header marita’s palace

I was Abusive & Toxic Partner, But I am Move On….

toxic relationship
Disclaimer, postingan tentang abusive & toxic partner ini bakal berisi curcolan yang mungkin sampai ke mana-mana. Jadi butuh menyediakan waktu luang beserta kopi dan camilan untuk bisa menikmati tulisan ini hingga akhir. 

Btw, ini adalah tema terakhir dari #BlogChallengeSeptember-nya mbak Ainhy Edelweiss. Alhamdulillah, akhirnya selesai juga 15 tema. Kasih tepuk tangan dong, pals.. hehe.

Ide tulisan ini sebenarnya sudah ada di kepala sejak lama. Sudah masuk “to write list”-ku sejak berbulan-bulan lamanya, namun setiap kali mau menuliskannya mendadak jemari macet. 

Waktu kulihat di daftar tema blogging challenge-nya mbak Ainhy, salah satunya adalah MOVE ON, sudah terbayang bahwa tulisan ini akan menjadi jawaban atas tema tersebut. Ya, inilah move on ala aku!

Selain untuk memenuhi tema #BloggingChallengeSeptember dan postingan harian #ODOPBatch7, postingan ini juga sekaligus akan menjadi the new era of #DuaKacamata. Masih ingat #DuaKacamata? 

Dulu aku dan suami punya proyek nulis duet di blog masing-masing. Satu tema ditulis dari sudut pandangku dan sudut pandang suami. Baru dapat empat episode terus mandheg, wkwk. Sudah berencana untuk menghidupkan lagi, tetapi belum juga dimulai. 

Nah, setelah ikut Majelis Ibrahim dan Hajar yang akhirnya membuat kami memikirkan benar-benar tentang visi misi keluarga, kami berniat untuk menghidupkan kembali #DuaKacamata sebagai salah satu syiar kami. So, please enjoy it.. Anyway, nanti kalau suami sudah selesai posting tema yang sama di blognya, aku update link-nya di sini ya.

*Edit

Akhirnya setelah berbulan-bulan, doi nulis juga lo tema ini. Sampai eike bosen nanyain melulu, wkwk. So, jangan ditanya deh kapan tayangnya lagi episode 5 dari #DuaKacamata, yang sabar saja lah yaa. Karena kalaupun aku sudah nulis, nungguin si bapak nulis tema yang sama suka-suka si doi.

Cuzz silakan ke 7 Tips Menghadapi Toxic Relation ala Ayah Ifaffan.

Perceraian dan Abusive Partner

fakta perceraian di Indonesia

Beberapa bulan terakhir aku banyak menyimak story dan kisah-kisah perceraian dari lingkup artis sampai orang-orang terdekat. Betapa semakin banyak saja perceraian yang terjadi di Indonesia, bahkan menurut data setiap tahun ada 300ribu pasangan bercerai di Indonesia. 

Yang lebih miris, para pasangan yang memutuskan bercerai itu sebagian besar masih menikah di bawah lima tahun. Dengan beragam alasan; ada yang karena KDRT, ketidakcocokan pandangan, ekonomi hingga perselingkuhan.

Nggak bisa memang menyamaratakan kondisi rumah tangga. Apa yang buatku hanyalah hal ringan dan biasa, bisa jadi suatu masalah yang berat buat orang lain, begitu juga sebaliknya. 

Maka aku pun nggak berhak untuk menghakimi pilihan mereka yang bercerai. Aku yakin tidak ada satupun orang di dunia ini yang menginginkan pernikahan mereka berakhir dengan perceraian. 

Aku pun yakin bahwa sebelum keputusan terberat itu diambil, pasti sudah ada dialog, diskusi dan segala cara dilakukan untuk mempertahankan rumah tangganya.

Tak sedikit berakhirnya sebuah pernikahan disebabkan oleh hubungan yang tidak sehat. Karena ada satu pihak yang terzalimi. Ada satu pihak yang terus-terusan menjadi racun. 

Entah itu karena pasangan berselingkuh lagi dan lagi, melakukan kekerasan fisik dan verbal, membatasi ruang gerak pasangan dengan keposesifannya dan masih banyak lagi. 

Ya, siapa yang kuat hidup dengan toxic partner seperti ini kan? Butuh mental baja dan jiwa yang kuat. Dan inilah kisahku tentang betapa toxic-nya pernikahanku dan suami dulu… 

Flashback ke lima tahun pertama pernikahanku dengan suami… honestly, it was sooooo hard! Jika banyak cerita yang kudengar, pihak perempuan seringkali menjadi korban dari toxic and abusive husband. 

