header marita’s palace

Pengalaman Hamil dan Melahirkan versi Suami

pengalaman hamil dan melahirkan versi suami
Momen hamil dan melahirkan selalu menjadi kenangan paling berkesan bagi perempuan. Entah itu kehamilan pertama, kedua atau kehamilan-kehamilan berikutnya. Namun tak bisa dipungkiri yang pertama selalu menjadi pembelajaran paling menarik.

Pembaca setia blog ini mungkin sudah tahu bahwa Kakak Ifa, anak pertamaku, bukanlah kehamilan pertama yang kualami. Sebelum Allah menganugerahkan si gadis hujan kepadaku, Dia sempat mengajakku berkelana terlebih dahulu. Mengenalkanku pada rasa cinta yang tak bisa dimiliki, menerima kenyataan pahit dan melepasnya dengan ikhlas. Dua kali Allah ajarkan pengalaman itu lewat cara yang berbeda. Dua kali yang hampir saja membuatku menyerah.

Aku menikah pada usia 23 tahun, di mana hampir semua teman-temanku masih asyik memulai karirnya. Terlalu berani. Keputusan yang sampai sekarang masih bikin aku geleng-geleng, meski tak pula kusesali. Ya, bersyukur sampai detik ini aku tak salah memilih suami, wkwk. Kalau dapatnya bukan pak suami, mungkin karam sudah kapal yang kutumpangi. Dan jika aku menengok ke belakang, sangat wajar Allah memberiku dua kali pelajaran berharga tersebut. Itulah salah satu bentuk cintaNya kepadaku, yang tentu saja saat itu aku belum menyadarinya.

kenangan hamil ketiga yang penuh kejutan
Jujur aku baru bisa menarik hikmah dari semua proses yang harus terlewati setelah setiap hari bergulat dengan rutinitas sebagai ibu baru. Waaah, apa jadinya jika setelah menikah aku langsung punya anak? Mungkin bisa jadi dadar guling… Anak bukan hanya sekedar titipan dan anugerah, ada kalanya mereka pun menjadi sebuah ujian. Apa jadinya ketika kita tak punya persiapan? Beruntung sekarang sudah semakin banyak sekolah menjadi orangtua, tinggal pilih mau belajar di guru yang mana.

Namun kalau boleh kasih saran, buat orangtua yang baru belajar parenting. Sebelum nyantrik ke mana-mana, nyantriklah dulu di Program Sekolah Pengasuhan Anak by Abah Ihsan Baihaqi. Recommended! Nggak kebanyakan teori, mindset kita tentang parenting akan direset dan program baru pun terinstall, lalu diajak praktek jadi orangtua yang betul, bukan sekedar kebetulan jadi orangtua.

Ririt 12 tahun yang lalu itu seperti monster kecil. Lantas apa jadinya seorang monster ketika diberi kesempatan menjadi ibu? Bahkan ketika tiba saatnya Allah anugerahkan kak Ifa di tengah-tengah keluarga kecil kami, kusadari dengan sangat emosiku masih awut-awutan nggak jelas. Aaah, jadi sedih kan ingatnya… betapa banyak hutang pengasuhan yang harus kubayar pada anak cantikku itu.

gadis hujan dari surga my mayda hanifa
Kehamilan dan kehadiran Ifa sangat spesial. Saking spesialnya, aku sudah mengabadikan momen itu dalam berbagai karya. Salah satunya lewat notes facebook yang kemudian kupindahkan ke blog ini; Gadis Hujan dari Surga. Terabadikan pula di beberapa buku antologiku. Kalau nggak salah ingat ada 3 buku antologi yang mendokumentasikan perjalananku menjadi seorang ibu.

Kenapa anak pertama selalu terasa lebih spesial? Karena dia yang menyematkan gelar ibu untuk pertama kalinya.

Selain itu, kehamilan Ifa memang lots of drama. 10 pekan pertama, jantungku dan suami sudah kaya lagi naik rollercoaster. Udah nggak sanggup lah kalau harus mengalami kuretase yang ketiga dengan jarak hanya dua bulan dari kuretase sebelumnya, wkwk. Bener-bener deh proses kehamilan Ifa itu jauh lebih menegangkan dari proses kelahirannya. Saking dramanya, kami nggak sempat kepikiran dan ngurusin mitos tentang ibu hamil. Kami cuma fokus gimana caranya kehamilan ini bisa selamat sampai proses kelahiran. Makanya setelah si bayi lahir, duh… rasanya ploooong banget.

