header marita’s palace

Dian Ekaningrum dalam Semesta Nayanika; Jalinan Unik antara Konseling dan Literasi



Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Aku lupa-lupa ingat kapan pertama kali tepatnya berkenalan dengan mbakyuku yang manis ini. Kalau nggak salah sih sejak akhir 2017, waktu aku masih diamanahi menjadi penanggungjawab Rumbel Literasi Media. Kakandaku satu ini termasuk yang nggak pernah bolos saat kelas blogging offline. Yang pasti dulu kupikir doi itu usianya jauh di bawahku, wkwk. Setelah kenal lumayan dekat, barulah aku sadar ada dua kemungkinan yang terjadi; wajahku yang boros atau doi yang terlalu imut, hehe.

Antara Aku dan Mbak Dee


Dipertemukan lewat Ibu Profesional Semarang, siapa menyangka ada banyak hal yang nyambung di antara kami. Sampai kami pikir mungkin kami ini saudara kembar yang tertukar, wkwk. Kalau sudah ketemu dengan mbak Dian Ekaningrum, rasa-rasanya ngobrol 24 jam pun kurang. Pada akhirnya yang membuat kami menutup pertemuan adalah ingat kalau di rumah ada suami yang harus diurusin.

Zaman masih aktif ngajar, aku paling senang kalau dikasih kelas anak-anak remaja. Ada banyak yang bisa kugali tentang mereka. Rasanya nyambung dan fun kalau ngajar anak-anak usia SMP - SMA. Eh, ternyata mbak Dee konselor anak-anak remaja. Setelah ekarang kami sama-sama bergabung dalam tim kampanye anti bullying KLIK, tambahlah seru kalau ngobrolin dunia anak remaja.
 
 


Apalagi begitu ngobrolnya nyerempet-nyerempet soal fatherless, bisa panjang dan lupa pulang beneran deh! Sebagai salah satu korban fatherless, ngobrol sama mbak Dee berasa lagi sesi konseling gratis, wkwk. Aku anak sastra yang pengen kuliah lagi ambil psikologi dan mbak Dee anak psikologi yang pengen kuliah lagi ambil sastra… pie jal? Bahkan hal-hal seremeh ngecengin Ji Sung dalam Doctor John aja kami bisa sehati, wkwk.

Aku penyuka prosa liris, namun sudah lama gagal membuat prosa liris yang enak dibaca gara-gara terlalu lama berkubang dalam dunia non fiksi. Tulisan-tulisan mbak Dee, begitu aku suka memanggilnya, selalu berhasil membuatku jatuh cinta. Pilihan kata dan bagaimana ia meramunya sungguh membuatku kepayang.

Sejak tahu ia juga suka bermain-main dengan aksara, aku selalu mengajaknya ikut beberapa proyek menulis. Lucunya, aku yang ngajak, aku pula yang seringnya gagal dan Mbak Dee yang bisa kelar sampai finish, hehe. Termasuk juga #ODOPBatch7 ini. Di ujung pekan ke tujuh, aku sempat ngobrol dengannya lewat whatsapp kalau sepertinya aku angkat bendera putih untuk menyelesaikan ODOP. Alhamdulillah karena dukungannya, aku nggak jadi angkat bendera putih, meski sekarang masih belum punya bayangan untuk mengerjakan tantangan cerita bersambung.

Mengapa Semesta Nayanika?


Aku pula yang mengomporinya untuk memprofesionalkan blognya. Alhamdulillah sepertinya sudah hampir setahun semestanayanika.com menjadi rumah mayanya. Sejak awal mendengar nama Semesta Nayanika, aku langsung jatuh cinta. Padahal biasanya aku selalu menyarankan teman-teman yang mau membeli domain untuk memakai namanya sebagai branding.

Namun mbak Dee dan Semesta Nayanika itu seperti magis. Unik dan eksotis. Mereka sudah saling terhubung dan tak boleh dipisahkan. Sebuah nama yang nggak mungkin dipikirkan hanya sehari, dua hari. Apalagi dengan karakter mbak Dee yang seorang pemikir, aku yakin ada filosofi di balik nama tersebut. 
 
 
yang ngeditin templatenya aku lo, hehe...

