Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Hai, pals. Minggu begini enaknya kumpul sama keluarga ya? Kalau aku sih minggu jatahnya nyuci setumpuk baju, hehe. Tapi sebelum berkawan dengan ember dan pritilannya, aku mau menyapa teman-teman dulu ah di sini.
Beberapa waktu lalu aku berkunjung ke Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) Semarang. Ngapain? Ada yang sakit? Santai, pals. Semua sehat terkendali kok. Aku ke RSND buat periksa mata rutin, makai jatah dua tahunan dari BPJS untuk ganti kacamata. Pasti pada tanya ya, tumben ke RSND, biasanya ke Rumah Sakit Wongso Negoro (RSWN) yang lebih dekat rumah.
Pengennya juga gitu, tapi sekarang sistem BPJS sudah berubah. Jadi setelah dapat rujukan dari faskes 1, pasien nggak bisa asal milih mau ke rumah sakit mana. Pasien akan diarahkan ke rumah sakit tipe C atau D dulu. Nah, RSWN masuknya tipe B, jadi nggak mungkin milih ke sana. Akhirnya setelah berdiskusi dengan suami, kami pun memilih RSND sebagai tempat rujukan. Kenapa?
Satu, karena kami belum pernah berobat ke sana. Kepo dalamnya dan pelayannya kaya gimana.
Dua, pilihan tipe C lainnya ada RS Roemani, RS Panti Wiloso, RS Banyumanik. Selain RSND, kami mempertimbangkan RS Roemani. Tapiii menurut info yang suami dapat, Roemani ramaiii sekali. Akhirnya pilih RSND aja deh, yang paling deket dari rumah dan sekalian nganter Ifa sekolah.
Dan akhirnya hari Senin, 22 Oktober 2018, aku dan suami pun cuzz ke RSND. Dari dulu setiap kali jalan-jalan ke daerah sini dan lihat RSND, selalu pengen masuk, soalnya desain bangunannya bagus sih. Penasaran gitu.
Awalnya bingung pendaftaran rawat jalan di sebelah mana, karena gedungnya luas banget. Setelah bertanya ke satpam, akhirnya ketemu deh sama lokasi rawat jalan. Di depan pintu gedung rawat jalan sudah disambut oleh satpam lainnya, ditanya mau periksa apa; BPJS atau umum. Setelah itu dikasih nomor antrian yang keluar dari semacam mesin ATM gitu. Suami dapat nomor 138 dan aku dapat nomor 139, kami masih harus menunggu kurang lebih 60 nomor lagi sebelum dilayani.
Lumayaaan… kurang lebih satu jam kita nunggu, akhirnya dipanggil juga. Karena baru pertama kali datang ke RSND, maka ada formulir yang diisi. Kami juga harus menunjukkan KTP atau SIM untuk validasi identitas. Setelah menunggu beberapa saat, dapat kartu berobat dan antrian menuju poliklinik mata yang terletak di lantai dua.
Kali ini aku dapat antrian ke sebelas, dan suami ke sepuluh. Tertera aku akan dapat dokter yang semarga denganku, dr. Riski Prihatningtyas, Sp. M, namun pada kenyataannya aku ketemu dokter pengganti sih, entah koas atau bukan.
Aku menunggu agak lama juga di poli mata. Lumayan capek nungguinnya, karena Affan yang tadinya tertidur udah bangun dan mulai nggak bisa diam. Akhirnya aku dan suami gantian mengejar Affan yang pengennya keliling ruangan. Dari naik turun tangga sampai jalan-jalan ke ruangan poli lainnya. Aku juga penasaran sih kenapa priksa mata aja lama banget, pengalamanku dulu kalau periksa mata nggak sampai lima belas menit.
Akhirnya setelah menunggu hampir satu jam, namaku dipanggil juga. Saat itu suami sudah di dalam ruangan sedang berkonsultasi dengan dokter. Aku takjub dengan ruangan poli yang bersih dan luas. Alat pemeriksanya pun aku lihat cukup komplet. Sayang aku nggak boleh mengabadikan ruangan, karena sekarang ada peraturan nggak boleh mengambil gambar di rumah sakit, khususnya di bagian pelayanan. Jadilah aku hanya bisa menceritakan saja lewat kata-kata ya, pals.
