Assalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Dadaku sesak ketika
kalender 2017 tinggal satu lembar lagi. Itu artinya Desember telah datang
kembali. Tepat pada 3 Desember lalu, setahun sudah kepergian ibu. Tak bisa
kupungkiri bahkan hingga detik ini, rasa kehilangan itu belum juga pudar. Namun
apalah gunanya menjerumuskan diri untuk terus meratapi kepedihan atas
kehilangan ini? Aku yakin ibu pun tak
akan suka jika aku berlarut-larut dalam ratapan. Masih banyak tanggung jawab
yang harus aku selesaikan sebagai seorang ibu dan istri.
Maka ketika #ArisanBlogGandjelRel putaran ke-17 mengangkat
tema tentang ibu, aku sudah berniat untuk tidak menulis sesuatu yang akan
membuatku kembali meratap atas kepergiannya. Menulis tentang ibu bukanlah hal
yang baru, beberapa kali aku sudah menulis tentang ibu di blog. Bahkan ada satu
postingan yang kemudian dibukukan dalam sebuah buku antologi berjudul “Hati Ibu
Seluas Samudera” bersama Pakdhe Abdul Cholik, dkk.
Tema arisan
kali ini dipilih oleh duo blogger kece yang sekaligus berprofesi sebagai
pendidik muda Indonesia. Yang satu berkiprah mencerdaskan para mahasiswa, MbakNorma Fitriana M Zain. Sedangkan yang tak kalah kece lainnya ada mbak Chela
dengan nama pena uniknya; Guru Kecil. Meski mungil, doi ini merupakan seorang
guru yang sangat passionate dan pastinya dikangenin murid-murid SD-nya.
Qodarullah
almarhumah ibuku juga merupakan seseorang yang berkecimpung di dunia pendidikan
sama seperti dua orang pemberi tema arisan kali ini. Tak jauh berbeda dengan
mbak Chella, ibuku juga seorang guru SD. Beliau dikenal sebagai sosok guru yang
sangat disiplin, tegas namun disayangi oleh para muridnya. Setiap kali beliau
bertambah usia, pasti selalu ada kejutan berupa banyak kado dan roti tart dari
para muridnya. Ruang kelas akan dihias dengan pita warna-warni dan balon-balon.
Seluruh murid beliau akan menunggu ibu masuk ke dalam kelas, lalu bersama-sama
menyanyikan lagu ulang tahun untuk menyambut kedatangannya. Namun karena penyakit yang dideritanya, ibu
harus berhenti dari pekerjaan yang disukainya itu dan berpamitan dengan
murid-murid yang selalu disayanginya sebelum masa pensiun tiba.
Ibuku, Wanita Paling Menginspirasi
Oya, postingan
ini selain untuk memenuhi kewajibanku setor #ArisanBlogGandjelRel putaran
ke-17, aku juga menuliskannya dalam rangka “Gebyar Literasi Media Institut Ibu Profesional Semarang” periode
Bulan Desember yang juga mengangkat tema tentang ibu.
Hampir semua
anak akan selalu menjadikan orangtuanya inspirasi bagi hidupnya, terutama dari
sosok ibu. Meski beberapa anak lainnya ada juga yang memiliki hubungan buruk
dengan ibunya, namun pasti akan selalu ada hal yang bisa kita pelajari dari
setiap kejadian. Bahkan jika ibu kita mungkin pernah meninggalkan memar di
hati, pasti ada maksud dan hikmah tersembunyi yang Allah kirimkan untuk kita
pecahkan.
Aku bersyukur
meski sempat melewati titik-titik terburuk dalam hidup, aku memiliki ibu yang
sangat luar biasa. Hubungan kami tidak selalu berjalan mulus, ada kalanya kami
berbeda pendapat dan bisa saling diam beberapa hari, namun ikatan antara ibu
dan anak tidak akan terputus dengan mudahnya ketika cinta yang tulus hadir
menjadi perekat abadi.
Berbekal
pengalaman hidup dan latar belakang beliau sebagai seorang pendidik, ada banyak
hal dalam diri ibu yang senantiasa menginspirasiku. Tidak hanya menginspirasiku hingga berbuah tulisan, ibu juga mewarisiku delapan hal
berikut yang saat ini aku genggam menjadi pedoman untukku menjalani hidup.
