header marita’s palace

3 Hukuman yang Pantas untuk Para Pelaku Kejahatan Seksual


Akhir-akhir ini media sedang panas dengan pemberitaan beruntun mengenai kejahatan seksual. Bahkan baik korban dan pelaku tidak hanya orang dewasa yang sudah cukup umur, namun masih remaja-remaja belia. Lebih mengerikan lagi beberapa kasus malah melibatkan balita di dalamnya. Mungkin yang pernah mengikuti seminar bu Elly Risman telah sadar akan “bencana” ini karena data-data yang disampaikan saat seminar begitu akurat dan membuat kita melek betapa berbahayanya dunia kita sekarang ini.

Sayangnya masih sedikit orang tua yang menutup mata atas “bencana” ini. Nggak usah jauh-jauh ke kota-kota lain. Aku sendiri banyak melihat orang tua-orang tua yang membutakan diri terhadap kenyataan yang ada. Beberapa pihak sudah mencoba berbagi tentang bahayanya gadget, pergaulan yang semakin tak terkontrol, pornografi, namun masih saja banyak yang mengumbar anaknya pergi ke warnet dan game center seharian, tanpa dicari, tanpa diberi batasan. Masih banyak orang tua yang membiarkan anak balitanya keluar rumah hanya berpakaian dalam, bahkan telanjang dan mengganti baju di luar rumah. Masih begitu banyak orang tua yang memberikan gadget tercanggih pada anak-anaknya tanpa batasan, tanpa tahu di dalam laptop atau handphone anak-anaknya ada game seperti apa, aplikasi apa. Dan masih sangat banyak orang tua yang nyah-nyoh soal uang saku pada anak-anaknya, hingga mereka bebas membelanjakan uang sakunya untuk pergi ke warnet dan game center, tanpa diajari bagaimana mengatur uangnya tersebut.

Miris!

Hanya kata sederhana itu yang bisa menggambarkan apa yang di pikiranku. Dan kemudian ketika anak mulai semakin membangkang, mereka bilang, “aah anak-anak sekarang susah diatur!”

Mereka yang susah diatur, atau kita para orang tua yang malas mengaturnya? Malas bersusah-payah untuk menjadikan anak kita generasi emas. Tak ada sesuatu yang instan, parents. Semua pasti butuh proses. Kita pilih yang mana – anak menangis di saat kecilnya karena mereka belajar sesuatu atau anak menangis di saat dewasanya karena mereka tak sanggup bertahan dalam kerasnya hidup, sebab kita dulu begitu mudah mengabulkan dan memberikan apa yang mereka minta?

Ketika anak-anak kemudian menjadi “rusak”, lingkungan menjadi kambing hitam atas kerusakan mereka. Tanpa pernah sedikit pun orang tua mau bertanya pada diri sendiri, adakah kesalahanku dalam mendidik mereka hingga mereka menjadi seperti ini?


Getir saat aku membaca sebuah berita kasus kejahatan seksual yang salah satu pelakunya anak SMP. Orang tuanya berkata “kami tidak menyangka anak kami melakukan seperti itu, dia lulusan pesantren, dia rajin  beribadah…”

Kini semakin banyak orang tua yang tidak mengenali anak-anaknya. Mereka hanya mengenali anaknya secara luar, tapi semakin jarang orang tua yang mengenali anaknya secara dalam. Menyedihkan. Bahkan banyak orang tua yang tidak paham anaknya berteman dengan siapa, atau bahkan kapan pertama kali anak laki-lakinya mimpi basah!

Sebuah status dari Abah Ihsan Baihaqi, salah satu mentoring parenting di Indonesia, mungkin bisa menginspirasi;

Kita sadari, betapa mengkhawatirkannya jadi orangtua jaman sekarang. Pengaruh negatif internet, media sosial, kejahatan, kenakalan remaja, pornografi, budaya hedonis dan lainnya menjadikan sebagian orangtua bertanya: "apakah yakin anak kita bisa bertahan dengan kebaikan di tengah gempuran ini semua?"
Kita boleh khawatir, tapi saya mau kabar gembira, semua riset menunjukkan bahwa orangtua selalu memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan anak-anak mereka. Karena orangtua proaktif akan membangun karakter positif anaknya. Sehingga pengaruh positif orangtua akan lebih kuat daripada pengaruh negatif dari luar anak.
Terkesan teori, tapi tidak manakala kita mengetahui bahwa hampir semua orang jahat, semua remaja yang bermasalah yang menghebohkan berita hari ini, ternyata memiliki masalah yang buruk dengan orangtuanya di masa lalu. Saya sih tidak terkejut.

Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan jiwa anak. Dan seharusnya orang tua bisa menjadi pengaruh positif terkuat bagi anak-anaknya. Untuk bisa menjadi pengaruh terkuat bagi anak-anak, orang tua membutuhkan cukup ilmu dan harus menjadi sosok-sosok yang tidak pernah lelah belajar. Tantangan anak-anak kita berbeda dengan tantangan kita saat masih anak-anak dulu, maka sudah sepatutnya kita pun belajar menjadi orang tua yang lebih baik dari orang tua jaman dulu. Orang tua yang lebih baik dalam berkomunikasi dan memahami kebutuhan anak. Orang tua yang lebih paham ngajak ngomong anak bukan sekedar ngomongin (baca: nasehatin) anak.


Ngobrolin soal hubungan orang tua dan anak, tanggung jawab orang tua pada anak, aku merasakan sesak yang teramat sangat di dadaku. Sangat menyebalkan membaca berita yang kini banyak beredar, bagaimana pelaku-pelaku kejahatan seksual yang masih di bawah umur diberikan keringanan hukuman. Bahkan banyak yang dibebaskan bersyarat, hanya dengan diwajibkan melapor secara harian. Adilkah itu?

Lantas bagaimana nasib korban yang masa depannya mungkin hancur, penuh trauma dan depresi, dipandang sebelah mata oleh masyarakat, dianggap “sampah” oleh sebagian orang, menanggung malu seumur hidup. Adilkah jika pelaku hanya diberi hukuman seringan itu?

Sebagai ibu dari seorang gadis kecil, jujur aku sangat senewen baca berita di beberapa media akhir-akhir ini. Betapa banyak para orang tua yang begitu susah  payah menjaga dan membentengi anak-anaknya dari kasus-kasus semacam itu, namun di luar sana banyak orang tua yang nggak mau tahu dan anaknya diumbar begitu saja, yang begitu mudah bertumbuh menjadi pelaku-pelaku kejahatan baru.

Jika saja celotehan seorang ibu ini bisa didengar, maka buatku hanya tiga hukuman ini yang pantas untuk para pelaku kejahatan seksual.


Hukuman pertama, gantung atau rajam hingga mati. Apalagi jika korbannya kemudian akhirnya harus meregang nyawa. Kalaupun tidak meregang nyawa, rata-rata korbakejahatan seksual akan mengalami trauma yang luar biasa. Meski tidak meninggal, pelaku secara tidak langsung telah ‘membunuh’ masa depannya. Bahkan ada pelaku yang korbannya ternyata tidak hanya satu, bahkan belasan hingga puluhan. Jelas tidak ada tawaran lagi, hukuman mati adalah yang terbaik. Hitung-hitung ngurangin penduduk Indonesia yang semakin banyak lah. Buat apa menuhin negara dengan makhluk bejat yang tak bermoral seperti itu?

Hukuman kedua, kebiri! Untuk para pelaku yang dinilai pihak berwajib kasusnya lebih ringan dan pantas diberi hukuman lebih ringan, kebiri bisa jadi pilihan kedua. Namun ada yang mengganjal pikiranku ketika hukuman ini dijalankan. Bisa jadi orang-orang itu akan tersiksa karena tidak lagi bisa melampiaskan hasrat seksualnya, namun apakah otak kotornya juga bisa dikontrol? Bisa jadi alat kelaminnya tak lagi berfungsi, namun ia masih punya otak jahat yang bisa memerintah tangannya melakukan perbuatan keji. Maka jika kebiri jadi pilihan, potong jari-jari para pelaku hingga mereka tak bisa lagi berbuat amoral.

Hukuman ketiga, khusus untuk para pelaku kejahatan seksual di bawah umur. Hukuman harus dialihkan kepada orang tua mereka. Penjarakan orang tua mereka sebagai teguran bahwa mereka telah gagal menjadi orang tua. Selayaknya yang pernah aku baca di beberapa negara luar, jika anak di bawah umur melakukan kesalahan, maka hukuman akan diberikan pada orang tua. Karena orang tua dianggap tidak mampu mendidik dan mengasuh anak dengan benar, maka pengasuhan anak-anak pelaku kejahatan itu harus diambil alih oleh negara. Karantina mereka. Dampingi mereka dengan psikolog dan psikiater. Berikan mereka terapi hingga mereka bisa tumbuh menjadi orang-orang yang lebih baik dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Dengan dijalankan hukuman ini, diharapkan orang tua-orang tua semakin paham fungsi mereka sebagai orang tua sebenarnya. Orang tua bukan hanya dituntut memenuhi anak dengan materi, memberi makan yang cukup, namun juga bertanggung jawab atas pendidikan moral dan akhlak mereka. Siapa tahu jika pengalihan hukuman ini dijalankan, akan semakin banyak orang tua yang melek akan pentingnya belajar tentang mengasuh anak dengan baik!


