header marita’s palace

Sudahkah Aku Menjadi Blogger Merdeka?

blogger merdeka
Blogger Merdeka menjadi tema tantangan Super Team di WhatsApp Group Blogspedia bulan ini. Tentunya sebagai founder, aku pengen ikut menyemarakkan. Sayangnya, aku kelupaan kalau deadline berakhir sekitar empat hari lalu.

Namun sepertinya sayang kalau ide ini dibiarkan menguap begitu saja. Apalagi sudah lama aku tidak memerdekakan jemariku, menulis di rumah mayaku ini.

Nah, mumpung masih ada beberapa jam sebelum Agustus berakhir, bolehlah aku berbagi ceritaku tentang makna merdeka dalam dunia blogging ala aku.

Tema yang diusung Super Team Agustus ini cukup menarik dan menggelitik. Hmm, Blogger Merdeka, seperti apa dan bagaimana ya?

Sepertinya subjektif sekali nggak sih? Pastinya memaknai kemerdekaan. Kalau menilik dari KBBI sih, arti Merdeka seperti ini;
arti kata merdeka
Rada ngeri juga sih ya kalau benar-benar berpatokan dari arti kata ala KBBI. Bebas saja tanpa ada tanggungjawab di dalamnya itu menakutkan lo. Yang ada ntar kita bisa menjadikan ‘kemerdekaan’ itu sebagai tameng untuk bebas ngapa-ngapain aja tanpa mempertimbangkan norma atau aturan yang berlaku.

Walau di sisi lain, kalau kita terus condong sama “tanggung jawab” yang dimiliki seorang blogger, ada kalanya kita akan ada pada titik stagnan. Yaah, kembali lagi sih… bahwasanya Blogger Merdeka itu bisa jadi sangat subjektif.

Alih-alih merasa terbebani dengan pendapat dan pemikiran orang lain, maka aku mau mengutarakan aja apa yang ada di kepalaku akhir-akhir ini ya. Kali aja bisa jadi obat buat migrain yang udah datang pergi sesuka hati dalam sepekan ini.

5 Cara Menjadi Blogger Merdeka ala Aku

Aku tetap berpatokan sih bahwa merdeka bukan berarti bebas tanpa ada aturan yang mengikat. Aku tinggal di negara hukum, aku punya agama, jadi ya at least kemerdekaanku harus tetap dalam koridor yang berlaku.

Setelah menimbang berbagai hal, sepertinya Blogger Merdeka versiku, akan terpecah menjadi lima hal ini deh:

1. Merdeka Berbagi Cerita

Jujurly, pals.. sejak aku kerja kantoran enam bulan terakhir, aku rada kesrimpet dalam mengatur waktu sih. Menulis sih jalan terus, tapi mostly buat website kantor, bukan di rumah maya milik sendiri.

Akhirnya rumah maya ini hanya terisi ketika ada job. Duh, sedih kan?

Padahal ada banyak hal yang ingin kubagikan. Tapi 6 bulan terakhir, 24 jam terasa begitu cepat dan masih aja kurang. Emang beneran sekurang itu?

Padahal Allah ngasih 24 jam itu kan pastinya dengan perhitungan yang pas kan? Kalau sampai manusianya yang merasa kekurangan, berarti manusianya yang belum oke dalam mengatur waktunya. Betul begitu?

Emang efeknya apa sih, kalau sampai nggak menyentuh blog sendiri?

Dahsyat ternyata, pals, buatku, wkwk. Empat harian ini aku diserang sakit kepala di bagian alis yang menjalar hingga mata, gigi, sampai belakang kepala.

Menyadari bahwa aku nggak boleh bergantung sama parasetamol saat sakit tersebut datang, aku sengaja membiarkannya. Toh nanti menghilang sendiri. Lucunya, empat hari ini sakit kepala ini datang di jam-jam lagi perjalanan ke kantor sampai menjelang/ sesudah dhuhur.

Masalahnya, karena mostly kerja bikin tulisan itu butuh otak buat mikir, migrain yang terus berulang ini bikin aku nggak bisa menghasilkan apa-apa di kerjaan. Buntu. Stuck.   

Malam ini suami memaksaku ke dokter, walau aku merasa nggak perlu. Aku masih mau mencari sumbernya sendiri. Plus aku sepertinya bisa menebak apa kata dokter saat aku menyampaikan keluhanku.

