header marita’s palace

Seri Akademi Keluarga -Parenting Nabawiyah #1: Sebuah Titik Awal



Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Ya Allah, jika sekolah ini bisa membuat anak kami lebih mencintaiMu, dan bisa membuatku dan ayahnya lebih taat kepadaMu, maka mampukanlah kami untuk menyekolahkan anak kami di sini.” Itulah sebuah doa yang kupanjatkan pada Allah di masa-masa penantian pengumuman apakah Ifa diterima di Kuttab Al Fatih (KAF) Semarang atau tidak. Setelah pertimbangan yang cukup panjang, pada akhirnya aku dan ayahnya memilihkan sekolah yang sangat jauh berbeda dibandingkan sekolahnya Ifa saat TK dulu. 

Jujur bahkan sampai detik ini masih merasa tidak percaya diri berada di tengah orang-orang yang alim, dan pengetahuan agamanya jauh di atas rata-rata. Wajah-wajah teduh nan tawadhu, tanpa banyak bicara, sudah sangat menyentilku yang masih saja sering memikirkan duniawi. Namun inilah pilihanku, aku memilih berada di sini untuk memaksa diriku menjadi lebih baik lagi. Agar bisa terkena imbas positive vibes dari orang-orang saleh ini, meski hanya secuil.

Dan kini memasuki tahun kedua Ifa belajar di KAF, alhamdulillah aku bisa berkesempatan mengikuti Akademi Keluarga - Parenting Nabawiyah (AKU - PN). Sebuah program parenting yang sudah sangat lama ingin aku ikuti, bahkan jauh sebelum terpikir memasukkan Ifa ke KAF.

Apa itu Akademi Keluarga - Parenting Nabawiyah (AKU - PN)?


Akademi Keluarga adalah sebuah awalan untuk mengembangkan pola pendidikan anak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam. Pendekatan yang digunakan adalah dalil-dalil lengkap dan utuh serta mampu menghubungkan antara sebab turunnya ayat atau hadits dengan konteks kehidupan hari ini. 

Jika Islamic Parenting yang kini sudah banyak ditemukan biasanya tetap menggunakan dasar-dasar psikologi barat tetapi kemudian dikombinasikan dengan ayat Al Quran dan hadits. AKU - PN mengambil landasan dan referensi utama pengasuhan dari ayat-ayat Al Quran dan hadits. Ustaz Budi Ashari dan team penyusun materi AKU - PN percaya bahwa semua individu memiliki teknik yang unik dan berbeda satu dengan yang lain. Maka jangan pernah mencari tips dan trik di AKU - PN, di sini kita akan belajar konsep dasar dari apa yang diajarkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. 

Akan ada 7 kali pertemuan di setiap bulannya. Diadakan setiap pada hari Sabtu - Ahad setiap pekan ketiga, dari jam 07.30 - 12.00. Insya Allah akan ada 1 stadium general dan 13 materi yang disampaikan oleh pemateri berbeda-beda, diimpor langsung dari KAF Pusat. Yang menantang dari AKU - PN, para peserta tidak hanya diminta untuk duduk dan mendengarkan materi, namun juga diberikan tugas berupa jurnal, program harian dan studi kasus yang harus dikumpulkan pada pertemuan berikutnya.

Stadium Generale bersama Ustaz Arief Rosjidi


Pada hari Sabtu, 21 September 2019 yang lalu, pertemuan pertama dari AKU - PN telah dilangsungkan. Pada sesi pertama, Ustaz Arief Rosjidi selaku narasumber hari itu membagikan hal-hal yang wajib diketahui oleh para peserta AKU - PN dalam tajuk Stadium Generale. Selain memberitahukan jadwal, tugas dan kewajiban-kewajiban peserta, Ustaz Arief juga mengingatkan tentang pentingnya berilmu sebelum beramal. Termasuk juga soal mengasuh anak, penting sekali bagi para orangtua memiliki ilmu soal pengasuhan anak agar proses pengasuhan berjalan on the track.

