header marita’s palace

Mengenali Gaya Belajar Sekaligus Menemukan Bahasa Cinta



Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Bulan keempat menjadi fasilitator Bunda Sayang, rasanya nano-nano. Berbeda ketika menjadi fasilitator matrikulasi yang layaknya lari sprint, Bunda Sayang itu bagaikan pertandingan marathon. Lintasannya panjang. Jika kita tak mampu mengelola kecepatan, mood dan teknik berlari, bisa jadi di awal begitu semangat, namun kehabisan tenaga di tengah jalan… sampai akhir atau tidak? Belum tentu.

Begitulah Bunda Sayang.. ada yang di awal begitu berapi-api, namun saking semangatnya justru nglokro di tengah jalan. Ada pula yang di awal terlihat tidak semangat, justru dengan bertambahnya level semangatnya semakin meningkat dan ketemu ritmenya. Namun ada juga yang sudah sejak awalan ‘kurang panas’, di tengah perjalanan pun semangatnya semakin melemah. Menjaga konsistensi, bukan hal yang mudah. Bukan hanya untuk para mahasiswi, hal yang sama pun berlaku untuk fasilitatornya.

Sampai level keempat pun aku masih bongkar pasang bagaimana teknik yang pas untuk mendampingi teman-teman Bunsay Jateng batch #5, padahal kebersamaan kami tinggal dua level lagi nih. Setelah satu semester, fasilitator akan di-rolling di kelas yang baru… tentunya agar mendapat suasana dan tantangan baru.

Level keempat bertema mengenali gaya belajar anak. Mengamati postingan-postingan teman-teman di level ini, meski harus diakui lagi-lagi ada kemunduran peraih badge, bahkan ada yang terpaksa di-remove karena tidak setor tantangan tiga level berturut-turut, aku melihat ada banyak peningkatan. Tidak hanya dalam kualitas penulisan narasi, namun juga bagaimana mereka mengolah narasi tersebut menjadi postingan yang bermanfaat bagi para pembacanya. 

Yang tadinya setor di instagram dengan feed biasa-biasa saja, kini feednya semakin rapi dan enak dilihat. Yang tadinya ditulis lewat google dokumen dan nggak punya blog, kini jadi punya blog. Yang tadinya sudah punya blog, blognya semakin cantik dan tulisannya tambah mengalir. Membaca postingan teman-teman membuatku bersyukur. Artinya mereka memiliki niat untuk meningkatkan kualitas diri. Lebih dari itu, aku pun ikut belajar dari postingan-postingan mereka. Sebagai emak yang seringkali kehabisan ide kegiatan untuk anak, di level ini aku jadi panen banyak ide dari para mahasiswi Bunsay Jateng. Semua guru, semua murid. Indahnya berada di komunitas ini.

Menemukan Bahasa Cinta yang Berbeda-beda


Membersamai teman-teman Bunsay Jateng batch #5 dalam mengenali gaya belajar putra-putri mereka, secara nggak langsung aku pun mulai mengenali gaya belajar teman-teman. Bonusnya, aku bisa menemukan bahasa cinta yang berbeda-beda. Ada yang tipenya nggak banyak tanya, tapi setoran jalan terus. Ada yang aktif bertanya, berbagi sekaligus lancar setorannya. Ada yang diam, didekati pun tiada suara, setoran jalan di tempat. Macam-macam rupa. Di situlah seni berkomunikasi dengan setiap karakter harus dimiliki oleh seorang fasilitator.

Ada yang senang dengan diskusi ramai, menampung semua sudut pandang dari teman-teman sekelas. Ada yang pengennya langsung jawaban dari fasilnya. Ada yang hanya dengan melihat semangatnya teman-teman di kelas bisa langsung ikut ‘teracuni’, ada yang harus dijapri lebih dahulu, ditanyai hati ke hati. Rasa-rasanya semakin menantang saja setiap harinya. Tentu PR besar untuk diriku adalah mengelola mood agar selalu stabil dan bisa memahami segala sudut pandang yang ada di kelas dengan beragam karakter.