Namun namanya juga suami sayang istri ya, pals… nggak mau lihat istrinya kesakitan setiap pagi. Yawdalah manut aja. Dan seperti bisa ditebak, dokter cuma bertanya dua hal ini;

“Tidurnya nyenyak?”

Karena kemudian dengan tegas aku menjawab, tidurku amat sangat nyenyak. Apalagi sejak ngantor, jarang banget begadang karena tenaga udah terforsir di kantor dan di jalanan, wkwk. Maka pertanyaan selanjutnya adalah,

“Stres dengan pekerjaan kantor ya? Punya hobi kan? Coba lakukan hobi yang disukai…”

Aku nyengir dong menjawab saran dari dokter. “Pekerjaan saya, hobi saya sih, Dok.”

“Berarti kalau pekerjaannya sudah hobinya mbak, ada sumber stress lainnya. Itu yang perlu dicari.”

Lalu bu dokter hanya meresepiku dengan lagi-lagi paracetamol. Eh, ada multivitamin juga yang sepertinya dikasih, biar nggak terlihat dikasih paracetamol doang, wkwk.

Ada ‘resep lain’ sih yang dikasih bu dokter, tapi keknya bakal aku tuliskan di postingan terpisah deh. Hehe.

Keluar dari ruang pemeriksaan, self talk lah aku alias ngomong dhewek. Waiit, jadi sumber masalah sakit kepala ini dari mana yaaa…

Apakah memang kerjaan dari kantor semengerikan itu sampai aku burnout? Kalau ada target, namanya kerja di manapun pasti ada target nggak sih? Bahkan waktu kerja di rumah, aku suka kasih target yang over ke diri sendiri.

Atau ada rekan kerja yang bikin aku nggak nyaman? Aku geleng-geleng sendiri. So far, nyaman-nyaman aja di tempat kerjaku. Lah gimana nggak nyaman.... temennya mostly positive vibes semua, makan siang disediain, air minum disediain, upgrading skills difasilitasin...

Sambil menunggu obat yang sedang disiapkan apoteker, pikiranku kembali melanglang buana. Aku teringat sebuah kejadian yang bikin aku gregetan dan hampir 'turning red' di awal bulan ini. Kejadian yang bikin aku pengen nulis panjang kali lebar, tapi aku mikir berkali-kali, “Boleh nggak ya ditulis?”
sharing is caring
Ada banyak pikiran yang lalu lalang di otakku, kalau aku nulis ini aku bisa menyampaikan sesuatu yang baik nggak ya… kalau aku nulis ini, terus dibaca sama atasanku atau rekan kerjaku di kantor, tanggapannya apa ya…

Dan malam ini aku tersadar, tiba-tiba kok aku menyekat kreativitasku dengan batasan yang aku buat sendiri ya? Sedang aku tahu, menulis adalah caraku untuk berdaya, caraku untuk bercerita kepada pembaca tentang apa yang aku alami, yang aku rasakan.

Lalu kok aku jadi membatasi diri, takut ini dan itu? Tanggungjawab untuk ‘menulis yang baik-baik saja’ kok kemudian jadi bumerang ya buatku?

Padahal selama ini aku punya batasan, bisa jadi ‘sampah’ kita itu meaningful buat orang lain. Maksudnya gini, dari curhatan kita, bisa jadi ada lo pembaca yang ternyata punya masalah yang relate tapi nggak berani speak up, terus jadi merasa dikuatkan karena punya teman senasib.

Sebagai penulis, kita memang punya tanggungjawab untuk menulis yang sebisa mungkin bermanfaat. Namun, jangan sampai jadi belenggu buat diri sendiri, dan malah gagal menulis karena merasa “Ah, tulisanku toxic deh kayanya, nggak inspiratif.”

Terus gimana biar tulisan kita nggak terasa toxic-nya, padahal ya benernya memang cuma mau nulis “sampah” yang bikin greget di hati?

