header marita’s palace

Sudah Sholihkah Kita Sebagai Orang Tua?

Sewaktu belum dikaruniai keturunan, biasanya pasangan memiliki cara dan pola asuh idaman. Beberapa dari mereka yang mungkin terlahir dari keluarga tidak lengkap, entah karena perceraian, atau banyak terjadi KDRT di dalamnya, biasanya membayangkan dan mencita-citakan jika kelak diamanahi seorang putri atau putra tidak akan diperlakukan dengan cara yang sama. 

Namun tidak jarang impian dan cita-cita itu lenyap ketika amanah tersebut telah datang. Menjadi orang tua ternyata tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya. Pola asuh warisan yang sejatinya tidak ingin diterapkan pun kadang tanpa sadar juga diterapkan. Padahal terkadang pola asuh warisan yang diterapkan sudah tidak lagi dengan zaman, pun tidak memahami fitrah seorang anak.
gambar anak sholih
Ternyata menjadi orang tua itu tidak hanya butuh sekedar kesabaran, namun yang paling penting adalah memiliki bekal ilmu yang cukup. Sedang ingin menjadi ahli di bidang tertentu pun, kita harus belajar dan meraih gelar sarjana terlebih dahulu. 

Apalagi menjadi orang tua, bagaimana mungkin kita bisa menjadi orang tua yang memahami kebutuhan anak jika kita sendiri tidak mengerti kebutuhan mereka. Sayangnya masih banyak orang tua yang belum sadar pentingnya ilmu pengasuhan ini.

Tak jarang mereka berpikir bahwa anak mereka baik-baik saja, jadi mengikuti seminar-seminar dan membaca buku-buku parenting belum diperlukan. Tapi apakah kita harus menunggu anak-anak kita bermasalah terlebih dahulu baru kita mau belajar? 

Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati? Maka sekarang mari kita coba tanya ke dalam hati kita masing-masing.,.. sudah sholihkah kita sebagai orang tua?

Saat balita kita sedang bermain di luar rumah, mana yang lebih asyik kita kerjakan? Mengawasi dan melihatnya bermain dengan teman-temannya atau asyik menatap chat-chat di smartphone kita, atau justru asyik menatap tayangan televisi? 

Hingga ketika tak sengaja ia terjatuh, atau berkelahi dengan temannya lalu menangis, tanpa kita tanya ada apa, omelan kita sudah terbang melayang. Bahkan tak jarang jari-jari mulai mencubit pipinya atau menepuk pantatnya?

Saat balita kita ingin tahu tentang air, bedak, pisau, lipstik, mengacak-acak apa saja yang bisa diacak-acak. Mengertikah kita bahwa ia sedang belajar? 

Atau kita justru terlalu banyak mengucapkan kata jangan dibanding mengajaknya bereksplorasi dengan benda-benda yang menurut mereka sangat menyenangkan?
 
Saat balita kita mulai menangis lalu meraung karena keinginannya akan sesuatu tak dituruti, sanggupkah kita bertahan pada kata TIDAK yang kita ucapkan? Atau justru memberikannya hanya karena tak tahan dengan tangisannya... "sing penting meneng".

Saat anak mulai mengenal asyiknya bermain di luar rumah tapi kita tak membiasakan dan tak memberikannya batasan bahwa bermain ada waktunya? Salah siapa jika kemudian mereka tanpa tahu waktu bermain dan lupa kapan harus tidur siang, kapan harus pulang ketika adzan berkumandang? Masih pantaskah kita mengomel dan mengatakan hal-hal buruk pada mereka?
 
Saat anak mulai diberi uang saku namun tak kita ajarkan bagaimana membelanjakan dan mengelolanya dengan baik? Salahkah jika setiap uangnya habis ia merengek meminta uang tambahan kepada kita?
 
Saat ABG kita mulai merajuk minta handphone, apakah kita langsung mengabulkan permintaannya, atau kita memiliki syarat dan ketentuan yang berlaku sebelum meloloskan keinginannya? Ketika tanpa batas dan arahan, anak mulai mencandu dengan gagdet, hanya omelan yang kemudian terdengar... 'kerjaan kok cuma main HP saja?'
 
