header marita’s palace

5 Makanan Tradisional Semarang yang Mulai Langka, Ayo Lestarikan!

makanan tradisional semarang yang perlu dilestarikan
Sebagai negara kepulauan yang sangat luas, tak heran jika Indonesia kaya dengan aneka ragam budaya. Salah satunya yaitu kuliner Indonesia yang memang macam-macam jenisnya. Bahkan tak sedikit turis manca yang jatuh cinta pada makanan khas Indonesia. Sebut saja Nasi Goreng, Bakso, Sate dan Rendang. Nama-nama makanan itu biasanya paling banyak disebut oleh para turis manca saat ditanyai apa makanan Indonesia yang paling disuka.


Sayangnya nih, ketika banyak wisatawan mancanegara yang jatuh hati pada kuliner negeri ini, rakyat +62 justru lebih bangga kalau bisa mengonsumsi makanannya orang bule. Coba saja deh tanya ke anak-anak kita saat disuruh milih makan lunpia dan burger, mereka milih yang mana?

Ya tentu saja nggak semuanya seperti itu. Masih banyak juga kok anak-anak yang dikenalkan oleh orangtuanya pada makanan tradisional agar bisa merasakan bahwa makanan ndeso juga nggak kalah enak dengan makanan modern.

5 Makanan Tradisional Semarang Favoritku

semarang bukan hanya lunpia, wingko babat dan tahu gimbal
Nah ngobrolin makanan tradisional, sebagai orang Semarang aku pengen berbagi nih beberapa makanan khas kota ini. Saat mendengar kata Semarang, biasanya orang-orang langsung relate pada Lunpia, Tahu Gimbal dan Wingko Babat. Nggak salah sih, karena memang tiga kuliner itu yang sering direkomendasikan dan yang jualan pun masih banyak.

Namun sebenarnya kuliner khas Semarang nggak hanya tiga jenis itu saja lo. Ada buanyak lagi yang lain, bahkan mungkin aku pun belum tentu tahu semuanya. Tapi kalau disuruh membuat daftar makanan tradisional kota yang punya special landmark Lawang Sewu dan Tugu Muda ini, aku akan memilih 5 terfavorit berikut ini. Kira-kira sama nggak ya sama favoritnya orang Semarang kebanyakan?

1. Mie Kopyok

Makanan legendaris Kota Semarang ini adalah makanan yang paling aku suka. Dulu sih biasanya makanan berbahan dasar mie ini dijajakan oleh pedagang keliling menggunakan gerobak dorong. Namun sekarang semakin jarang aku menemukan pedagang Mie Kopyok.

Mie kopyok selalu mampu membawa ingatanku pada kehangatan keluarga tiap kali lebaran tiba. Saat kami bosan dengan opor ayam dan segala jenis masakan bersantan, keluarga besarku selalu menanti mie kopyok lewat di depan rumah eyang. Sepertinya mas penjaja mie kopyok ini sengaja nggak pulang kampung karena tahu saat-saat lebaran begini justru makanan non santan jadi laris manis.

Mas penjaja mie kopyok yang sering berkeliling di perumahan tempat eyangku tinggal ini sudah langganan, bahkan sampai hafal nama-anam anggota keluarga kami. Aku lupa tepatnya kapan, kebiasaan makan mie kopyok tiap lebaran tiba itu perlahan memudar. Salah satunya karena si penjual mie kopyok itu tak lagi lewat. Entah karena pulang ke desa atau ada hal-hal tertentu terjadi padanya. Kemudian ada lagi penjual lain yang datang, namun cita rasanya sangat berbeda. Nggak cocok di lidah kami.

mie kopyok khas Semarang
Saat bapak ibu pindah ke Salatiga, untuk mengobati rasa kangen pada mie kopyok, ibu sering membuat sendiri menu ini. Bahkan sering menyajikannya saat ketempatan arisan. Mengenalkan salah satu kuliner khas Semarang katanya. Tak sedikit yang kemudian bertanya resep mie kopyok. Padahal yang ibu buat versi sederhana dan ala kadarnya banget, tapi tetap enak sih. Dan segar yang pasti. Apalagi disajikan saat siang hari yang panas.

Mie Kopyok sebenarnya sajian yang sangat sederhana. Mie basah yang disajikan bersama tahu, kerupuk gendar, kecambah yang sudah direbus terlebih dahulu, dan ketupat atau lontong, lalu disiram kuah kaldu yang khas. Ada juga yang dicampur dengan irisan daging. Kuah kaldunya juga kadang ada yang disajikan pula dengan sambal kacang, semakin menambah cita rasa tersendiri.