Kalau aku sih, hindari menulis secara reaktif. Misalnya, lagi dapat kejadian greget hari ini, hindari untuk langsung menuliskannya saat itu juga, sebelum kita mampu menggali makna dari kejadian itu. Jadi jangan sampai kita nulisnya tuh ‘toxic’ nya aja gitu loh…

Aku biasanya akan memberikan jeda beberapa saat, entah itu beberapa hari atau beberapa pekan, sampai aku nemu ‘ahaa insights’nya baru aku luapkan dalam bentuk tulisan. Harapannya, tulisan yang kemudian aku bagikan bukan sekadar membagikan ‘sampah’, tapi juga ‘bagaimana cara mengelola sampah jadi sesuatu yang bermanfaat.’

2. Merdeka dari Deadline

Hohoho, ini yang sedang aku upayakan sih. Sebenarnya bisa banget kok jadi blogger yang bebas dari deadline. Caranya juga sederhana, tapi kembali ke diri sendiri, mau atau tidak mengaplikasikannya.

Entah itu deadline yang dibikin sendiri, atau deadline yang dikasih klien, sejatinya kan ya udah di-arrange jauh-jauh hari. Saat kita bikin deadline sendiri, artinya kita sudah mengukur dong kemampuan kita.
bye deadline
Begitu juga saat kita menyanggupi dengan deadline yang dibuat klien, artinya kita sudah siap dong? Masalahnya nih, deadline yang maksudnya tenggat waktu bisa beneran berubah menjadi ‘garis kematian’ karena sifat kita yang suka menunda-nunda. Eits, kitaaaa… elu aja kali, mbak, wkwk…

Siaaap salaaah, pals. Yup, bukan kita… tapi aku yang suka menunda-nunda dengan beragam alasan. Yang capek lah, yang belum pulang kerja jadi belum bisa nyelesein tulisan lah, yang ini dan itulah.

Maka untuk bisa merdeka di poin kedua ini, kembali lagi ke diriku sendiri agar lebih oke mengelola waktu. 24 jam itu panjang looh, kalau sampai kok ada banyak hal yang terskip… lu ngapain aja, Rit. Misal nih, ngantor 8 jam.. tidur 8 jam… at least masih ada 8 jam lo buat aktivitas lain…

3. Merdeka dari Bayang-bayang PV

Salah satu hal yang membuatku semangat untuk kembali ngantor adalah ketika aku nggak lagi enjoy saat ngeblog. Saat setiap hari aku mulai ngecek, udah berapa ya PV di postingan ini, udah berapa ya PV-ku bulan ini, udah tercapai belum ya target PV-ku, dan sebagainya.

Aku rindu aja sih ke masa-masa di mana aku pertama kali membuat blog ini. Bebas menulis apa aja, tanpa beban, tanpa takut PV-nya berapa, tanpa mikirin DA/ PA, DR/ UR dan sebagainya, wkwk.

Dulu aku bikin blog ini sebagai sarana untuk menulis yang benar-benar menulis. Berbagi ide dan cerita sehari-hari, bukan karena tuntutan pekerjaan dan job semata.
keep writingEh ternyata, setelah ngantor, aku kembali terjebak pada menulis untuk pekerjaan. Sampai lupa kalau aku punya kebutuhan untuk menulis for sharing, for delivering insights, for creating moments.

Bahkan saat kembali ‘pulang’ ke rumah maya ini, aku pun nulis karena ada kerjaan. Yang akhirnya tersekat oleh PV, PV dan PV.

Aissh, I really miss the time when I can write anything, without considering this and that. Makanya aku ikutan nulis dengan tema ini, walau masa challenge sudah berlalu, sekalian mengasah otak biar nggak lupa caranya ngeblog secara merdeka, hahaha.

4. Merdeka dari Insecurity karena Prestasi Blogger Lain

Semakin luas circle di dunia blogging, kok lama-lama aku suka minder ya sama prestasi blogger lain. Kadang ada perasaan bergejolak di dada, “Iiih, aku kan ngeblognya udah duluan dari doi, tapi kok doi keren banget ya, udah begini dan begitu.”

Duh, duh, duh… kurang bersyukur kalau begini nih. Wooi, bangun, Rit, banguuun…. setiap orang itu punya rezekinya masing-masing. Kalau sekarang lagi ‘sepi prestasi’, bukan berarti kita jadi rendah diri.