Visi orang muslim harusnya tidak sekedar 5, 10 atau 15 tahun ke depan. Visi orang muslim sudah sangat jelas; masuk surga. Namun bagaimana bisa masuk surga ketika menjaga keluarganya saja tidak sanggup? Sedangkan dalam Quran Surat At Tahrim: 6 sangat jelas Allah memerintahkan untuk menjaga diri kita dan keluarga dari api neraka.




Setelah mengingatkan tentang visi keluarga muslim, Ustaz Arief juga mengajak para peserta untuk kilas balik. Apakah dulu sebelum menikah sudah melakukan persiapan? Sudahkah belajar sebelum berumahtangga? Sayangnya, sebagian besar dari kita seringnya memulai rumah tangga dengan nekat, dan tanpa ilmu. Hanya merasa siap secara fisik, mental dan materi, tetapi ilmu rumah tangga nol besar. Dampaknya? Banyak pertikaian, bingung bagaimana mengasuh anak. Semua berjalan dengan asal, tanpa tahu bagaimana seharusnya yang benar.

Padahal sebagai seorang muslim, sudah sangat jelas; jika kita mengimani Allah dan RasulNya, berarti kita harus mau mengikuti konsep kehidupan ala Nabi, termasuk juga konsep berumahtangga. Al Quran diturunkan sebagai modul atau manual book of life, termasuk juga di dalamnya soal rumah tangga dan pengasuhan anak. 

Itulah kenapa penting sekali bagi kita ketika belajar sejarah Nabi, bukan sekedar belajar kelengkapan sejarah, namun juga menggali apa, mengapa dan bagaimana. Dengan seperti itu, diharapkan kita mampu menggali hikmah dan belajar dari kisah-kisah Nabi dan orang-orang terdahulu. Misalnya, ketika belajar tentang sejarah nabi Ibrahim, pelajarilah dengan lebih dalam mengenai doa-doanya, perjuangannya, dsb.

Keluarga adalah tonggak penting dalam peradaban dunia. Sayangnya masih banyak yang menganggapnya sebagai urusan kecil. Padahal urusan yang dianggap kecil ini, jika tidak diurus dengan benar bisa menjadi masalah yang pelik. Oleh karenanya kurikulum berkeluarga harus dimasukkan di dalam kurikulum sekolah. Di KAF, kurikulum berkeluarga muncul dalam pendidikan adab; adab terhadap orangtua, adab terhadap guru, dll. Sedangkan di Madrasah Al Fatih (MAF), nantinya di tahun akhir, setiap santri akan dibekali dengan kurikulum keluarga. Sehingga diharapkan ketika mereka lulus dari MAF, para santri ikhwan telah siap menjadi imam, dan para santri akhwat telah siap menjadi makmum.

Berbincang tentang sejarah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, beliau menjadi orang pilihan pada usia 40 bukanlah tanpa proses. Allah telah menyiapkan Nabi sejak kecil hingga kemudian ia tumbuh menjadi sosok bergelar Al Amin (yang dapat dipercaya). Karena sifatnya inilah, Nabi disegani oleh siapapun, bahkan termasuk oleh orang-orang yang kemudian menjadi musuhnya.

Tahapan Pengasuhan di Dalam Al Quran


Dalam Al Quran surat Jumuah:2 ternyata ada sebuah ayat yang bisa dijadikan pedoman dalam tahap pengasuhan anak:




1. Membacakan/ mentilawahkan ayat-ayat Allah


Orangtua sebaiknya menjadi pengajar al quran pertama anak-anaknya, jangan diserahkan semua pada ustaz/ ustazah. Dimulai dengan menjadi sosok-sosok pertama yang membacakan ayat-ayat suci di telinga anak. 

Kita bisa belajar dari kisah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam waktu pertama kali menerima wahyu. Beliau menggunakan pendengarannya untuk menerima wahyu yang dikirimkan Allah lewat malaikat Jibril, lalu membaca wahyu tersebut dengan cara menghafal. 

Namun sekarang kita justru keblinger dengan metode barat yang menganggap menghafal tidak sesuai dengan perkembangan otak anak, dsb. Mana yang akan kita ikuti; temuan orang-orang barat yang belum tentu kebenarannya atau kisah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam yang sudah jelas kebenarannya? Choice is on your hands! 

