header marita’s palace

Geger GEMAR: Pro Kontra Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak

pro kontra gerakan ayah mengambil rapor anak

Beberapa hari terakhir, dunia netizen Indonesia dihebohkan dengan edaran terkait GEMAR (Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak di Sekolah). Pro dan kontra pun langsung bermunculan.

Kalau aku sendiri bagaimana?

Sebelum sampai ke pendapat pribadiku, aku ingin mengajak sohib kongkow sebentar—melihat dulu landasan kenapa gerakan ini muncul, sekaligus alasan di balik pihak yang pro dan kontra.

Landasan Himbauan GEMAR dan Pro Kontra yang Menyertainya

Isu fatherless di Indonesia belakangan ini semakin sering dibicarakan. Menurutku pribadi, bukan berarti jumlahnya melonjak drastis, tapi karena jumlah penduduk makin banyak, isu ini jadi makin terlihat dan terasa dampaknya.

Kenapa akhirnya ramai dibahas? Karena semakin banyak orang yang sadar: dampak fatherless bagi anak itu besar. Kesadaran ini justru patut disyukuri. Artinya, awareness masyarakat meningkat, dan insyaAllah ini menjadi pintu menuju perubahan yang lebih baik.

Dalam konteks ini, aku mengapresiasi pemerintah yang cukup tanggap. Upaya membangun generasi masa depan—generasi emas—memang idealnya dimulai dari lingkup terkecil: keluarga.

Sebelumnya ada Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah. Kini hadir Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak.

Terkait surat edaran tentang GEMAR, sohib kongkow bisa baca di website Sekolah Islam Bintang Juara aja ya.

Pertanyaannya, apakah gerakan kecil seperti ini benar-benar berdampak?

Apakah cukup sekali-dua kali hadir di sekolah lalu seorang ayah bisa langsung berubah, dari yang sebelumnya cuek dan menyerahkan total urusan pengasuhan ke istrinya?

Wallahu’alam.

Tapi aku percaya, hidayah memang sering kali datang lewat keterpaksaan.

Mirip seperti perintah shalat. Awalnya dilakukan karena perintah, karena takut konsekuensi yang didapat nantinya. Lama-lama terbiasa. Dari kebiasaan tumbuh rasa, lalu cinta. Hingga akhirnya dilakukan bukan lagi karena paksaan, tapi karena kebutuhan.

Begitu pula dengan GEMAR.

Sekali dua kali mungkin terasa tak berdampak. Tapi siapa tahu, dari satu momen ayah mengantar anak ke sekolah atau mengambil rapor, lalu bertemu ayah-ayah lain, saling berbincang, terbuka wawasannya, dan pelan-pelan berubah cara pandangnya tentang pengasuhan dan pentingnya kehadiran yang utuh bagi anak.

Dari sudut pandang ini, wajar jika banyak yang pro terhadap kebijakan ini.

Lalu, mengapa ada yang kontra?

Menurutku, sebagian yang kontra terlalu jauh keluar dari esensi dasar kenapa gerakan ini dibuat. Fokusnya bergeser ke pertanyaan seperti:

  • “Kalau anak yatim bagaimana?”
  • “Kalau orang tuanya bercerai bagaimana?”

Bagiku, ini kurang tepat sasaran.

Himbauan ini jelas ditujukan untuk keluarga ideal—dalam arti masih ada ayah dan ibu.

Bukan berarti tidak empati pada anak yatim atau anak dari keluarga yang terpisah. Tapi tak perlu juga menjadikannya seolah ancaman emosional: anak akan minder, iri, atau merasa kurang.

Sebelum ada GEMAR, apakah kita benar-benar pernah bertanya pada anak-anak itu bagaimana perasaan mereka?

Apakah kita pernah menggali apa yang mereka rasakan saat melihat teman-temannya diantar orang tua lengkap, atau saat rapor diambil ayah dan ibu?

Kok sekarang ketika ada gerakan ini, baru meromantisasi perasaan anak-anak tersebut.

Justru gerakan ini bisa menjadi momentum penting untuk lebih aware. Untuk mulai bertanya, mendengar, dan mengonfirmasi perasaan anak-anak—yang mungkin selama ini tak pernah benar-benar ditanya.

Bisa jadi ada anak yang baik-baik saja.