Sudah lama banget aku nggak makan mie kopyok karena nggak tahu harus cari ke mana. Hingga suatu hari suami browsing mencari penjual mie kopyok. Ada satu penjual yang sangat tenar di Semarang, kami coba merasakan, namun di lidahku masih kurang pas. Nggak sama dengan yang kurasakan sewaktu kecil.

Lalu pencarian pun dimulai lagi, dan ketemu deh penjual mie kopyok yang cukup pas di lidahku. Senangnya hatiku. Apalagi lokasinya juga nggak jauh dari rumah, di daerah menuju Perumahan Bukit Emerald.

2. Ganjel Rel

roti ganjel rel khas semarang
Kalau mendengar nama ini, ingatanku langsung melayang ke Komunitas Blogger kesayangan, hehe. Duh, jadi kanget meet up nih. Tapi Ganjel Rel yang kumaksud di sini yaitu roti jadul khas Semarang yang rasanya unik, tapi sekali makan nggak bisa berhenti.

Disebut Ganjel Rel karena bentuknya yang kotak, konon katanya mirip dengan bantalan rel kereta. Roti ini kalau orang bilang semacam roti bantat (nggak mengembang), dan kalau makan harus selalu sedia air di dekat kita karena bisa bikin seret. Namun justru di situlah keunikannya.

Dibuat dari tepung terigu dan gula, lalu diolah bersama aroma kayu manis dan diberikan taburan wijen di atasnya untuk cita rasa yang tiada duanya. Dulu sih biasa disajikan di Hari Raya, namun semakin bertambahnya tahun, semakin jarang roti ini disentuh. Bahkan bisa jadi nama Ganjel Rel sebagai roti kalah pamor dengan nama komunitas blogger yang kece badai.

Makanya kata mbak founder sengaja milih nama Gandjel Rel sekalian menggaungkan lagi ketenaran roti jadul Semarang tersebut. Duh mulia banget sih…

3. Kue Gandos

gandos khas Semarang
Ingat kue gandos jadi ingat zaman hamil si Ifa. Di akhir-akhir masa kehamilan, nggak tahu kenapa pengen banget makan kue gandos ini. Biasanya di dekat tempat kerja suami ada yang jual. Namun kok qodarullah saat itu, nggak ada sama sekali penjual gandos yang terlihat. Sampai akhirnya Ifa lahir dan ngidam kue gandosnya belum terlaksana. Untungnya Ifa nggak ngileran, wkwk.

Sebenarnya kue yang dibuat dari tepung beras dicampur santan, gula dan garam ini nggak hanya ditemukan di Semarang. Di tempat lain banyak yang menyebut kue Gandos dengan nama kue Pancong atau kue Rangin.

Perbedaan kue Gandos khas Semarang dengan kue sejenis yang bisa kita temukan di kota-kota lainnya yaitu adanya taburan gula halus di atasnya. Sekarang ini banyak juga yang memodifikasi Gandos dengan sentuhan yang lebih modern. Contohnya, taburan gula halus diganti dengan keju atau coklat bubuk. Kalau aku sih tetap suka yang original, yang bertabur gula halus.

Rasa gurih dari santan berpadu dengan topping gula halus selalu berhasil membuatku nggak bisa berhenti makan. Apalagi disajikan saat suasana lagi mendung atau hujan deras. Gandos disajikan hangat-hangat bersama teh atau kopi, duh lezatnyaaa.

Kue ini bisa didapatkan di pinggiran kota. Biasanya dijual dengan gerobak kecil. Disiapkan langsung saat ada pesanan, jadi bisa disajikan hangat-hangat. Sayangnya jumlah penjual kue gandos pun semakin menipis. Entah kapan kue zaman old ini akan mampu bertahan di era modern ini.

4. Serabi Kuah

serabi kuah khas semarang
Kalau dengar kata serabi, mungkin pikiran kita akan lebih mudah terkoneksi pada serabi notosuman khas Solo. Namun serabi yang kumaksud di sini sedikit berbeda. Serabi khas Semarang meskipun smaa-sama dibuat dari campuran tepung beras dan santan, namun memiliki ukuran kecil-kecil. Disajikannya dengan kuah santan dan kinco (larutan gula jawa). Biasanya juga disandingkan dengan bubur sumsum.

