan lagi nih. Selain menyadari wajah 40an, aging udah di mana-mana, sementara kantong belum mencukupi buat suntik kolagen apalagi operasi plastik, wkwk.. ya the simplest thing adalah merawat secara rutin kan?
Apalagi aku sekarang lagi senang-senangnya berenang. Mana renangnya panas-panasan pula, ya Allah.. gosong plus belang wajah hamba, bestie, wkwk.
Daripada baperan ke suami yang seringkali tak berujung, mending fokus rawat diri kuy! InsyaAllah, dengan nyempetin olahraga, skincare-an tipis-tipis, private talk ama Allah, kepala yang tadinya terasa penuh jadi lebih ringan.
Menutup Curhat Ini
Aku tahu, jadi istri tidak mudah. Ada kalanya kita merasa sendiri, meski hidup bersama. Tapi aku juga belajar bahwa mengandalkan pasangan sepenuhnya untuk kebahagiaan bisa membuat kecewa. Kebahagiaan juga perlu kita ciptakan dari dalam.
Aku menulis ini sebagai pengingat untuk diriku sendiri—dan mungkin juga untukmu, yang pernah merasa sepi di tengah pernikahan. Kita tidak sendirian merasakan ini. Dan selalu ada cara kecil yang bisa kita lakukan untuk tetap waras, tetap kuat, sambil berharap dan berusaha agar pasangan juga bisa bertumbuh bersama.
At last but not least, pernikahan adalah ibadah terlama, maka hal paling penting adalah senantiasa mengoneksikan diri kita dan pasangan pada Allah SWT. Karena Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati.
Mo sesabar apapun suami kita, mo sesupport apapun suami kita, pasti adalah ya masanya kita merasa kecewa. Wajar, bestie.. kita manusia, suami pun manusia.
Namun kalau kita kembalikan semuanya pada Sang Pemilik Semesta, insyaAllah semua jadi lebih ringan. Pada akhirnya kita bisa senyum-senyum sendiri saat menengok ke belakang, "etdah... kenapa juga kemarin aku sebaper itu?"
Ssst, jangan lupa cek kalender... jangan-jangan pas lagi baper-bapernya... si merah itu emang lagi mendekat. So, selamat membangun diri, selamat bertumbuh bersama pasangan. Sampai jumpa di sesi curhat berikutnya, pals. ***
Post a Comment
Salam,
maritaningtyas.com