Bukan berarti momen kehamilan Affan tak spesial. Tentu saja proses dianugerahkannya bujang cilik itu kepada keluarga kami juga tak kalah spesialnya, namun setidaknya aku sudah punya bekal saat mengandung Affan, dan memang nggak banyak drama sih waktu hamil si anak cowok. Meski ternyata proses melahirkan si Affan jauh lebih deg-degan daripada saat melahirkan Ifa, hehe.

anak pertama pengalaman pertama yang berkesan
Kalau pengalaman melahirkan anak pertama bisa sangat berkesan buat seorang perempuan, sejujurnya aku selalu kepo sih bagaimana pengalaman pertama istri melahirkan dari kacamata suami. Kebanyakan laki-laki jarang mengungkapkan perasaannya. Mereka selalu bekerja dalam diam. Tak terlalu banyak ekspresi. Bahkan aku pernah merasa sangat jengkel pada pak suami karena aku tak melihat kesedihan di wajahnya saat aku harus mengalami keguguran untuk kali kedua. Baru kemudian beberapa waktu setelah semua itu berlalu, aku tahu kalau dia pun sangat terpukul.
“Aku tak mau membebanimu dengan kesedihan yang kurasakan. Harus ada salah satu dari kita yang tetap bisa berpikir jernih. Jika aku juga menunjukkan keterpurukanku, bagaimana aku bisa menguatkanmu?”
Seperti itulah sepenggal dialog yang doi ucapkan. Tentu saja kubuat lebih dramatis, wkwkw.

Pengalaman Menjadi Ayah untuk Kali Pertama

Aku coba membuka-buka blog suami dan mencari postingan terkait pengalamannya menjadi ayah. Sudah kuduga tidak ada catatan yang mendokumentasikan perasaannya saat Ifa lahir. Namun aku menemukan sebuah tulisan tentang pentingnya pelukan untuk anak. Tertulis di kalimat pembuka bahwa bayi itu selalu menggemaskan dan doi jadi kangen masa-masa Ifa waktu masih bayi.

quality time with ayah kesayangan
Lalu kutelusuri lagi, eh nemu tulisan duet kami tentang suami siaga. Dalam tulisan itu nyempil sedikit ceritanya saat membersamaiku dalam proses kehamilan Ifa yang memang super deg-degan. Tapi nggak ada tuh menceritakan gimana deg-degannya doi menanti proses kelahiran si anak cantik di depan ruang operasi.

Beberapa waktu lalu di sela-sela couple time kami, sembari menikmati wangi kopi yang menguar, aku meminta suami menceritakan pengalamannya saat proses kelahiran Ifa. Matanya berbinar lebih terang dari biasanya. Aslinya, doi memang selalu suka menceritakan pengalaman terkait anak-anaknya sih.

Sebenarnya kelahiran Ifa itu nggak menegangkan. Karena sungsang dan aku punya minus delapan, kami memutuskan untuk sesar terencana. Aku datang pagi-pagi pada tanggal yang telah ditentukan dengan sangat tenang. Membayangkan sebentar lagi bisa bertemu dengan bayi yang sudah kugembol selama 38 minggu sungguh menyenangkan.

ifa menemani ayah kerja
Deg-degan pasti iya, tapi bukan karena ini pengalaman pertama. Lebih kepada trauma karena pengalaman kuretase keduaku yang sangat menakutkan. Jadi aku mewanti-wanti suami jangan sampai pengalaman mengerikan itu kualami lagi. Beruntung aku melahirkan di tempat suami bekerja, dia kenal dengan beberapa orang yang terlibat dalam proses operasi sesarku.

Saat aku dibawa ke ruang operasi, kudengar suaranya menitipkanku pada tim anestesi. “Titip bojoku ya, mas.” Maklum di rumah sakit milik pemerintah itu, suami tidak diperkenankan ikut ke dalam ruang operasi.

Pada sesi ngobrol malam itu kubertanya pada pak suami, “Kalau diizinkan masuk, Ayah mau masuk nggak.” Dengan tegas dan cepat doi menggeleng dong. “Nggak ah, takut pingsan.” Cemen ye doi. Ngakunya pernah jadi relawan PMI, tapi kok takut sama darah, hihi. Dan dia selalu membela diri, “Ya kan jadi relawannya pas masih sekolah, Bun…. sekarang sudah nggak.” Emang jago ngeles sih ayahnya anak-anak.

Lanjut dia bercerita bagaimana dag dig dug hatinya menungguku di luar ruang operasi. Waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Aku membayangkan dia mungkin tidak bisa duduk dengan tenang, sesekali duduk, sesekali berdiri. Melihat satu per satu ibu didorong keluar bersama bayinya, wajahnya semakin tegang. “Mana nih istriku kok nggak keluar-keluar. Kayanya sudah lama banget di dalam.”