  • “Ya nggak apa-apa, ayahku sudah meninggal.”
  • “Aku nggak iri kok. Aku malah senang melihat teman-temanku.”

Bisa jadi ada yang santai karena mereka punya figur ayah pada kakek, om, atau pakdhe yang hadir. Atau bahkan mereka sudah cukup dengan hadirnya sang bunda.

Dan jika ternyata ada anak yang merasa sedih, justru di situlah saatnya ruang dialog terbuka. Tentang kehidupan yang memang tak selalu ideal, tapi tetap bisa diterima dan disyukuri sebagai takdir Allah.

Anak yatim bisa dikuatkan dengan kisah Nabi Muhammad SAW.

Anak dari keluarga LDM atau co-parenting bisa belajar dari kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS—tentang kehadiran ayah yang tidak selalu fisik, tapi tetap bermakna dan membekas.

Kadang, kita terlalu sering terpapar sisi buruk, sampai lupa melihat niat baik dari sebuah gerakan.

Apakah Aku Setuju dengan GEMAR?

Kalau ditanya setuju atau tidak, jujur aku lebih setuju dengan Gerakan Ayah Bunda Mengambil Rapor Bersama. Hehe.

Kalau masih ada ayah dan bunda, tidak sedang LDM atau kondisi khusus lainnya, dan memungkinkan hadir bersama—kenapa tidak?

Aku sendiri mengklaim diriku sebagai “korban fatherless”. Ceritanya panjang dan mungkin pembaca setia blog ini sudah tahu. Tapi satu hal yang selalu kuingat: bapakku sering mengambil raporku.

Bapak bukan lulusan tinggi—hanya SMP. Tapi kehadirannya saat ambil rapor adalah caranya menyemangati kami agar tetap sekolah dengan sungguh-sungguh. Apalagi ibuku seorang guru, yang sering kali justru harus membagikan rapor murid-muridnya pada saat momen ambil rapor anaknya.

Ah… pantas saja sepatah itu hatiku pada bapakku. Ternyata aku secinta itu juga padanya. - Abaikan saja kalimat ini. 

Kembali ke GEMAR.

Bagi kami, himbauan ini bukan hal baru. Saat Ifa sekolah di Kuttab Al Fatih, aturan pengasuhan justru jauh lebih ketat. Ambil rapor wajib dihadiri kedua orang tua—terutama ayah.

Bukan hanya itu, ayah juga wajib hadir dalam kegiatan belajar dan mengaji. Di sana kami belajar bahwa ayah adalah qowwam: bukan hanya pencari nafkah, tapi pendidik utama keluarganya.

Maka jujur saja, GEMAR ini masih “level B” buat kami. Tapi aku berharap, dari level B ini akan tumbuh semakin banyak ayah yang sadar perannya—sebagai suami, pendidik keluarga, dan support system istri.

Alhamdulillah, semangat yang sama juga kami rasakan di Sekolah Islam Bintang Juara, tempat Affan kini belajar. Begitu juga dengan sekolah Ifa saat ini. Semua punya ruh yang sama: keterlibatan orang tua—ayah dan ibu—dalam pendidikan dan pengasuhan anak.

Gerakan yang hari ini ramai dibicarakan, sejatinya sudah lama dipraktikkan oleh sekolah-sekolah pilihan kami. Maka sebagai parenting enthusiast, aku justru bersyukur pemerintah mulai mendorong gerakan-gerakan seperti ini.

Penutup

Mengambil rapor bukan sekadar melihat nilai. Ini momen untuk mengapresiasi proses, menggali potensi, dan membaca karakter anak—dan yang lebih penting, merefleksikan peran orang tua dalam mendampingi mereka.

Momen ambil rapor bukan untuk “menguliti” anak, tapi menguliti peran kita sebagai orang tua.

Akhir kata, mau sohib kongkow pro atau kontra dengan adanya GEMAR, mari tetap menjadi teman tumbuh bagi anak-anak kita. Hadir secara utuh, dengan mengaplikasikan Prinsip CINTA

Apa itu Prinsip CINTA? Kita obrolin di tulisan berikutnya saja—ini sudah kepanjangan, hehe.

Mohon maaf lahir batin jika ada kata yang kurang berkenan. Ini pendapat pribadiku. Feel free untuk berbeda pandangan ya, pals. Have a fun holiday with your family!***

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com