Bukankah ikut berbahagia atas prestasi orang lain, akan menambah kebahagiaan diri? Bukankah dengan bersyukur atas pencapaian diri sendiri, justru bisa melipatgandakan rezeki yang sudah Allah kasih?
stop insecure
Well, semua orang punya ‘sepatu’nya masing-masing. Kita nggak bisa pakai sepatu orang lain, bisa jadi kebesaran di kita, atau malah kesempitan. Allah tuh udah paling tahu sepatu yang pas buat kita, jadi ya enjoy aja laaah.

Lagian ngapain juga sih insecure sama prestasi blogger lain… udah jelas-jelas effort mereka berkali lipat, ikut lomba sana-sini, upgrade diri ke sana-sini, la aku cuma mantau doang. Tahu ada info lomba cuma disave doang, tapi kagak ikut juga… lah, tapi ngimpi pengen punya prestasi… eaaaa….

5. Merdeka Memilih Job dan Kelas yang Sesuai Kebutuhan dan Kondisi Diri

Ada kalanya sih rindu sama email masuk yang tanpa tawar-menawar langsung oke sama ratecard. Sekarang ini, ada banyak tawaran job yang kadang harganya makin lama makin rendah, so saaaad.

Entah karena blogger makin banyak, dan range harga juga makin bervariasi, atau gimana… aku nggak tahu sih. Tapi ya, kembali ke value diri aja sih. Kalau klien merasa hasil kerja kita oke, pasti mereka akan sepakat kok sama harga yang kita kasih.

Walau tetap ada kok beberapa job dengan harga B aja yang aku terima karena memang udah bestie ama kliennya. Biasanya klien-klien yang repeat order dan nggak banyak mintanya, wkwk.

Nah, PR-ku adalah menolak job-job yang sebenarnya aku nggak sreg, tapi nggak enak kalau ditolak. Misalnya, karena takut diblacklist, terus ntar nggak dapat job lagi.. Eits, eits.. rezeki Allah kan luas yaaa… masa takut nggak dapat job sih, wkwk.
why blogging
Kalaupun satu pintu rezeki tertutup, kan akan selalu ada pintu-pintu yang lainnya nggak sih? That’s why sekarang aku mulai selektif sih. Nggak pengen asal nerima job. Selain memilih kontennya sesuai atau nggak sama prinsip hidup, aku juga mulai melihat kapasitas diri sih.

Daripada nanti malah bikin semua berantakan, dan mendholimi pihak lain, mending dari awal kalau memang nggak sanggup ya ditolak aja lah. Toh, kalau udah rezeki juga nggak ke mana kok.

Selain soal job, hal ini juga aku terapin soal kebutuhan upgrading diri. Aku harus menilai dengan bijak kemampuan dan kapasitas diri. Kira-kira aku bakal enjoy dan bisa mengaplikasikan kelas itu, atau malah bikin aku puyeng dan malah jadi jiper, wkwk.

Jadi, intinya tulisan 1800 kata ini mengarah ke mana sih? Kesimpulannya, merdeka dalam dunia blogging versiku adalah kembali kepada tujuan awal kita ngeblog buat apa sih. Jika yang dicari adalah kemerdekaan untuk berbagi cerita, berbagi ide, untuk ngudarasa, ya ayolah, kita kembalikan makna ngeblog ke situ.

Jangan sampai keinginan ini itu yang harusnya hanya menjadi bumbu, malah mematikan kemerdekaan itu sendiri. Akhir kata, selamat menikmati dan berupaya menjadi Blogger Merdeka, temans.***

7 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Yeay.... semangat coach ku.... happy blogging. Welcome to your channel..

    ReplyDelete
  2. Wah benar banget nih, Kak. Saya setuju dengan poin merdeka dalam bercerita hihi

    ReplyDelete
  3. Kalau saya sih ingin sharing tentang wisata yang ada di Malang sih, Kak hehe. Semangat selalu

    ReplyDelete
  4. Terima kasih nih, Kak jadi mengingatkan saya tujuan awal menjadi blogger itu apa

    ReplyDelete
  5. Ternyata benar ya, kita sebagai blogger juga harus merasa sudah merdeka ya

    ReplyDelete
  6. Banyak banget memang ya, Kak makna kemerdekaan bagi kita seorang blogger

    ReplyDelete
  7. Saya masih merasa belum jadi blogger merdeka. Maklum pemula. Ajarin kak

    ReplyDelete