Mari belajar dari generasi terdahulu di mana anak-anak mengkhatamkan Al Quran bersama kedua orangtuanya. Jika ingin melihat contoh masyarakat yang masih memegang tradisi ini, silakan cari tahu tentang masyarakat Singked yang ada di daerah Afrika.

2. Membersihkan jiwanya


Sebagai orangtua, kita wajib untuk memberikan nasehat kepada anak-anak kita. Nasehat yang diberikan tentu saja haruslah nasehat yang baik dan bisa membersihkan jiwanya. Namun bagaimana kita bisa membersihkan jiwa anak-anak, jika jiwa-jiwa kita sendiri belum bersih?

3. Mengajarkan Anak tentang Kitabullah


Sebelum mengajarkan anak, maka sudah menjadi kewajiban orangtua harus punya ilmunya terlebih dulu, setidaknya ilmu-ilmu yang paling dasar.

4. Mengajarkan Anak tentang Hikmah/ Hadits


Setelah anak menguasai Kitabullah, barulah ajak anak untuk memahami tentang hadits. Dari sini juga menjadi patokan keluarga muslim bahwasanya anak-anak harus belajar dulu tentang kitabnya, tentang Al Quran sebelum belajar hal-hal lain. Setelah Al Quran dipelajari, barulah boleh mempelajari hal-hal lainnya yang dibutuhkan sebagai pelengkap.



Khalid Asy Syantut, seorang ahli parenting Islami yang telah menulis banyak buku, kini pun banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, menjabarkan bahwa dalam proses mendidik anak, porsi terbesar ada pada orangtua yaitu 60%. Sementara itu sisanya; 20% diwarnai oleh sekolah dan 20% lainnya diwarnai oleh lingkungan. 

Namun kita sebagai orangtua, seringkali justru menyalahkan sekolah atau lingkungan terlebih dahulu ketika adab anak kita buruk. Jangan-jangan justru kita penyebab buruknya adab anak-anak kita?

Sejauh ini prosentase orangtua dalam mendidik anak belumlah optimal. Oleh karenanya kita perlu mendefinisikan ulang kesibukan kita. Pilah dan pilih skala prioritas. Sesibuk-sibuknya orangtua, tanggungjawab dalam pendidikan anak tidak akan lenyap. 

Dalam sebuah hadits dikatakan;




Seorang mukmin terhadap mukmin yang lainnya seperti bangunan yang saling mengokohkan satu dengan yang lain. (HR Bukhari Muslim)

Hadits tersebut sejalan dengan pepatah tua Afrika yang berbunyi, it takes a village to raise a kid, seharusnya kita tidak hanya bisa menjadi orangtua bagi anak kita, namun juga bisa menjadi orangtua bagi teman-teman anak kita. Seharusnya sesama orangtua saling mendukung dan bekerjasama sehingga peradaban yang baik akan muncul dengan kuat.




Tentu kita tidak ingin membangun generasi seperti gubug reyot bukan? Membangun gubug reyot tidaklah butuh perencanaan yang matang, tidak butuh material terbaik. Sebagaimana ketika kita asal mengasuh anak dan tidak memiliki alokasi khusus dalam proses pengasuhan.




Pastinya kita ingin membangun generasi bak gedung pencakar langit. Membangun gedung sekeren ini tentunya butuh perencanaan matang, material terbaik, arsitek yang handal dan timing yang tepat. Begitu juga untuk mendidik generasi yang kuat dibutuhkan proses mengasuh yang benar, butuh waktu yang benar-benar dialokasikan, memiliki rancangan/ kurikulum dan memiliki visi misi yang jelas.

Kita memang tidak bisa memastikan anak akan menjadi sosok yang saleh/ salehah, karena semua itu adalah hadiah dari Allah. Maka yang bisa kita lakukan hanyalah berikhtiar sebaik mungkin dan sebagai ortu kita harus sering mendekati Allah.