Sama halnya seperti saat menjadi fasilitator Bunsay, saat bersama anak-anak dalam proses mengenali gaya belajar mereka, secara nggak langsung kita pun bisa menemukan bahasa-bahasa cinta mereka. Mengenai gaya belajar anak, aku sendiri berpegang pada mantra Ibu Profesional yang selalu disampaikan oleh Pak Dodik dan Bu Septi… banyaklah bermain, banyaklah berkegiatan bersama anak dan banyak-banyaklah ngobrol dengan mereka. Semakin sering intensitas kebersamaan dengan anak ditingkatkan, semakin berkualitas kebersamaan tersebut, maka perlahan insya Allah kita akan mengenali gaya belajarnya. Lebih dari itu bonding dengan anak pun akan semakin kuat. Kita jadi semakin tahu bagaimana anak ingin diperlakukan.

Mutiara-mutiara Bunsay Jateng Batch #5


18 hari memantau teman-teman, aku mulai menemukan kembali mutiara-mutiara terpendam. Jika tiga level sebelumnya banyak didominasi oleh nama-nama yang sama, di level 4 ini, mulai bermunculan sosok-sosok baru. Beberapa di antaranya aku pilih sebagai mahasiswi apresiatif dan teladan.



Pertama, ada mbak Agustina Dwi Rahmawati. 

Takjub dengan setoran 10 harinya yang inspiratif. Banyak teman-teman sekelas yang juga merekomendasikan namanya sebagai penyetor T10 hari terinspiratif. Tidak hanya ide-ide kegiatannya, namun feed instagramnya pun asyik dipandang mata.

Kedua, ada mbak Eka Rahmawati. 

Meski pernah curhat belum sanggup setor lebih dari 10 hari, namun konsistensi mbak Eka dalam menyetorkan tantangan tanpa rapel di setiap levelnya, aku rasa perlu diapresiasi. Terlebih lagi, dari laporan ketua PG-nya, mbak Eka ini termasuk mahasiswi yang paling rajin setor postingan di awal hari.

Ketiga, ada mbak Gustin Mahmudah. 

Narasi yang dibuat mbak Gustin tidak hanya berupa gambar, namun juga dilengkapi dengan video. Uniknya video-video di instagramnya ditata sedemikian rupa sehingga tidak hanya memberikan manfaat bagi para pembaca, namun juga enak dipandang.

Keempat, ada mbak Fahma Nurdiana. 

Jika teman-teman fasil lainnya mungkin memilih mahasiswi teladan karena bisa konsisten OP atau YE di setiap level. Aku sedikit berbeda dalam hal ini. Mbak Fahma ini di dua level awal sempat tidak setor tantangan sama sekali. Aku ketar-ketir dan was-was. Takut jangan-jangan ada salah-salah kata yang kuucapkan padanya, hingga dia nggak nyaman di kelas Bunsay. Namun alhamdulillah mulai level 3, mbak Fahma menunjukkan ‘taringnya.’

Di level keempat ini, aku lihat mbak Fahma juga mulai semakin semangat dan menikmati proses Bunsay. Aku memilihnya sebagai mahasiswi teladan agar teman-teman yang saat ini masih ‘pingsan’ atau ‘tertidur’ bisa belajar dari mbak Fahma. Tidak mengapa kendor di awal, namun ada baiknya untuk segera bangun dan mengejar ketertinggalan. Sang juara belum tentu yang sudah ngegas sejak di awal, bisa jadi yang pelan-pelan namun mampu menjaga semangatnya hingga akhir.

Dari pengalaman di level ini, aku mulai menarik kesimpulan bahwa seringnya ketika mengawal sebuah kelas dan beberapa nama yang aktif bermunculan.. akhirnya hanya nama-nama tersebut yang diingat dan terekam. Nama-nama lainnya seringkali tak sengaja terpinggirkan. Namun kini aku sadar, aku harus all out mengecek enam puluhan nama yang ada di kelas. Bisa saja yang selama ini ‘tidak terlihat’, justru membawa inspirasi baru.

Sementara untuk mahasiswi aktif di level ini, memang bukan nama baru. Nama mbak Hijriyani Saraswati sudah malang-melintang di tiga level sebelumnya. Kali ini mbak Saras terpilih sebagai mahasiswi aktif menggantikan mbak Nine yang sudah dua level berturut-turut ada di posisi ini karena memang sepengamatanku di level ini mbak Saras aktif berbagi ilmu dan pengetahuan yang beliau dapatkan di pelatihan-pelatihan yang pernah diikutinya.