Saking tegangnya, bosnya sempat menenangkan. “Asal kondisi istri sehat, insya Allah operasi sesar akan aman, mas.” Sedikit ayem, tapi tetap saja deg-degan. Padahal aku di dalam asyik mendengarkan dokter dan timnya saling melempar gojekan, wkwk. Meski sempat menggigil karena AC-nya dingin banget, brr.

baby ifa dan nenek
Tapi memang pas lahiran Ifa rasanya lama banget di ruang operasi. Setelah bayinya keluar dan proses penjahitan perut dilakukan selesai, aku pun nggak langsung digledek ke luar ruangan. Menunggu giliran dulu di sebuah ruang transisi. Ifa lahir jam 12:28, dan aku nggak tahu sih akhirnya digledek ke luar jam berapa.

“Lo bayinya mana mbak?” Pertanyaan suami saat melihatku dibawa ke luar ruangan. Pucat pasi lah doi. Jangan-jangan anaknya kenapa-kenapa. Aku juga nggak ngeh kalau ternyata Ifa belum dibawa bersamaku, wkwk. Maklum efek obat biusnya mulai bikin gliyengan.

“Eh, bayinya ketinggalan mas.” Sontak suami dan keluarga yang menunggu mengucapkan syukur. Bayi perempuan yang nggak capek-capek menangis itu pun diletakkan di samping tubuhku yang mulai merasakan nyeri di sekitar perut.
“Bingung. Gimana ya rasanya jadi bapak. Nanti harus apa, harus bagaimana. Apalagi dulu kan tahu sendiri bunda masih labil begitu. Antara siap nggak siap. Tapi saat lihat bayinya, lucu bangeet. Ya mau nggak mau harus siap.”
Suami hanya sempat menunggu sebentar di ruang isolasi. Prosedur waktu kelahiran Ifa kuingat-ingat emang lebih ribet dibandingkan saat Affan lahir. Dari ruang operasi, aku nggak langsung dibawa ke ruang perawatan, tapi dimasukkan dulu ke ruang isolasi selama semalam. Itu pun suami nggak boleh menunggu, kecuali jam besuk.

anak kesayangan ayah
Aku masih ingat betapa jengkelnya aku hari itu. Setelah dibawa ke ruang isolasi, aku ngantuk parah. Beruntung bayi Ifa akhirnya tidur. Aku pun ikut tertidur. Lalu aku dibuat terkaget-kaget ketika suara tangisnya memecah ruangan. Dari baby emang kenceng banget suara anak wedhok ini. Cranky banget lah. Mana aku belum bisa bangun, suami pun belum datang. Handphone-ku dibawa sama dia. Bayangkan doi baru datang habis maghrib setelah akhirnya dipinjami HP sama penunggu salah satu pasien di ruangan itu. Aku kan berasa kaya istri simpanan, wkwk.

“Ya maaf. Aku sampai rumah kan bersihin ari-ari dulu, terus ngubur. Lama tahu nguburnya. Susah bongkar pavingan yo. Aku nyuci baju bunda dulu juga.”

Begitulah komentarnya saat kutanya kenapa lama sekali baliknya ke rumah sakit. Fyi, kami pasangan mandiri. Karena memang begitulah kondisinya. Tidak ada orangtua yang ikut menemani, karena ibuku sakit stroke dan mama mertua pun tidak di Indonesia. Sesekali bulikku datang menjenguk, tapi tentu saja tidak stand by sepanjang hari. Namun aku bersyukur doi jengkelinnya cuma saat itu aja sih. Setelahnya, dia total sekali menjadi ayah.

Begitu sampai di ruangan, melihat anaknya menangis, dia kebingungan. “Nggak pernah gendong, kikuk,” katanya. Untung ada ibu-ibu baik yang mengajari suami menggendong. Dengan sepenuh hati dia ninabobokan si jabang bayi. Begitu udah terlihat tidur anteng, diturunkanlah ke box, dan nggak lama… nangis lagi dong, wkwk. Diangkatnya lagi. Gitu aja terus. Emang dari bayi, ternyata Ifa suka ngerjain ayahnya.
“Aku nggak pernah bisa tidur kalau malam. Waktu Ifa dulu kan kita di kelas dua, beda sama Affan yang dapat kelas satu, ruangannya nyaman. Waktu Ifa kan kita di ruangan yang berisi enam pasien. Nggak pakai AC. Nyamuknya banyak banget. Aku selalu jagain bunda sama Ifa biar nggak digigit nyamuk. Mana Ifa kalau nangis kenceng banget. Bayi perempuan sendiri tapi nangisnya ngalahin bayi-bayi cowok yang seruangan. Padahal paginya aku masih harus kerja.”
Uuuh, so sweeet nggak sih? Itu pun saat kerja, dia harus selalu siap kalau handphonenya berdering. Apalagi saat aku harus ditransfusi karena HB drop. Tambah nggak bisa bergerak deh. Ya dia yang harus siap-siap kalau bayinya nangis. Aah, kalau diingat-ingat saat itu, kasihan juga ya paksu pasti kurang tidur, tapi nggak pernah lo doi menampakkan wajah masam. Selalu tersenyum. Kalau aku mengeluh kesakitan, doi langsung tanggap menghiburku. Duh, mellow.