Serabi kuah ini juga sangat lekat dalam ingatanku. Saat liburan tiba dan aku menghabiskan waktu untuk menginap di rumah eyang, penjaja serabi adalah salah satu yang selalu kunanti. Biasanya eyang buyut atau eyang putri yang akan membelikannya untukku. Dijajakan oleh perempuan setengah baya yang membawa dagangannya menggunakan tenggok bambu.

Sebagaimana makanan jadul lainnya, lama-lama kuliner tradisional ini tergerus zaman. Penjual itu tak lagi bisa kutemui. Mungkin nggak ada yang meneruskan usaha tersebut. Saat aku sudah menikah dan punya anak, di perumahanku tiap sore juga ada yang menjual bubur keliling menggunakan tenggok, termasuk ada serabi kuah di dalamnya. Namun sayang rasanya tak seenak yang pernah kurasakan saat kecil. Sampai sekarang belum menemukan lagi penjual serabi kuah yang enak dan cocok di lidah.

5. Wedang Tahu

wedang tahu khas Semarang
Jika 4 kuliner tradisional yang kuceritakan sebelumnya punya hubungan kuat dengan masa kecilku, khusus yang satu ini, jujur aku belum pernah sekali pun menikmatinya. Duh, jadi malu. Katanya orang Semarang kok belum pernah makan Wedang Tahu.

Terus kenapa dimasukkan ke deretan makanan favorit? Karena aku berharap wedang ini jangan punah dulu, aku kan belum nyicipin, hehe. Sebenarnya di dekat rumah beberapa kali pernah lihat penjual Wedang Tahu, namun entah kenapa belum berani mencoba. Takut rasanya nggak sesuai harapan.

Kata teman-teman dan saudara sih enak, cuma aku masih belum bisa membayangkan tahu dijadikan wedang. Jadi minuman khas Semarang ini berisi kembang tahu yang dibuat dari sari kedelai, dicampur dengan kuah jahe yang khas dan bisa menghangatkan. Cocok disajikan saat udara sedang dingin atau pas hujan turun.

Konon katanya, kembang tahunya lembut dan lumer di mulut. Duuh, jadi pengen nih. Mau dong direkomendasikan penjual wedang tahu yang enak, jadi aku nggak salah pilih gitu.

Tips Melestarikan Makanan Tradisional

Setelah menceritakan 5 makanan tradisional khas Semarang yang kusukai, aku juga mau berbagi tips ke teman-teman terkait cara melestarikan makanan jadul yang kini semakin langka keberadaanya.

tips melestarikan makanan tradisional

1. Beli secara Rutin

Dari yang kulihat, semakin berkurangnya penjual-penjual kuliner tradisional dikarenakan semakin sedikit pula peminatnya. Hal sederhana yang bisa kulakukan untuk mendukung para penjual kuliner tradisional ini adalah dengan tetap membeli secara rutin, meski mungkin jumlah yang kubeli pun tak seberapa. Namun setidaknya jika masih ada peminatnya, warung atau penjaja keliling kuliner tradisional itu masih akan bertahan, sehingga kuliner jadul itu pun tidak akan punah ditelan masa.

2. Recook Resep

Untuk teman-teman yang hobinya nongkrong di dapur, masak maksudnya. Recook resep kuliner tradisional bisa jadi salah satu cara untuk melestarikan kuliner tradisional. Setidaknya kalau pun di luar sana sudah susah menemukan kuliner khas tersebut, di rumah-rumah kita, kuliner-kuliner itu masih setia menjadi panganan favorit.

3. Kenalkan pada Anak Cucu

Kenalkan anak-anak kita pada jenis-jenis makanan tradisional agar mereka tahu, mencicipi dan merasa memiliki. Rasa memiliki ini yang nanti menjadi modal untuk terus mau menjaga dan melestarikan makanan-makanan jadul tersebut.

4. Sajikan pada Momen Tertentu

Seperti yang ibuku lakukan saat mengenalkan menu Mie Kopyok di Salatiga yang notabene bukan kota asal makanan ini, ibu menyajikan Mie Kopyok di momen-momen tertentu, misal saat Dasa Wisma, Arisan PKK atau pun pengajian. Dengan cara sederhana ini, kita telah ikut menjaga peninggalan budaya dari nenek moyang yang terwujud dalam bentuk kuliner.