Bersyukur dalam Suka Duka
Hidup ibu
penuh lika-liku. Tidak hanya berisi masa remaja ceria yang seringkali beliau
ceritakan padaku, namun juga berkali-kali tersungkur dalam ujian yang buatku
bisa jadi tidak mudah untuk dilewati. Namun satu hal yang aku lihat dari beliau
adalah betapa rasa syukur tak pernah lepas dari bibir dan jiwanya.
Ibuku juga
sama tidak sempurnanya seperti manusia lainnya. Pernah mengeluh, pernah
menangis. Namun selalu dengan cepat beliau mampu mengatasi rasa gundah
gulananya menjadi rasa syukur yang berlebih-lebih. Yang hingga saat ini masih
sulit aku lakukan adalah mempraktekkan rasa syukur ketika musibah datang.
Bersyukur atas takdir baik tentu jauh lebih mudah. Namun ketika sakit dan kehilangan
mampu menjadi titik syukur kita pada Yang Maha Kuasa, maka itu luar biasa.
Aku jadi
ingat saat kami pernah ada di posisi hampir kehabisan beras. Ibu masih tetap
tersenyum sambil tidak lepas berdzikir asmaul husna, ya rozaq… ya rozaq… Dan jika
menurut perhitungan manusia, beras itu akan habis dalam sekali masak,
nyatanya jumlah beras di tempat
penyimpanan seakan tidak berkurang sama sekali, meski kami sudah menanak nasi
berkali-kali. Allahu Akbar!
Bersyukurlah,
maka Allah akan menambah nikmatmu. Ayat Al Quran itulah yang selalu ibu pegang dan
berusaha aku jalani saat ini.
Bersabar Menghadapi Ujian
Awal ketika
ibu mendapat ujian sakit, ibu pun terguncang cukup hebat. Namun tidak perlu
waktu lama baginya untuk kembali bangkit. Alih-alih marah pada takdir yang nampak
tidak adil di mata orang yang melihat, beliau memilih untuk berdamai dengan
takdir tersebut.
Kurang lebih
selama 17 tahun ibu menjadi pesakitan. Namun jangan dibayangkan sosoknya begitu
menyedihkan dan penuh air mata. Tidak… hampir sebagian besar beliau habiskan
dengan tawa dan semangat. Suaranya masih menggelegar ketika beliau masih aktif
mengajar. Tidak akan ada yang menyangka suara itu dihasilkan oleh orang yang hanya
bisa berbaring di atas dipan dan semua aktivitasnya harus dibantu oleh orang
lain.
Tentu saja aku
juga sering melihatnya menangis. Namun bukan untuk meratapi penyakitnya, namun
menangis untuk meminta kepasrahan dan kekuatan kepada Allah, meminta ampun atas
segala dosa serta berharap untuk diwafatkan dalam keadaan khusnul khotimah. Ibuku,
adalah salah satu wanita paling kuat dan sabar yang pernah aku temui dalam
hidup.
Berprasangka Baik kepada Allah Setiap Saat
Pasti akan
ada hikmahnya. Kalimat itu yang selalu ibu ucapkan ketika aku mengeluh akan
sesuatu hal. Saat bapak menikah lagi, saat adikku meninggal mendadak, saat suamiku harus bekerja di luar kota… banyak hal
yang aku keluhkan dalam hidup, dan ibu selalu mendengarkannya sambil tersenyum.
Momen-momen
ketika membersihkan badannya dulu adalah saat-saat yang paling menyiksa,
apalagi ketika aku hamil besar. Namun sekarang aku justru sangat merindukan
masa-masa itu. Masa di mana aku bisa mendengar cerita-cerita ibu yang sangat
luar biasa. Meski kadang aku tak selalu mampu menangkap maksudnya saat itu
juga, namun yang beliau kisahkan pasti membawa manfaat untukku. Kisah-kisah
ringan yang kadang menyentilku untuk lebih sabar dan lebih bijak memandang
hidup.
“Ibu tahu
kenapa begini nduk… ternyata maksud Allah itu begini lo…” Kadang aku tak
langsung menyetujui perkataan ibu, namun dalam hati aku mengangguk-angguk dan
mengakui kebenaran itu.