Lain halnya denganku, aku justru menjadi pelaku di sini. Maka jujur ketika ada pihak-pihak yang menulis “tinggalkan saja toxic partner, hidup kamu indah, hidup cuma sekali, hidup kamu terlalu berharga untuk disia-siakan bersama orang semacam itu,” aku meringis.

Beberapa kali aku bertanya ke pasangan, apakah dia menyesal meneruskan pernikahan ini. Apakah dia merasa terbebani dengan semuanya. Apakah dia bahagia bersamaku sekarang. Meski dia selalu meyakinkanku how happy he is now dengan apa yang kami miliki sekarang. Hubungan kami yang jauh lebih hangat, komunikasi yang sangat baik dan anak-anak yang luar biasa. 

Namun jujur, jauh di lubuk hati terdalam, aku kadang merasa menyesal. Menyesal pernah menjadi pasangan yang nggak banget buat dia. Pasangan yang tak bisa memberikan kenyamanan yang dia butuhkan. 

Juga bertanya-tanya, jujurkah dia dengan segala jawabannya. Dan jujur, aku takut dia masih ada di sisiku saat ini karena ‘terpaksa’ mendampingiku.
Aku terlalu sering mengenakan topeng, bahkan saat bersama kedua orangtuaku sekalipun. 'Aku baik-baik saja,’ atau ‘aku bahagia’ adalah dua topeng yang paling sering kukenakan. 

Sejak kecil sampai kuliah, aku menekan perasaanku yang sebenar-benarnya jauh di lubuk hati yang terdalam. Rasa marah, jengkel dan emosi-emosi negatif lainnya kupendam jauuuh, dan tak kubiarkan keluar. 

Aku hampir tak pernah punya masalah dengan teman-teman sekolah. Ada atau nggak ada teman buatku bukan hal yang besar. Bareng-bareng hayuk, sendirian pun aku tak masalah. 

Aku tak pernah punya hubungan lebih dari pertemanan dengan lawan jenis, hingga akhirnya di tahun kedua aku kuliah, aku bertemu dengannya… ya, dia… yang kini menjadi ayah dari anak-anakku. 

Mungkin bukan lelaki pertama yang membuat hatiku bergemuruh, namun dia lelaki pertama yang menawarkan hatinya untukku bersemayam.

Dewasa, bertanggungjawab, pintar dan segala hal positif lainnya adalah pendapat yang sering kudengar tentang diriku dari orang-orang di sekeliling. Tak sedikit pula yang sering curhat dan meminta solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Namun benarkah sosok itu the real me?
“Kamu bisa jadi dirimu sendiri saat bersamanya.” 
Ucap salah seorang sahabat dekat mengomentari hubunganku dengan suami saat itu. Aku tertegun. Dalam hati membenarkan. 

Ya, di saat sekelilingku menuntut diriku menjadi orang dewasa, mandiri, pintar dan segala hal wah lainnya, bersamanya aku merasa nyaman menjadi seperti yang kumau. Aku bisa bermanja, aku bisa bebas jadi anak kecil di saat bersamanya, aku bebas mengutarakan pendapatku saat ngobrol dengannya.
Dia memberikan apa yang selama ini aku cari; kasih sayang, kehangatan, dan perhatian. Dan aku mulai berharap banyak darinya. Aku lupa dia pun manusia yang tak sempurna. 

Maka ketika dia melakukan sebuah kesalahan yang menurutku fatal dan bisa dihindari terjadi, aku sangat marah… benci dan dendam. Berulangkali ia meminta maaf, berulangkali aku merasa dipermainkan. Namun toh kami tetap terus bertahan. Atau mencoba bertahan?

Dan sejak saat itu, aku tak lagi bisa percaya padanya. “Aah, dia sama saja dengan laki-laki lainnya. Aaah, dia pasti sama saja dengan bapak….” 

Segala hal negatif tentangnya selalu muncul di kepala setiap hari. Aku berubah menjadi sosok yang sangat posesif. Setiap hari kerjaanku mengecek dia di mana, bersama siapa, dapat pesan dari siapa saja.

Kuhapusi semua kontak di HP-nya yang kutahu berjenis perempuan. Aku nggak mau dia punya teman perempuan, cukup aku saja! 

Entah berapa kali kami bertengkar di kampus, di pinggir jalan. Dia selalu memilih mengalah daripada melihatku ngamuk nggak karuan dan jadi tontonan orang banyak. Bersyukur saat itu belum ada smartphone dan 4G. Kalau sudah ada, dijamin kayanya bakalan viral di lambe-lambean,wkwk.