5. Gunakan The Power of Sharing

Kekuatan media sosial sekarang ini tak bisa dipungkiri bisa menjadi corong baru sebagai pusat pemasaran dan informasi. Kita bisa menjaga makanan-makanan tradisional ini agar tidak punah dengan membagikannya di media sosial yang kita miliki. Atau ditulis di blog kaya aku begini nih, hehe.

Jadi apa makanan tradisional khas daerah yang paling kalian sukai, pals? Punya tips untuk tetap menjaganya tetap lestari kah?

***

Sumber:

  • https://www.liputan6.com/citizen6/read/482859/lezatnya-menikmati-serabi-khas-kota-atlas
  • https://zonamakan.com/makanan-khas-semarang/

14 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Aku jadi laper abis baca artikel Ririt, enak semua kuliner Semarang yaak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi iya mbak. Aku gara2 nulis ini juga jadi sadar ternyata kuliner khas Semarang buanyak dan enak2 banget. Dan Setelah publish artikel ini kesampaian makan wedang tahu.. hehe. Ternyata beneran enak.. dulu takut Aja rasanya kaya tahu yang buat digoreng itu tapi berkuah jahe.. duh kaya apa dong. Eeeh ternyata Seger. Tahunya Juga beda. Haluus.

      Delete
    2. Kalo bubur srabi itu pembuatnya dekat dengan rumah mertuaku, daerah Kalicari Supriyadi. Aku penasaran pengen nyoba bikin sendiri, semoga tergerak hatiku dan enggak malas, wkwkwkk

      Delete
  2. Kue gandos itu yang susah banget nih. Aku suka banget. Btw, kalau di Surabaya namanya rangin, bukan kie gandos hehehe

    ReplyDelete
  3. Wah..aku masih penasaran nih dg Wedang Tahu yg khas Semarang ini. Kapan2 nyari ah.. BTW, kelg mba Marita kebalikan dg kelgku. Kalau kami dari Salatiga pindah ke Semarang hehe..

    ReplyDelete
  4. Kalau rangin di jatim juga biasanya ditaburi gula tapi lebih tipis dan crispy

    ReplyDelete
  5. Tugas kita sebagai blogger nih melestarikan makanan tradisional Indonesia, kita tulis di blog dan share di medsos ya, bagiku memang lebih nendang makanan tradisional daripada fast food barat...

    ReplyDelete
  6. Serabi kuah tu dari semarang juga ya? Baru tau aku karena di beberapa daerah ada juga kulinwr serabi. Gandjel rel yg udah jaraang banget nemu ya mbak

    ReplyDelete
  7. Pas nganter Kakak piknik kan mmpir ke Kampoeng Semarang, yang kucari moci sama gandjel rel, Mbak. Aku beli yang rasa kayu manis, setelah makan, oh, begini toh rasanya.

    ReplyDelete
  8. Rit, kalau gandhos yang asli Semarang malah ga pake taburan gula halus. Itu modifikasi niru Betawi deh. Polos aja gurih asin gitu kalau yang asli Semarangan.

    Kalau nyari wedang tahu yang enak, coba aja di depan toko roti Swiss. Yang di GajahMada ada, trus di Banyumanik juga ada. Segera cobain biar ga penasaran. Enaaakk banget wis to. Tahunya tuh bukan kayak tahu yang sudah dicetak itu. Bedaaaa banget.

    ReplyDelete
  9. wedang tahunya sama kayak kembang tahu Pontianak. ini sebenarnya kuliner Tionghoa ya mb, cuma karena Tionghoa ada dimana-mana jadi ya begitulah. sampai saat ini masih penasaran sama kue gandjelrel loh aku...apa buat sendiri ya. googling resep gandjelrel dulu ah

    ReplyDelete
  10. Sejak PSBB makanan2 endez2 itu serasa lenyap dari peredaran...tidaakkkkkk!! :(

    ReplyDelete
  11. dari semuanya aku paling suka serabi mbak. ringan dan rasanya nano2, ada manis dan gurihnya. duh kangen, serabi semarang

    ReplyDelete
  12. betul ya mbak. penjual panganan tradisional memang semakin terpinggirkan. aku sampai punya keinginan mau ngumpulin nenek dan kakek penjual panganan tradisional keliling, mau aku kasih tempat semacam foodcourt. biar mereka gampang jualannya, kita yang beli juga gampang carinya. ya tapi masih sebatas keinginan, karena belum ada tempatnya juga

    ReplyDelete