Saking ingin tahunya, aku tanya dong biar nggak penasaran. Dan seperti dugaanku, perjalanan cerita menemukan Semesta Nayanika cukup panjang dan prosesnya nggak sebentar. Kata Mbak Dee, dirinya secara pribadi selalu ingin menimbang apapun baik rasa maupun logika. Tambahnya, dia memang termasuk tipe orang yang ribet, jadi harap maklum. Ya, mbak… aku maklumin kok, hehe.

Mbak Dee melanjutkan ceritanya soal Semesta Nayanika, bermula dari sebuah titik kalau ditanya harus memilih antara disebut sebagai penulis atau pencerita? Mbak Dee berkata ia lebih memilih sebagai pencerita, a storyteller! Tidak ada detail alasan khusus yang disampaikan olehnya. Menurutnya semua itu semata karena memang Mbak Dee lebih suka menceritakan segala sesuatu yang terjadi di sekeliling dalam rangka agar bisa bersama-sama mengambil hikmah atau amanat ceritanya.

Kalau dipetakan lagi, ini adalah upaya saya mencoba menggambarkan segala cerita yang terjadi. Jika pelukis menggunakan cat warna-warni, maka saya melalui kata-kata. Jika pelukis menuangkannya lewat kanvas, maka saya menumpahkannya lewat kertas, blog, buku atau apapun yang mampu mengabadikan kisah itu.

Setuju kan kalau diksi yang dipilih Mbak Dee selalu indah dan menawan? Jangan terpesona dulu sebelum teman-teman tahu arti Semesta Nayanika yang sesungguhnya.

Semesta Nayanika Swastamita, itu nama lengkap awalnya. Semesta artinya dunia, Nayanika artinya mata yang indah, dan swastamita artinya semburat sinar jingga saat senja.

Kalau dirangkum, nama itu memiliki harapan agar Mbak Dee mampu bercerita melalui tulisan-tulisan yang ditorehkannya tentang semesta dan segala isinya untuk bisa mengambil pelajarannya bersama-sama. Setiap orang punya kisah yang bisa diceritakan. Mungkin saja di luar sana, orang-orang yang membaca tulisannya bisa merasakan aliran rasa itu.

Mbak Dee menambahkan menurutnya sudah menjadi kebahagiaan tersendiri baginya ketika ada satu jiwa yang membaca tulisannya lalu tergugah bahkan terselamatkan karena cerita yang ia sampaikan. Yang ingin tahu lebih lengkapnya tentang di balik nama Semesta Nayanika, main deh ke postingan di blog Mbak Dee yang ini.

Dee Irum, Akar Remaja dan Literasi


Sama halnya dengan Semesta Nayanika yang penuh filosofi, Dee Irum pun punya sisi historisnya tersendiri. Baik Dee dan Irum, keduanya adalah nama panggilan mbak Dian. Namun bukan sembarang orang yang memanggil kedua nama tersebut. Hanya orang-orang dekat dan sahabat-sahabat terbaik Mbak Dian yang akan memanggilnya Dee. Hmm, aku manggil Dee juga lo, jadi aku sahabatnya nggak ya? Wkwk.

Demikian juga Irum, nama ini merupakan panggilan semasa SMA. Hanya segelintir orang yang memakai nama ini sebagai panggilan. Tapi mereka yang menyematkan nama ini adalah anak-anak "luar biasa" yang punya hobi keluar masuk ruang guru dan ruang bimbingan konseling (BK). Ah, ternyata sejak SMA mbak Dee sudah ditakdirkan untuk dekat-dekat dengan dunia konseling dan bala kurawanya.

Ngobrolin soal nama panggilan, jadi tahu kesamaan lainnya di antara kami nih. Aku pun punya nama panggilan yang hanya orang-orang terdekat dan keluarga besarku yang menggunakannya; Ririt. Saat masih di Salatiga, nama Marita malah tenggelam dan tidak terkenal. Yang memanggilku dengan nama Marita berarti hubungan kami hanya sebatas kenal dan say hi saja.

Baiklah, kembali ke ceritanya Mbak Dee. Seperti yang aku sampaikan di paragraf awal bahwa ngobrolin Mbak Dee nggak akan bisa lepas dari dunia remaja. Bahkan mbakyuku ini merupakan inisiator dari sebuah komunitas bernama Akar Remaja.