Sumber pertengkaran bahkan seringkali bukan hal besar. Hanya karena hal-hal kecil, remeh dan bisa dibicarakan, tapi merembet ke mana-mana. 

Aku bahkan nggak segan melakukan kekerasan fisik kepadanya. Pasti banyak yang heran, kok ada laki-laki yang bisa bertahan dengan segala tingkah laku anehku? Nah itu, makanya aku tulis postingan “Jika Bukan denganmu, Apa Jadinya Aku?” beberapa tahun lalu.

Intinya… aku pernah segila itu. Se-toxic, se-abusive dan se-nggilani itu. Benar-benar aku aja kalau ingat masa-masa itu berasa huwek banget sama diriku sendiri. Dan jangan dikira itu berhenti setelah kami menikah. Justru semakin menjadi setiap harinya. 

Makanya ketika akhirnya Allah baru memberi kepercayaan kepada kami seorang anak di usia pernikahan yang keempat, ada hikmah di baliknya. Apa jadinya jika kami punya anak saat masih sering bertikai, kasihan banget kan anaknya? 

Jangan dikira aku merasa baik-baik saja dengan perilakuku. Aku tahu ada something wrong inside me. Bahkan berulangkali kusampaikan pada pasangan, “Aku butuh psikolog, psikiater, dokter jiwa atau apalah… aku sakit..” 

Dan berulangkali dia pun hanya tersenyum. Ya wajar sih, saat itu kesehatan jiwa belum jadi common issue seperti sekarang. Nyari di mana psikolog juga nggak ada bayangan zaman segitu.

Allah selalu memberikan jalan keluar di setiap permasalahan. Dengan hadirnya Ifa, anak pertamaku, di tengah rumah tangga kami, perubahan demi perubahan mulai berlangsung. Secara sadar aku tahu aku butuh ilmu menjadi seorang ibu. 

Aku mulai mencari-cari informasi dan pengetahuan mengenai parenting. Aku mulai mencari circle baru, salah satunya dengan mengikuti kajian. Berdekatan dengan Al Quran dan orang-orang salihah membuatku jauh lebih adem dan tenang.
Dari perjalanan belajar parenting, aku mulai mengenal istilah INNER CHILD. Terjawablah semua pertanyaanku selama ini. Kenapa aku begini, kenapa aku begitu. Kenapa aku berharap banyak kepada suami dan begitu mudah kecewa saat dia tak sesuai dengan harapanku. 

Ternyata, ada sosok anak kecil di dalam diriku. Sesosok anak kecil yang tak bahagia, merasa tak disayangi, merasa ingin selalu jadi satu-satunya orang yang dicintai. 

Sosok yang mudah terluka ketika semua harapannya tak berjalan sesuai kenyataan ini muncul karena impianku terhadap sosok bapak idaman. 

Hubunganku dengan bapak memang tak baik sejak kecil. Ada rasa sakit, luka, dendam dan kecewa yang ternyata berpengaruh dalam pola pikirku, kejiwaanku. 

Pada akhirnya semua bom waktu itu meledak ketika aku bersama dengan orang yang kuharap bisa menjadi pelindungku. Ketika orang tersebut membuat kesalahan yang tak kuharapkan, sakitnya menjadi berlipat-lipat.

Ketika sumber masalah kutemukan, yang kucari tahu hanyalah bagaimana bersahabat dengan ‘si anak kecil’ di dalam diri ini. Belajar memaafkan dan menerima segala hal di masa lalu, dan bersyukur dengan apa yang kumiliki sekarang. 

Sampai saat ini pun aku masih berproses. Aku bersyukur dan beruntung karena aku punya dia… support system terbaik yang sampai saat ini masih sudi mendampingiku bertumbuh. 
Seperti yang kuceritakan di postingan sebelumnya. “Kami ingin menjadi keluarga yang lebih baik dari keluarga yang membesarkan kami” adalah sumber kekuatan kami. Tanpa direncana, itulah misi pernikahan kami. Sederhana, namun hal itulah yang nyatanya menjadi penyelamat di setiap badai yang menghadang selama hampir 12 tahun kami mengarungi rumah tangga.

Toxic Relationship; Tinggalkan atau Teruskan?

Jadi kalau kita punya toxic and abusive partner, baiknya ditinggalkan atau diteruskan? 
Well, itu sebuah pertanyaan sulit. Karena aku bukan mereka, dan suamiku juga bukan kalian. Semua orang punya tingkat ketahanannya masing-masing. Sampai tingkat mana seseorang bisa mentolerir toxic dan abusive-nya pasangan pasti berbeda antara satu dan lainnya. Jadi ya, kembali lagi pada diri masing-masing.