Sarana Menjadi Orang Tua Lebih Baik

Menjadi orang tua itu tidak mudah, apalagi di masa sekarang ini. Banyak orang tua berbangga diri dan berucap, “aku lo nggak pernah marah sama anak-anakku. Mbok ben mengko yo nek gede ngerti dewe sing bener piye, sing salah piye.”

Lantas apa gunanya Allah menjadikan kita sebagai orang tua kalau anak-anak bisa pintar dengan otomatis tanpa dididik, tanpa diasuh dengan benar?

Memangnya kalau sudah jadi ortu yang tidak pernah marah itu keren gitu? Sudah super baik gitu ma anak?

Hmmm...

Allah memberikan rasa marah kepada diri kita pasti ada maksud dan tujuannya. Bagaimana mengelola marah pada tempatnya dengan cara yang sesuai.

Lebih baik anak tahu orang tuanya marah karena perilakunya tak bisa dibenarkan kemudian diluruskan. Daripada tak pernah marah tapi anaknya dibiarkan terus menerus dalam kesalahan dan tidak dibantu menyadari kesalahan itu.

Marah itu diperbolehkan, yang tidak boleh itu menyakiti! Maksudnya, menyatakan perasaan bahwa kita tidak suka terhadap perilaku anak yang tidak baik itu boleh dan wajar. Namun caranya tentu saja harus elegan dan tidak menyakiti, tidak sambil melotot, tidak sambil menuding si anak, apalagi sambil mencubit, membentak dan menendang.

Sampaikan pada anak bahwa perilaku buruknya tidak diterima di rumah. Jika memang memungkinkan kuatkan dengan beberapa dalil dan ayat di Al Quran atau hadits yang menyatakan bahwa perbuatannya tidak baik. Jelaskan pula bahwa kita marah karena sayang pada mereka. Jika kita tak marah dan membiarkan mereka terus-terusan berbuat salah, justru saat itulah kita tidak menyayangi mereka.


Namun untuk bisa marah secara elegan dan sesuai porsi pun butuh ilmu dan praktek terus-menerus. Salah satu sarana belajarku yang hingga saat ini masih bikin nagih untuk terus menimba ilmu lagi dan lagi adalah Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) asuhan Abah Ihsan Baihaqi. Setelah pertama kali mengikutinya pada bulan Maret 2015 lalu, Alhamdulillah besok Sabtu-Minggu, 21-22 Mei 2016 akhirnya mendapat kesempatan kembali untuk bisa recharge ilmu agar yang telah menguap bisa kembali penuh dan bermanfaat tidak hanya bagi diri sendiri, namun juga lingkungan sekitar. Bagi yang belum bisa join pada bulan ini, insya Allah bulan Agustus 2016, Abah Ihsan akan kembali hadir di Semarang. Untuk yang di luar Semarang bisa cek jadwal PSPA di siniIt’s very recommended parenting program!

Jangan nangis sesenggukan buat yang gagal ikut PSPA bulan ini. Masih ada satu seminar dan talkshow inspiratif yang penting banget diikuti di Semarang pada akhir Mei ini. Diadakan oleh Homeschooling Muslim Nusantara (HSMN) Semarang, ‘Ketika Islam Berbicara Sex Education’. Acara yang insya Allah akan digelar pada Sabtu, 28 Mei 2016 di Gedung Dharma Wanita Semarang, pukul 08.00-16.00 ini akan mendatangkan empat narasumber yang handal dan ahli di bidangnya.


Keempat narasumber keren itu adalah;

Kak Sinyo Egie- Founder Peduli Sahabat yang telah banyak mengembalikan para SSA ke fitrahnya. Beliau juga penulis buku best seller “Ketika Anakku bertanya tentang LGBT”. Beliau akan memaparkan bagaimana bisa seseorang mengalami SSA dan bagaimana mengatasinya.

Ustazah Sitaresmi - Psikolog muslimah yang sering mendampingi Teh Ninih di sebuah program TVRI yang insya Allah akan memberikan pandangan mengenai LGBT dan seksualitas dari kacamata psikologi Islam.