Pembagian Tugas dalam Pengasuhan


Berikut ini adalah ilustrasi pembagian tugas dalam pengasuhan anak:




1. Ayah bertugas sebagai arsitek yang merancang visi misi dan kurikulum pendidikan keluarga.
2. Ibu layaknya seorang insinyur teknik sipil, pelaksana visi misi dan kurikulum dari rancangan sang arsitek.
3. Sekolah bak seorang mandor yang tugasnya mengawasi dan menjadi partner dalam jalannya kurikulum pendidikan tersebut.
4. Lingkungan adalah tukang bangunan, yang berperan sebagai teman dalam proses pengasuhan. Yang namanya teman bisa jadi memberikan pengaruh yang baik ataupun buruk. Maka sudah sepantasnya kita mencari teman yang bisa memberikan pengaruh baik.

Maka kini, sudah saatnya kita kembalikan peran orangtua di 5 tahun pertama kehidupan seorang anak:



  • 0 - 2 tahun adalah proses menyusui. Ingat menyusui beda dengan memberikan susu lewat botol. Maka sebaik-sebaiknya proses memberikan ASI adalah langsung disusui kepada sang bayi. Bukan sekedar masalah bonding. 2 tahun pertama inilah pendidikan tauhid yang harus diberikan oleh ibu. Ajak anak untuk mensyukuri atas nikmat Allah. Jika 2 tahun pertama ini berhasil, seharusnya kata pertama anak yang keluar adalah Allah, karena kita sebagai ibunya lebih sering menyebutkan kata Allah lebih dari kata-kata yang lainnya.
  • 3 tahun: Di sinilah anak mulai melihat contoh, maka saat anak-anak memasuki usia ini, pastikan orangtua harus menjadi teladan terbaik. Karena satu hal buruk yang kita lakukan, bisa jadi akan terpatri seumur hidup sang anak. 
  • 4 tahun: saatnya mengajak anak berdiri bersama orang shalat. Anak mulai belajar tata cara shalat.
  • 5 tahun: ajak anak untuk berpuasa. Anak mulai dilatih kesabarannya. 



Itulah kenapa di masa-masa 0-5 tahun ini sebaiknya anak tidak disekolahkan di luar rumah, biarkan anak bersama orangtuanya. Sepanjang sejarah Islam, anak-anak baru mulai disekolahkan setelah mencapai usia 5 tahun.

Khalid Ahmad Asy-syantut menyampaikan bahwa jika di usia 2 - 5 tahun, masa kanak-kanak awal tidak dikawal dengan baik, maka masa kanak-kanak tenang tidak akan tercapai. Masa kanak-kanak tenang adalah masa-masa 7 - 12 tahun. Di periode ini anak seharusnya sudah bisa diberi perintah, dan disuruh duduk tenang. Jika belum, maka cek apakah ada yang belum tuntas di usia 2 -5 tahun.




Hmm, belajar memang sungguh sepanjang hayat. Bahkan meski sudah pernah belajar parenting ke sana, ke sini… tetap saja selalu ada hal baru yang menggugah hati dan pikiran. Apalagi ini adalah Parenting Nabawiyah yang benar-benar bersumber pada sejarah dan konsep hidup nabi, semakin deg-degan, bisakah meneladani beliau?

Semoga kita dikuatkan dan dimampukan menjadi orangtua-orangtua yang bisa mengasuh anak sesuai dengan apa yang Allah tetapkan pada mereka ya, pals. Sampai jumpa di postingan seri AKU - PN lainnya!

Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.



6 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Lingkungan memang memiliki dampak yang cukup besar untuk tumbuh kembang anak ya Mbak.

    ReplyDelete
  2. Untuk membentuk kepribadian anak yang baik memang sangat diperlukan kerjasama yang baik juga.

    ReplyDelete
  3. Memang sekolah anak yang pertama, utama dan paling penting adalah dalam keluarga ya Mbak.

    ReplyDelete
  4. Perhatian orang tua memang sangat penting dan sangat dibutuhkan untuk kelangsungan tumbuh kembang anak.

    ReplyDelete
  5. Aamiin Mbak, semoga kita bisa menjadi orang tua yang baik dalam mengasuh titipan dari Allah.

    ReplyDelete
  6. Pendidikan agama memang penting dan dianjurkan diberikan kepada anak sedini mungkin.

    ReplyDelete