Saat masuk ke ruangan, aku disambut oleh perawat dan ditanyai keluhan yang kurasakan. Aku juga ditanya berapa minus terakhir. Setelah itu seperti biasa, mataku akan dicek dengan cara yang sudah sangat kuhafal sejak kelas satu SD. Yoi, pals.. aku mulai pakai kaca mata sejak kelas satu SD, jadi kaca mata udah seperti soulmate buatku, hehe. Aku diminta membaca huruf-huruf yang menempel di sebuah alat di dinding yang berjarak beberapa meter. Kalau dari info yang aku dapat sih, jarak yang dianjurkan sekitar enam meter, tapi aku nggak bisa ngira-ngira juga kemarin jaraknya berapa.. tapi cukup jauh lah.
paling malas suruh baca ginian, hahaha |
Awalnya aku diuji baca menggunakan kaca mata yang aku gunakan, ketika ukuran huruf mulai mengecil, aku mulai kesusahan baca. Udah feeling sih bakal naik minusnya, setelah bertahun-tahun stay di angka delapan, hihi. Setelah itu, aku dipersilakan oleh perawat memakai phoropter, kaca mata khusus untuk menguji kekuatan mata. Di sini lensanya bisa diganti-ganti, disesuaikan hingga mendapat ukuran kaca mata yang tepat. Proses ini disebut dengan refraksi.
Dimulai dari mata sebelah kanan dulu, sementara sisi kiri ditutupi. Seperti saat tadi membaca dengan kaca mataku sendiri, aku juga diminta membaca huruf-huruf yang lampunya menyala pada papan snellen. Setelah dapat ukuran yang pas dan nyaman, beralih ke mata sebelah kiri. Cara yang sama dilakukan seperti saat mengetes mata kanan. Lalu dua mata dibuka bersamaan, dicek apakah sudah nyaman. Terkadang meskipun ukuran kanan - kiri sudah oke saat ditutup sebelahnya, ketika dua mata dibuka dua-duanya, belum tentu ukuran yang tadinya dirasa oke akan tetap terasa nyaman. Saat itu aku merasa terlalu berat dengan ukuran saat dua mata dibuka bersamaan, aku minta diturunkan baru merasa pas.
ini lo yang dinamakan dengan phoropter |
Setelah melakukan refraksi manual, aku diajak ke mesin auto refractor. Biasanya kalau di beberapa optik, refraksi manual sudah tidak dilakukan tapi langsung pakai auto refractor ini. Ini sebuah mesin otomatis untuk menentukan ukuran kaca mata. Aku seneng kalau disuruh tes pakai ini karena nggak perlu baca ini itu, hehe. Tapi ternyata untuk keakuratan, prosedurnya memang harusnya refraksi manual baru dilengkapi dengan auto refraksi.
Perawat memintaku untuk meletakkan daguku di tempat yang disediakan, lalu aku diminta menatap ke arah layar, ada gambar kecil di dalam alatnya. Aku lupa gambarnya apaan, kayanya rumah deh. Si alat otomatis akan mengecek mata dan ngasih ukuran yang pas untuk ‘penyakit mata’ku ini. Dalam hitungan detik, gambar yang tadinya nggak jelas sama sekali, terlihat sangat jelas. Dan taraaa.. dari hasil refraksi manual dan auto refraksi, minusku naik jadi 8.50 dan 8.75, plus silindris 0.5. Duh.. akhirnya kena silinder juga.
alat autorefractor kaya gini |
Sebelum berkonsultasi ke dokter dan dibuatkan resep untuk dibawa ke optik yang berkerjasama dengan BPJS, aku diminta kembali menggunakan phoropter dan berjalan-jalan di dalam ruangan. Perawat bertanya apa aku merasa nyaman, lantainya bergelombang atau tidak, pusing atau tidak. Kenapa ditanya seperti itu? Untuk memastikan kalau ukuran kacamata yang didapat dari hasil pemeriksaan sudah tepat.
Aku merasa udah oke dengan ukuran kacamatanya, saatnya berkonsultasi ke dokter. Aku lupa bertanya siapa nama dokternya. Yang pasti dokternya cowok, ramah dan enak diajak konsultasi. Aku banyak bertanya ini itu pada beliau. Dokternya terhenyak waktu lihat hasil pemeriksaanku, “waduh tinggi banget bu.” Aku cuma nyengir sambil ngeles, “aah teman saya ada yang minus 12, dok. Saya belum ada 9.” Dokternya terbahak deh.