Beberapa waktu lalu seorang teman mengirim pesan padaku dan bertanya-tanya tentang inner child. Temanku ini punya masalah dengan kakak iparnya yang kemungkinan punya inner child. Dia bertanya bagaimana cara menghadapinya?

Dan ini jawabanku;
“Kalau kamu kuat dan berani mencoba menjadi sahabat yang benar-benar dekat, bisa memahami dia, mungkin bisa pelan-pelan merubah pola pikirnya. Namun kalau kamu sudah merasa nggak sanggup, angkat tangan, ya sudah close communication saja, daripada malah membuatmu stress sendiri.”
Begitu juga menanggapi soal pasangan yang abusive dan toxic ini. Silakan tanya pada diri kita masing-masing. Masih sanggup nggak menjalaninya setiap hari seperti itu. Lebih banyak mudharat atau manfaatnya kalau diteruskan. 

Kalau sudah punya anak, pikirkan pula kondisi kejiwaan anak-anak. Kalau kita merasa masih sanggup dan bisa membantunya keluar dari perilaku toxic tersebut, do your best. 
Karena sejatinya mereka yang toxic dan abusive ini sesungguhnya butuh pertolongan, hanya saja mungkin nggak sadar ada yang salah dalam diri mereka. Jika teman-teman merasa bisa handling orang-orang macam begini, bantu mereka. Cinta dan kasih sayang yang tulus bagaikan air laut yang mampu membuat karang perlahan keropos. Jadilah air laut yang mengetuk batu karang itu.
Tentu saja hal yang sulit jika memang pasangan abusive ini merasa nggak ada masalah dalam dirinya, merasa dia baik-baik saja. 

Karena seperti yang kusampaikan pada temanku yang curhat soal kakak iparnya itu, salah satu hal yang membuatku berhasil move on adalah munculnya awareness di dalam diri bahwa ada something wrong, bahwa aku harus sembuh, bahwa aku nggak boleh stuck dengan semua hal buruk ini.
“Akan ada banyak alasan bagi diri kita untuk tidak bergerak, tetapi sebenarnya kita hanya butuh satu motivasi untuk beranjak; NIAT di dalam diri.”
So, buat kalian di luar sana yang saat ini suka melukai pasangan, baik secara fisik atau psikis, sadar atau tidak sadar, pleaaseee…. carilah sumber masalahnya di dalam diri. Lalu cari penyebabnya kenapa masalah itu bisa muncul, dan selesaikan! 

Buat teman-teman yang sampai saat ini merasa kenapa rumah tangganya nggak pernah ayem, komunikasi buntu, selalu mudah tersulut emosi, cobalah gali adakah hal-hal di masa lampau yang belum selesai. 

Kata salah seorang teman yang psikolog, semua masalah rumah tangga awalnya adalah hal-hal di masa lampau yang belum tuntas. Entah itu kemarahan dengan orangtua yang belum selesai, trauma pengasuhan atau hal-hal lain yang terpendam dan dibiarkan tanpa solusi. 

Maka PR besar ketika teman-teman mau membangun rumah tangga, selesaikan semua hal yang belum selesai! Karena ketika dibiarkan saja tanpa solusi, efeknya bisa jadi rantai pengasuhan yang terus melingkar dan memberikan dampak buruk.
Pasangan yang tak bahagia akan menjadi orangtua-orangtua yang tak bahagia. Orangtua-orangtua yang tak bahagia melahirkan dan membesarkan anak-anak yang tak bahagia. 

Anak-anak yang tak bahagia kelak juga akan tumbuh jadi orang dewasa yang tak bahagia. Terus melingkar menjadi rantai. 

Maka, putuslah rantai itu dan mari menjadi orang dewasa dan orangtua yang bahagia agar anak-anak kita tak perlu lagi tumbuh dengan inner child yang mengganggu fitrah perkembangannya.

Akhir kata, terima kasih Allah sudah menghadirkan lelaki terhebat untuk mendampingiku yang mau bertumbuh bersama denganku. Terima kasih my hubby for everything. Barakallah fii umrik. 

Semoga di usia yang ke -39 semakin matang, semakin sukses dunia akhirat. Terima kasih sudah menjadikanku sang dewi. Uhibbuka fillah… 

Btw, Mbak Jihan teman seperguruan di ODOP juga punya tulisan senada tentang Toxic Relationship, boleh lo kalau mau main ke 'rumah'nya. Siap meninggalkan toxic partner, or siap meninggalkan toxic di dalam diri?

Terus berjuang, terus move on with your life! 

1 comment

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com