Ifa juga menjadi pengalaman pertama doi melawan jijik. Dia mau nggak mau harus turun tangan nyebokin dan ganti popok Ifa. Dan semuanya autodidak. Bulikku nggak selalu standby, sementara gerakanku pun masih terbatas. Kadang suka gemes lihat doi yang nggak cak cek saat ganti popok, padahal bayinya udah meraung-raung. Tapi kalau diingat-ingat, doi hebat banget. Pengalaman pertama dan dia langsung terjun langsung jadi bekingan numero uno buat istrinya.

bukan bayi ASIX tapi mix sufor
Belum lagi saat ASI nggak keluar-keluar sampai tiga hari pasca lahiran. Ilmu kami soal ASI juga masih cethek banget. Sementara Ifa super duper cranky, sebagai ortu baru yang ngerjain semua sendirian ya panik lah. Apalagi edukASI belum kaya sekarang, ibu-ibu sepuh yang nungguin anak-anak perempuannya ngomporin beli sufor dong.

Lalu suami pun bergegas beli sufor. Saking paniknya beli langsung yang ukuran gede. Diajarin sama ibu-ibu caranya bikin susu dan ngetes apakah susunya terlalu panas atau tidak. Lalu pagi harinya kami ditegur dong sama perawat karena bayinya dikasih sufor, wkwk. La kardusnya gede banget, ukuran 800 gram, nggak bisa diumpetin lah, hihi.

Si perawat pun ngomel-ngomel lalu ngajarin cara menstimulasi ASI biar cepat keluar. Tapi aku kadung jengkel. Dan pak suami selalu siap menjadi pendengar setia omelan istrinya. “Sabar ya.. Nanti pasti keluar kok.”

“Bunda ingat nggak teknik yang kutemukan biar Ifa tetap mau menyusu langsung dari Bunda?” Tanya suami malam itu. Ya, doi menemukan sebuah ide brilian. Bagaimana caranya merangsang agar ASI cepat keluar, tapi Ifa juga bisa tetap tenang dan nggak nangis melulu.

Ifa kugendong dengan posisi menyusui. Lalu suami meneteskan sufor di dalam dot dari posisi atas. Bisa bayangin nggak sih? Lucu lah pokoknya. Jadi seakan-akan Ifa lagi mimik ASI, padahal mah mimik sufor. Namun usahanya membuahkan hasil, paginya ASI keluar, meski nggak sebanyak busui pada umumnya. Mungkin karena aku terlalu thinking introvert dan sering mengalami gangguan kecemasan, dua kali punya baby, semuanya harus sambung sufor.

ifa dan Affan now & then
Well, it’s about choice. Mau dibilang aku ibu pemalas dan sebagainya ya whatever. Biarlah hanya aku dan suami yang tahu gimana usahaku biar si baby tetap bisa mendapatkan haknya. Memberikan sufor buatku tidak mengurangi jatah cintaku kepada mereka. Toh aku tetap menyusui mereka, bahkan sampai lebih dari dua tahun. Karena eike kagak tega mau nyapih, wkwk.

Aaah, jadi pengen punya bayi lagi gara-gara throwback ke masa-masa itu. Sayangnya paksu masih belum acc. Malam itu saat couple tima aku lagi-lagi mencoba merayu dia untuk nambah momongan, dia cuma senyum lalu menutup obrolan kami, “Udah malam, masuk yuk. Nyamuknya banyak.”

Dengan itu berakhir pulalah ceritaku pagi ini. Semoga ada manfaatnya ya. Two thumbs up buat bapak-bapak di luar sana yang sudah jadi suami siaga saat istrinya hamil dan melahirkan. Terkhusus buat suamiku tercinta, thanks for all the great things you’ve done for me and our kids… semoga selalu istiqomah jadi suami dan ayah terbaik yaaa!

1 comment

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. waaaahh jaadi ibu memang istimewa yaaa :) semoga kita semua selalu sehat dan bertumbuh bahagia :)

    ReplyDelete