“Takdir Allah
adalah yang terbaik bagi setiap umatNya. Jangan sekali-kali meragu padaNya, berikhtiar
itu wajib, namun setelah itu pasrahkan setiap detik hidupmu pada tanganNya.
Biarkan Allah yang mengaturnya, dan ikuti saja alur demi alur yang mungkin penuh
kejutan. Apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan Allah. Allah saja
selalu ada buat kita.” Salah satu wejangan ibu yang kucatat dan kuingat setiap
saat.
Belajar demi Wawasan yang Lebih Luas
Pendidikan
ibu tidaklah terlalu tinggi. Beliau sempat merasakan kuliah jenjang DII di
Universitas Terbuka. Aku masih ingat waktu beliau diwisuda. Saat itu ibu masih
sehat, segar dan bugar.
Dari ibu aku belajar
untuk suka membaca. Ibu selalu membawakanku buku-buku bacaan dari perpustakaan.
Beliau juga berlangganan Bobo untukku. Setiap kali pergi ke suatu tempat, buku
atau majalah adalah sesuatu yang tak boleh ketinggalan.
Saat kemudian
beliau jatuh sakit, semangat belajarnya pun tak sirna. Meski hanya di tempat
tidur, saat tangannya masih kuat memegang buku, ibu selalu membaca buku setelah
habis sholat dhuha. Tidak hanya buku cerita atau buku agama, Al Quran terjemmahan pun selalu dilahapnya tiap pagi,
siang dan sore hari. Ibuku sebenarnya tidak lancar membaca huruf hijaiyah,
namun semangatnya belajar agama begitu tinggi. Ia memintaku mencarikan Al Quran
yang ada transkrip bahasa Indonesia sekaligus artinya. Ibu juga memintaku
mencarikan guru ngaji. Beberapa kali aku juga mengajarinya sendiri, meski
beliau sering lupa.
Televisi buat
ibu bukan hanya sekedar hiburan. Televisi hanya nyala untuk menayangkan siaran
keagamaan. Beliau hafal semua jadwal acara siraman rohani yang tayang di TVRI
dan TV-TV Swasta. Arifin Ilham adalah
ustad favorit beliau. Setiap kali acara dzikir yang dipandu Ustad Arifin Ilham
tayang, beliau pasti ikut berdzikir hingga air matanya tumpah.
Tidak hanya
ilmu agama, ibu sangat terbuka tentang perkembangan ilmu parenting. Ketika aku
mengasuh Ifa dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan caranya, Ibu tidak
protes dan malah ikut belajar. Malah seringnya aku yang diingatkan oleh ibu, “kok
ngono.. jarene gak oleh ngono..” Ya, she is my alarm, she is my reminder!
Ibu selalu
antusias ketika aku mau menghadiri acara seminar parenting, beliau rajin
mengingatkan. “Nek ibu sehat, ibu gelem melu kok, nduk.” Dan aku beberapa kali
berandai-andai datang ke sebuah acara seminar dengan menggenggam tangan beliau.
Dari ibu aku tahu arti dari lifetime learner, pembelajar sepanjang hayat. Bahwa
wajib bagi kita sebagai manusia untuk terus belajar dari buaian hingga ke liang
lahat. Kita hanya berhenti belajar ketika kematian datang menjemput. Ibu juga
menjadi pengingat untukku kalau aku mau anakku jadi pembelajar, maka aku harus
menjadi pembelajar terlebih dulu.
Bermanfaat dan Berbagi dalam Segala Kondisi
Ibu dulu selalu
bertanya-tanya kenapa dengan kondisi beliau yang seperti itu, Allah belum juga
mengambilnya. Lalu ibu akan selalu tersenyum ketika mampu menemukan jawaban
atas pertanyaan tersebut.
Ibu belum bisa
pergi, wong kamu aja masih butuh diingatkan terus. Ibu belum bisa pergi wong
menantu ibu masih butuh dicereweti. Ibu masih harus di sini, meski cuma di kasur
bisa nemenin Ifa ngobrol kalau mbok tinggal kerja.