Satu hal yang aku juga ikut belajar dari teman lamaku ini, sosoknya yang semakin rendah hati dan tulisan-tulisannya yang semakin adem serta membuat para pembaca selalu ingat Allah lagi, Allah terus dan hanya Allah. Semoga istiqomah ya mbak Saras.

Penyetor aliran rasa inspiratif belum bergeser dari nama mbak Annisa Dian dan dik Widi Utami. Tidak bisa dipungkiri dua nama ini memang kualitas tulisannya sangat mumpuni. Jadi ya, maaf kalau belum bisa pindah ke lain hati. Namun ada satu nama baru yaitu mbak Wiwit Sujalmini. Mbak Wiwit mengalirkan rasanya dengan lengkap dalam membersamai keluarga di level 4 ini. Beliau ceritakan kendala-kendala yang dihadapinya dalam menjalani level ini, hingga akhirnya bisa menemukan sebuah insight bahwa menemukan gaya belajar anak adalah proses panjang, bukan hal instan yang bisa dinikmati dengan segera.

Para penyetor inspiratif ini berhasil membuatku menemukan quote-quote yang sepertinya sayang kalau tidak didokumentasikan.

Menuju Dua Level Terakhir bersama Bunsay Jateng Batch #5


Tinggal dua level lagi kebersamaanku dengan teman-teman Bunsay Jateng, aku ingin di dua level terakhir ini bisa semakin maksimal dalam menemani mereka berproses. Ada beberapa hal yang akan kupraktekkan mulai level lima, semoga saja usahaku ini bisa meningkatkan semangat teman-teman dalam menyetor T10 hari.

1. Berbagi Inspirasi Setiap Hari


Sebenarnya ini bukan ideku, namun ide mbak Saras yang dikemukakan di grup perangkat kelas. Melihat semangat teman-teman yang bagaikan rollercoaster, mbak Saras memberikan saran bagaimana kalau setiap hari secara bergantian perangkat kelas membagikan inspirasi yang didapatnya entah dari hasil membaca buku atau apapun, yang sekiranya bisa membangkitkan semangat teman-teman setiap hari.

Kupikir ini ide yang sangat bagus, jadi aku terima saran dari mbak Saras dan langsung kueksekusi di hari pertama level 5.

2. Memilih Setoran Ter-Aha Setiap Hari


Selama ini aku hanya sekilas membaca setoran T10 hari setiap harinya, tidak terlalu intens membaca dan seringkali hanya sekedar mengecek berapa orang yang sudah setor. Namun di level 5, aku ingin lebih fokus membaca setiap setoran T10 hari yang sudah masuk setiap harinya. Untuk memudahkan menemukan postingan tersebut, selain mengecek dari real time response, teman-teman yang membagikan T10 harinya lewat media sosial, mulai level 5 kuminta untuk tagging akunku sekalian. Sebagai pengguna medsos yang aktif, sepertinya cara ini akan lebih ampuh, karena kadang aku kelupaan membuka real time response.

3. Memberikan Review Setoran yang Sudah Masuk


Selain lebih intens dan khusyuk membaca setiap postingan yang masuk, aku ingin meluangkan waktu untuk memberikan review setoran. Entah dari cara penulisan, keunikan gambar atau membagikan ide inspiratif yang dimiliki para mahasiswi. Karena seringnya para mahasiswi kan hanya membaca postingan teman se-PG nya, dengan mereview beberapa postingan ter-aha lintas PG, siapa tahu bisa memberikan suntikan semangat untuk teman-teman yang masih ‘pingsan.’

Menjadi fasilitator sejatinya adalah berusaha menjadi teman belajar yang nyaman, bisa dipercaya dan mau masuk ke dalam lingkaran mereka.

Jadi ingat wejangan Ki Hajar Dewantara, ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Buatku begitulah seorang fasil seharusnya. Harus bisa menempatkan posisi di manapun, menjadi contoh saat berada di depan, memberi semangat saat berada di tengah dan memberikan dorongan saat beradi di belakang.

Semoga bisa tetap amanah hingga di akhir level. Bismillah… semangaaat!

Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

3 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Wah selamat nih ya Mbak buat para mahasiswi yang terpilih di atas hehe

    ReplyDelete
  2. Dengan menjadi fasilisator ini juga bisa menambah wawasan dan ilmu ya Mbak

    ReplyDelete
  3. Setelah membaca ulasan tentang pemenangnya. Setuju banget deh sama yang terpilih

    ReplyDelete