Saat anak kita mulai ingin tahu tentang bagian tubuhnya yang berbeda dengan saudaranya, bertanya tentang darimana bayi itu lahir, dan kita tak tahu harus menjawab apa justru berserapah 'ah, cerewet kamu' sambil berpikir nanti kan ia tahu sendiri. Salahkah jika kemudian ia mencari tahu dari orang lain? Dari video-video porno, dari majalah-majalah yang isinya tak bertanggungjawab?
 
Saat anak mulai mengenal kata pacaran dan kita memberikannya ijin asal tidak boleh keluar dari rumah, benarkah ini cara terbaik? Sedang tidak ada pacaran dalam kamus islam. 

Atau kita justru melarangnya keras, membatasi pergaulannya? Benarkah pula cara ini, sedang rasa suka adalah fitrah? Lantas ketika ia sembunyi-sembunyi melanjutkan hubungan tanpa kita ketahui dan melanggar norma, masihkah kita terlalu sombong untuk merangkulnya?
 
Masih banyak lagi pertanyaan yang mungkin bisa kita ajukan ke diri kita sendiri, dan jawablah dengan sejujurnya, sudah sholihkah kita sebagai orang tua?
 
Anak-anak bermasalah tidak timbul dengan tiba-tiba, ia timbul dengan proses. Begitu juga anak yang disiplin dan bisa memahami aturan, tidak akan lahir mak bedhundug... Semua butuh waktu untuk menempanya, hanya bisakah kita melawan MALAS untuk menjalani semua proses itu?

Berapa lama setiap hari kita habiskan untuk berbincang dengan anak-anak, bermain dengannya, beraktivitas dengannya tanpa diselingi HP, laptop, televisi, kompor? Jangan-jangan meski anak di dekat kita, kita hanya 10 menit bersama mereka, selebihnya entah.
 
Berapa lama kita hidup bersama anak? Tak sadarkah kita bahwa hanya 12 tahun kita mampu memberikan pengaruh terbesar padanya, selebihnya anak-anak itu akan memiliki dunianya sendiri.
 
Jadi masihkah kita mau menghabiskan waktu untuk menjadi ayah dan ibu yang hanya pintar ngomel, tapi tak tahu kebutuhan anak?
 
Marilah kita merenung.. apakah kita masih perlu sombong untuk tidak belajar? Jika kita bisa mengeluarkan banyak rupiah untuk membangun rumah, membeli mobil, gadget terbaru dengan alasan agar anak-anak hidup enak? 

Mengapa kita tidak bisa mengalokasikan dana untuk belajar menjadi orang tua terbaik bagi anak-anak kita? Mahalkah harga sebuah tiket seminar, sebuah buku? Sungguh tak sebanding dengan ilmu yang kita dapatkan. Jauh lebih murah dibanding harga rumah, mobil dan gadget, namun manfaatnya terus dibawa hingga kelak kita dihisab olehNYA.
 
Kebahagiaan anak-anak tidak hanya terletak pada kecukupan materi dan kelengkapan fasilitas di rumah yang kita berikan. Kebahagiaan mereka yang terbesar adalah memiliki rumah yang hangat dan nyaman, yang akan selalu membuatnya rindu untuk pulang, bercerita panjang kali lebar bersama orang tuanya, bercengkrama dengan saudara-saudaranya. Rumah itu adalah KELUARGA.

Yuk, jadi orang tua shalih sebelum kita menginginkan anak-anak shalih...... Yuk, jadi sahabat-sahabat terbaik untuk mereka...

*inspired by Program Sekolah Pengasuhan Anak - Abah Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari.
Hanyalah sebuah catatan sendu tentang terjalnya jalan mensyiarkan pentingnya ilmu pengasuhan anak :)

4 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Hiks..kalau udah baca tentang "parenting", yg ada cuma perasaan bersalah. :(
    Semoga masih ada waktu utk memperbaiki semua. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin.. Huaa biasanya seminar2 parenting begitu tuh, cuma bikin merasa bersalah, tp how to handle nya kurang... Coba ikut PSPA mbak.. Simple tp daleem :)

      Delete
  2. Plak plak plak, ketampar bolak-balik.
    Btw saya nyoba gak megang hp saat pagi mpe jam 12 siang ternyata bisa lho. Moga2 konsisten hehe

    keluargahamsa(dot)com

    ReplyDelete