Beberapa
ungkapan yang sering ibu utarakan kepadaku, dan memang benar adanya. Ibu bisa
jadi hanya tiduran di dipan, namun manfaat yang beliau berikan untuk keluarga
kecilku sangat luar biasa. Bahkan bukan hanya untuk keluarga, tetangga depan
rumah pun sering datang untuk bercerita
masalahnya dengan ibu. Ketika datang bermuka masam, pulangnya sudah tersenyum
ceria. Mbak sayur langganan seringkali juga menghujani ibu dengan ciuman di
pipi kanan pipi kiri, karena merasa ibu memberikan motivasi dan hiburan ketika
hatinya bersedih. Mbak sayur juga beberapa kali cerita kepadaku betapa ibu
selalu mengingatkannya untuk sholat dan ngaji. Belum lagi budhe yang bantu
bersih-bersih rumah, ibu selalu mengajaknya bercanda biar nggak spaneng
kerjanya.
Ibu… meninggalkan banyak cerita di hati setiap
orang yang pernah kenal dengan beliau. Meski hanya lewat kata dan suara, banyak
orang yang hidupnya redup menjadi kembali bersinar setelah ngobrol dengan ibu. Ibu
juga selalu berpesan padaku selalu sisihkan pendapatan yang aku punya untuk
bersedekah. Tidak harus banyak, yang penting ikhlas.
Ibu tak
pernah melihat orang dari status sosial dan kekayaannya. Buat beliau, semua
orang layak untuk dihargai. Dan kita juga bisa belajar banyak hal dari orang
lain. Jangankan sama manusia, sama kucing saja beliau sangat sayang. Entah
sudah berapa kucing liar yang masuk ke rumah dan berakhir menjadi teman buat
ibu saat aku sedang pergi.
Mengingat
kisah beliau aku jadi bertanya pada diri sendiri, apa yang sudah kuberikan
untuk keluarga dan orang-orang di sekitarku? Sudahkah aku cukup menebarkan
manfaat?
Berkaca pada Kesalahan Diri Sendiri
Berapa kali
pun aku menyalahkan bapak karena dengan mudah tergoda wanita hingga akhirnya
diberi ijin oleh ibu untuk menikah lagi, berkali-kali pula ibu meyakinkanku
bahwa kesalahan tidak hanya milik bapak seorang. Ibu pun merasa turut andil
menjadi penyebab semua tragedi rumah tangga beliau.
Berapa kali
pun aku membenci bapak, berkali-kali itu juga ibu memintaku untuk memaafkan
beliau. Bahkan saat bapak meninggal, ibu bercerita betapa ada banyak hal baik
dari diri bapak yang hampir terlupakan karena kami lebih banyak mengeja kecewa
dan lupa mencatat kenangan baik tentangnya.
Berapa kali
pun aku jengah dengan istri kedua bapak, berkali-kali itu juga ibu memintaku
bersabar dan menerima kenyataan bahwa wanita itu beserta anak-anaknya adalah
bagian dari keluarga kami.
Sebelum menuding
orang lain, coba bercermin agar bisa melihat kekurangan dan kesalahan diri
sendiri. “Bapak menikah lagi karena butuh sosok yang bisa bermanja-manja
dengannya, ibu terlalu mandiri hingga lupa bahwa bapak juga butuh diperlakukan
sebagai seorang laki-laki dengan segala egonya. Istri bapakmu tidak akan hadir
jika ibu bisa 100 persen memenuhi hati bapak. Nyatanya masih ada tempat kosong
yang ibu tidak bisa masuki dan ditempati oleh dia. Nyatanya anak-anak bapak pun
tak bisa memberikan ruang kenyamanan hingga ia perlu berlari ke sosok lain.”
Darinya aku
belajar bahwa dalam hidup tidak ada yang 100 persen benar dan 100 persen salah.
Bahwa kesempurnaan hanya milik Allah dan manusia adalah gudangnya segala
khilaf. Jadi apa gunanya mencari-cari kesalahan orang lain, ketika kesalahan
diri sendiri saja menumpuk begitu banyak.
Berani Meminta Maaf
Suatu hari
saat aku pulang dari sebuah acara parenting, aku bercerita pada ibu tentang apa
yang aku dapatkan pada hari itu. Ibu mendengarkan dengan seksama. Lalu
tiba-tiba ibu air matanya berderai, “maafkan ibu ya nduk, ibu banyak salah sama
kamu. Dulu nggak ada parenting-parentingan. Maafkan bapak juga. Kami nggak tahu
kalau imbasnya bisa sedemikian dahsyat untuk jiwamu.”