Komunitas remaja ini dibentuk bersama beberapa anak ideologisnya. Menurut mbak Dee, usia Akar Remaja masih seumur jagung, sehingga masih harus terus menyesuaikan langkah agar lebih bermanfaat dan bermakna lagi. Apalagi benturan waktu dan kesibukan para founder dan co-founder-nya yang masih sulit untuk diselaraskan. Anak-anak "Squad" Akar Remaja saat ini masih menjadi mahasiswa dan organisatoris aktif di kampus. 
 
alhamdulillah pernah sekali ikutan jadi narsumnya Akar Remaja, kapan-kapan mau dong diajak lagi


Akar Remaja terbentuk di saat Mbak Dee sudah merumahkan diri alias resign. Meski begitu, masih banyak sekali permintaan kelas bimbingan dan konseling dari para murid dan orang tua. Awalnya, sebelum membentuk Akar Remaja, Mbak Dee bergabung mengelola komunitas remaja dengan seorang teman yang sama-sama berlatarbelakang psikologi serta tertarik pada remaja dan segala fenomena permasalahannya.

Sayangnya komunitas tersebut tidak berjalan lama karena kesibukan mbak Dee dan rekannya. Akhirnya setelah beberapa bulan mendampingi anak remaja dari salah satu SMA swasta di Semarang, mereka memutuskan untuk mundur terlebih dulu dan berencana untuk bekerjasama kembali di kesempatan lainnya.

Setelah itu, mbak Dee memilih menjadi konselor freelance dan bergabung di komunitas lain. Sedangkan rekannya mendirikan consulting management psychology yang bersifat lebih umum. Menurut paparan Mbak Dee, sejak mundur dari komunitas remaja yang didirikan bersama temannya itu, mereka pernah bekerjasama di sebuah kesempatan.

Awal tahun 2018, mbak Dee dan anak-anak resmi mengadakan event Akar Remaja yang pertama kali sekaligus sebagai penanda didirikannya komunitas tersebut. Semenjak 1,5 tahun komunitas ini lahir, sudah ada 5 kali event yang cukup besar. Dua agenda terakhir yang baru saja berlalu; yang pertama, mengenalkan profesi bersama beberapa profesional dan yang kedua, EXPO Youth Community diselenggarakan oleh BEM UNDIP.

Menurutnya gerbong harapan masih sangat panjang untuk komunitas ini. Ke depannya mbak Dee ingin Akar Remaja lebih spesifik lagi dalam menangani sebuah kelompok tertentu sehingga lebih fokus mengentaskan permasalahan anak remaja tersebut. Tentunya mbak Dee dan anak-anak ideologisnya yang keren-keren itu masih terus belajar dan berusaha untuk mengamati, meniru dan memodifikasi beberapa komunitas sejenis yang sudah ada.

Selain dunia konseling, literasi adalah hal yang tak bisa lepas dari istri jurnalis senior, Ambar Winarso. Aku membayangkan keduanya kalau ngobrol pasti pakai diksi yang berat bin filosofis gitu. Duh duh, goal couple deh pokoknya.

Sesuai dengan mind mapping yang telah dibuat oleh Mbak Dee, tahun ini ada beberapa anak rohaninya yang diterbitkan. Sejak memutuskan untuk benar-benar belajar menekuni dunia literasi pada bulan Agustus lalu sampai hari ini, syukur alhamdulilah sudah ada 4 buku antologi yang lahir dari mengikuti proyek menulis buku. Satu judul lainnya sedang menunggu proses cetak.

Tak berbeda dengan penulis lainnya, harapan terbesarnya di dunia literasi adalah bisa memiliki karya solo. Cita-citanya yaitu ingin sekali mewujudkan impian mbak Dee dan dosennya semasa kuliah dulu, yaitu mengangkat tema skripsinya menjadi sebuah buku. Kata Mbak Dee ini cita-cita tersebut masih menjadi hutang selama belasan tahun lamanya. Hayoo, ada yang bisa menebak apa tema skripsi Mbak Dee yang pengen diangkatnya menjadi sebuah buku? Tadi di bagian depan sempat kusinggung lo. Yang bisa menebak, akan ada…… ucapan selamat dariku, hehe.