Dr. Zulfa - Dokter spesialis andrologi yang akan menjelaskan LGBT dan seksualitas dari sisi kedokteran. Beliau juga merupakan dosen di Fakultas Kedokteran UNDIP.

Kak Mumu – Sosok yang pernah kecanduan game, namun kemudian menyadari kesalahannya lalu menciptakan aplikasi KAKATU yang bisa membantu orang tua membatasi anak dalam penggunaan gadget. Beliau akan share bagaimana mengatasi kecanduan game dan tips menggunakan gadget dengan bijak.

Berminat bergabung dengan para orang tua pembelajar dan pelajar serta mahasiswa yang ingin turut serta memperbaiki bangsa ini? Luangkan waktu untuk hadir pada hari itu dan mari berjama’ah menjaga generasi-generasi penerus bangsa! Untuk informasi lebih lanjut, bisa menengok ke fanpage HSMN Semarang.

Niatkanlah kehadiran kita sebagai ikhtiar untuk menjaga anak-anak, dengan tak lupa tentunya menyerahkan segala keselamatan dan kehidupan mereka hanya pada Sang Pemilik Kehidupan. Semoga Allah menjaga kita beserta keluarga. Aamiin.

Kalau bukan kita yang menjaga bangsa ini, siapa lagi?






*Sebuah catatan emosional dari ibu muda melihat kasus-kasus menyedihkan yang banyak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Juga ajakan untuk seluruh orang tua agar semakin sadar dan melek akan kebutuhan belajar parenting demi Indonesia yang lebih baik.

17 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Sarannya bagus tetapi harus mengacu kepada UU yang berlaku. Saran ketiga agak sulit karena dalam hukum ada kata "Barangsiapa" artinya pelakulah yang harus menerima ganjarannya, jadi tidak bisa dialihkan. Kecuali jika ada UU yang mengaturnya.
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih pencerahannya pakdhe. Semoga saja bisa ada UU baru yg mengatur hal tersebut, sehingga ortu juga jadi lebih bertanggungjawab mendidik akhlak n moral putra putrinya.

      Delete
  2. Di luar kejahatan seksual apalagi korbannya dibawah umur dihukum seumur hidup

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masalahnya terkadang di indonesia penjara pun bs dibeli. Dihukum seumur hidup tp dapat fasilitas enak. Tdk ada efek jera :(

      Delete
  3. Aku berharap pemerintah segera merevisi undang2 perlindungan anak dan perempuan. Hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku kejahatan seksual apalagi sampai korbannya meninggal itu hukuman mati, kebiri dan rajam hingga mati. Bi

    ReplyDelete
  4. Hukuman ke tiga saya kurang setuju nih karena saya yakin semua orang tua tidak pernah ada yang mengajarkan akhlak buruk pada anaknya walaupun orang tua trsebut bisa di katakan jahat tapi saya yakin dalam hati kecilnya orangtua tersebut tidak menginginkan anak untuk berbuat jahat
    Mungkin hukuman yang ke tiga bisa di ganti dengan apalah seberat-beratnya tetapi tidak mengalihkan hukuman tersebut kecuali ada bukti bahwa orangtua lah yang menyuruh anaknya untuk berbuat seperti itu

    ReplyDelete
  5. sedih miris marah ngeri khawatir sampe takut.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tidak perlu sampai paranoid mbak.. sebagai ortu yang penting kita harus membekali diri dengan ilmu dan skill yang memadai sehingga bisa memberikan tameng yang kuat untuk anak-anak. Pengaruh lingkungan tidak akan ada apa2nya jika ortu bisa menjadi pengaruh terkuat untuk anak2nya.

      Delete
  6. Semoga pemerintah konsisten untuk menegakkan hukuman thd pelaku.
    Dan smg tdk ada pihak2 yg mwngatasnamakan HAM untuk menolak UU
    Sedih dan miris melihat banyak kejahatan thd anak d aekitar kita :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin.
      Kalau ngomongin HAM, apa mereka yang mengatasnamakan orang2 yang peduli HAM itu lupa bahwa para pelaku juga telah melanggar HAM dari para korban?

      bukan miris lagi, tapi GERAM, mbak :)

      Delete
  7. semoga undang-undang yang terbaru ini bisa membuat anak2 Indonesia tenang ya mbak...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin.

      Namun yang paling penting lagi orang tua2 harus lebih kuat menjadi pengaruh untuk anak-anaknya :)

      Delete
  8. kalo menurut saya, hukuman untuk penjahat kelamin itu hanya satu: HUKUMAN MATI

    ReplyDelete