Aku malah
jadi salting sendiri melihat ibu menangis, lalu aku godain biar suasana kembali
cair. Namun satu yang aku garis bawahi dari pengalaman itu, bahwa meski posisi
kita sebagai orang tua, tidak menutup kemungkinan kita berbuat salah dan dzalim
pada anak-anak kita. Sudah sepantasnya kita pun harus berani meminta maaf
kepada anak-anak kita. Jangan hanya karena kita orangtua, lantas kita merasa
semua perilaku kita harus selalu dibenarkan. Dengan berani meminta maaf, justru
anak-anak akan respect kepada orangtua. Saat itu juga sang anak belajar inilah
cara memanusiakan manusia, juga memahami arti sebuah keadilan. Siapa pun yang
salah, tak kenal tua ataupun muda, harus berani meminta maaf.
Buktikan dengan Tindakan
Kadang aku
suka heran sama orangtua yang katanya kangen sama anaknya, tapi malah
ngomongnya sama orang lain. Ibu nggak seperti itu. Ketika tahun 2003 aku mulai
kuliah di Semarang, dilanjut tahun 2008 menikah dengan orang Semarang, yang
artinya tinggal beda kota dengan beliau, ibu tak pernah sungkan untuk
meneleponku lebih dahulu untuk bertanya kabar dan menanyakan segala hal. Ibu
tak pernah menungguku datang atau telepon duluan. Kalau beliau merasa rindu,
beliau lebih memilih menelepon dan langsung bertanya kenapa aku lama nggak
pulang, kenapa aku lama nggak mengirim kabar. Nggak ada di kamus ibu, yang muda
yang kudu ngerti, Darinya aku belajar, jadi
orangtua itu harus jujur, jika cinta dan sayang ke anak ya buktikan dengan
tindakan. Tidak perlu menunggu anak
menjadi baik, tapi selalu doakan anakmu agar senantiasa menjadi baik dan dinaungi
kebaikan.
Aah, cerita
tentang ibu memang tidak pernah ada habisnya. Bahkan meski sudah berkali-kali
menulis tentang beliau, masih ada banyak hal yang ingin diceritakan. Oya,
bertepatan dengan setahunnya kepergian ibu, buku antologiku bersama 61 penulis
wanita lainnya yang berjudul “Dear Ayah Bunda, Suksesku Ada di Ridhamu” juga
terbit. Senangnya… bisa pas terbitnya, seakan sebuah pengingat. Di buku itu ada
tulisan yang juga kupersembahkan untuk ibu. Ada yang mau baca tulisanku di buku
tersebut? Grab the book fast because the
stock is very limited now! Hehe, maaf ye.. ada iklan terselubung….
Selamat hari
ibu untuk semua wanita Indonesia… keep
fighting, keep inspiring! You’re always wonderful whatever you are, moms…
Wassalammualaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
Al fatihah untuk almarhumah ibunya mbak ririt, InsyaAllah kelak akan bertemu lagi di surga Allah, Aamiin
ReplyDeleteAl fatihah u almarhumah ibu yaa mba. Smoga mendapatkan tempat terbaik di sisiNya
ReplyDeleteMasyaallah, ibu yg istimewa.
ReplyDeleteBeda jauh dg saya :(
Lahul faatihah ilarruhi ibuknya mba ririt yaaa... insyaallah ibu khusnul khotimah. Digugurkan segala dosanya karena sakit yg dideritanya juga keikhlasan hatinya menjalani takdir.. aamiin
ReplyDeleteDuuh...terharuuu... Alhamdulillah kita punya ibu2 hebat.. InsyaAllah surga bagi almh ibu mb Marita..
ReplyDeletetulisan keren mbak...
ReplyDeletealfaatihah utk IBUk yaa
Masyaallah ibumu mbak semoga khusnul khatimah ya
ReplyDeleteSemoga ibu khusnul khotimah ya mbak... Aku nangis bacanya. Sungguh, sosok ibu memang sangat luarbiasa
ReplyDelete