Di penghujung percakapan virtualku dengannya, aku menanyakan jika disuruh memilih antara menjadi konselor atau bergelut di dunia literasi, mana yang akan dipilih. Mbak Dee menjawab dengan tegas bahwa dia memilih keduanya. Menurutnya dua hal tersebut tidak harus dipisahkan. Apalagi sepengalamannya, ia sering menggunakan literasi sebagi obat untuk konselee-nya. Entah itu disuruh untuk menulis ekspresif sebagai penyembuhannya atau mbak Dee menyarankan pada konselee-nya untuk membaca buku tertentu. Termasuk buku atau tulisan hasil karya Mbak Dee sendiri kalau memang ceritanya sesuai dengan keadaan mereka. Sekali kayuh semua bisa terlampaui.

Pertanyaan penutup dariku adalah mengenai cita-cita dalam hidupnya yang belum tercapai hingga saat ini. Mbak Dee bilang salah satunya kemungkinan besar adalah traveling. Waktu kemarin kami jalan-jalan ke Desa Sumogawe, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, mbak Dee mengungkapkan bahwa salah satu impiannya bersama suami yaitu bisa lebih sering jalan-jalan berdua. 
 
 


Maklum, meskipun mereka berdua tinggal satu kota, namun sebuah hal yang sulit sekali untuk bisa merancang waktu bersama. Bisa dibilang, tugas suami sama beratnya dengan TNI. Bedanya, kalau TNI siap tempur angkat senjata, suami mbak Dee harus siap kapan saja untuk mengangkat kepala dan pena. Kok kepala?

Iya lah, menulis berita yang proporsional itu perlu akal sehat. - Sebuah quote dari Mas Ambar Winarso, sang belahan jiwanya Mbak Dee.

Rencananya di tahun 2020, Mbak Dee dan suami sudah punya beberapa lokasi yang diincar untuk direalisasikan. Semoga terlaksana acara plesiran dan ngebolang nya ya couple kesayanganku… hehe. Aamiin.

Selain jalan-jalan berdua bersama suami, ada satu lagi cita-cita lainnya. Sebagai sesama pecinta kopi, Mbak Dee dan Mas Ambar memiliki impian yang sama, yaitu menjadi bakul kopi. Namun mbak Dee mengungkapkan bahwa mereka masih bingung mau belajar dari mana. Karena niat awalnya menjadi bakul kopi agar bisa lebih bisa dekat dengan petani kopi. Tujuannya agar para petani kopi tersebut juga sama sejahtera dan bahagianya seperti orang-orang yang nongkrong di cafe-cafe kopi hits nan kekinian itu.

Kayanya cucok nih diajak berpartner, aku pun punya mimpi yang sama; punya kafe yang jualan kopi dengan konsep perpustakaan atau pusat baca. Yang mana di dalamnya ada satu ruangan bebas dipakai oleh komunitas parenting atau literasi manapun. Tuh kan lagi-lagi ada saja kecocokan antara aku dan Mbak Dee, masih nggak mau mengakui kalau kami sebenarnya saudara kembar beda bapak ibu? Hehehe.

Semoga bermanfaat ya ceritaku tentang mbakyuku nan baik hati dan tidak sombong ini. Buat yang punya masalah dengan anak remajanya, atau kalian anak-anak remaja yang sedang punya masalah dengan teman, orangtua atau kehidupan kalian, boleh lo colek-colek mbak konselor di:

Blog - www.semestanayanika.com
Instagram: @dee.irum
Facebook: Dian Ekaningrum

Sampai jumpa di lain kesempatan!

Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

2 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Aku tersipu-sipu membacanya hehehe....ambil bantal ah... tarik selimut eh lho... tengkyuuu kembaranku heheee...ingat tak ada yang manggil kita kembar pas trip kemarin wkwk...memang kita tak bisa menolak takdir, love you more than 3000😘😘😘

    ReplyDelete
  2. Menarik sekali ... ternyata memang banyak banget anggota odop yang juga member Ibu Profesional ...
    semoga harapan kepada beliau dikabulkan oleh Allah ...

    ReplyDelete