Lalu aku ditanya sejak kapan pakai kacamata, apa orangtua ada yang pakai kacamata, penglihatan jelas nggak saat pakai kacamata atau ada bintik-bintik hitam yang membuat pandangan buram. Pertanyaan terakhir ini sepertinya untuk mengecek apakah kornea atau retinaku masih berfungsi dengan baik. Karena biasanya orang dengan minus tinggi, retinanya akan menipis. Proses pemeriksaan mata ditutup dengan pengecekan menggunakan aberrometers. Ini pertama kalinya aku dicek pakai alat beginian. Hasil baca-baca setelah periksa, alat ini biasa dipakai buat persiapan yang mau lasik gitu. Alat ini untuk memeriksa kesehatan bagian mata secara keseluruhan dan mana yang bisa dikoreksi.
langkah terakhir, dicek pakai aberrometers |
Pesan dokter kala itu, “anaknya sudah dua kan? Ya kalau bisa ndak usah nambah lagi, terlalu resiko untuk matanya.” Aku cuma senyum sambil mbatin, kalau dikasih Allah satu kali hamil lagi ndak papa lah, kan lahirannya paling juga sesar lagi, hahahaha. Lagian masa rezeki ditolak. :D.
Baca juga: Rumah Sakit Ramah Anak di Semarang
Dokter juga memberi pesan ke anak-anakku yang kemungkinan besar akan menuruni bakat minus dan silinder dari kedua orangtuanya. Untuk mencegah mereka pakai kacamata, anak-anak dilarang terpapar layar terlalu sering. Biarkan saja banyak-banyak beraktivitas di luar rumah.
Dokter juga memberi pesan pamungkas kepadaku, “jangan angkat barang yang berat-berat, ya kalau gendong anak nggak papa. Terus per tiga puluh menit di depan layar, segera buang pandangan dari layar, kalau bisa lihat yang hijau-hijau biar matanya istirahat sejenak. Nggak perlu lama-lama, cukup 5-10 menit.”
Alhamdulillah akhirnya rangkaian pemeriksaan mata di RSND selesai sudah. Menurutku, pelayanannya bagus dan lengkap. Dokternya juga memberikan konsultasi dengan baik dan menjawab pertanyaan pasien dengan lengkap dan sabar. Aku kasih nilai 8.5 deh buat poli matanya RSND. Buat teman-teman yang tinggal di wilayah Tembalang dan mau periksa mata di mana, RSND bisa jadi opsi yang oke.
Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND)
Jl. Prof. Soedarto, SH Tembalang, Semarang
Customer Service: 024-76928020
IGD: 024-76928022
Poli Rawat jalan: 024-76928025
Fax: 024-76928021
Oya, yang mau periksa mata pakai BPJS, alurnya begini ya pals:
1. Minta rujukan dulu ke faskes 1 (dokter keluarga/ puskesmas)
2. Bawa rujukan ke RS tipe C/ D yang ditawarkan. Pilih yang paling dekat or nyaman buat kalian.
3. Lakukan pendaftaran di RS yang dipilih, ikuti alurnya.
4. Setelah pemeriksaan mata selesai, bawa resep kacamata ke optik yang bekerjasama dengan BPJS. Buat yang tinggal di wilayah Ketileng dan Klipang, bisa ke optik Sadar di Jalan Ketileng Raya or sekarang disebut dengan Jalan Fatmawati. Aku udah tiga kali beli kaca mata di situ dan karyawannya baik, serta melayani dengan paripurna. Sabar memahami keinginan pelanggan, hehe.
5. Tunggu beberapa hari hingga kacamata jadi. Serahkan rujukan balik ke faskes 1 untuk kelengkapan administrasi.
6. Beli kacamata pakai BPJS ditanggung setiap dua tahun sekali, harganya tergantung kelas BPJS yang kita miliki. Aku karena pakai BPJS kelas dua, hanya ditanggung Rp 200.000. Kalau mau beli kacamata yang lebih tinggi dari itu, ya kudu nambah sendiri ya pals.
Selamat mencoba dan salam sehat selalu.
Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Note:
jika dalam penulisan dan penyebutan nama alat dalam proses refraksi ada yang salah, mohon maaf sebesar-besarnya ya :)
Bener suamimu, Roemani tuh ramai banget. Tapi aku udah daftarkan suamiku secara online. Nggak lama juga nunggunya
ReplyDeleteAssalamu'alaikum mb Marita...
ReplyDelete4 hr yg lalu (28 Feb'20) sy periksa mata di Faskes 1(Puskesmas ). Akan tetapi rujukannya bukan ke RS, tp langsung ke optik terdekat untuk cek matanya. Disini sy di beri kacamata yg tidak sesuai dengan penyakit mata sy. Sy kena silinder tp di kasih kcmt plus. Sampai saat ini kaca mata tsb belum sy ambil, dan sampai detik ini juga sy tidak di hubungi oleh optik tsb . Percuma juga diambil klo tak ada gunanya.
Iya betul kak.. di tahun 2020 - 2021 dari faskes 1 langsung dirujuk ke optik. Namun tahun 2024 ini kebijakan berubah lagi, dari faskes 1 naik ke faskes 2 dulu, baru dapat resep kacamata untuk dibeli di optik.
Delete