header marita’s palace

NHW #3; Membangun Peradaban dari Dalam Rumah





Assalammu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh..

Bagaimana kabarnya, pals di hari kedelapan ramadhan? Semoga masih lancar dan sukses ya ibadah-ibadah di bulan ramadhannya. Kali ini aku kembali dengan Nice Homework yang aku dapat dari kelas matrikulasi Institut Ibu Profesional batch #4. Alhamdulillah, proses belajarku bersama teman-teman seperjuangan di IIP sudah memasuki minggu ketiga.
Setelah sebelumnya belajar mengenai adab menuntut ilmu dan langkah-langkah menjadi ibu profesional, kini saatnya para murid kelas matrikulasi mulai belajar untuk membangun peradaban dari dalam rumah. Pals, rumah kita adalah pondasi sebuah bangunan peradaban, dimana kita berdua bersama suami, diberi amanah sebagai pembangun peradaban melalui pendidikan anak-anak kita. Oleh karena itu sebagai orang yang terpilih dan dipercaya oleh yang Maha Memberi Amanah, sudah selayaknya kita jalankan dengan sungguh-sungguh.



Pada materi ini aku dituntut untuk menggali lebih dalam mengenai diriku, pasanganku, keluargaku, anak-anakku serta lingkungan sekitarku. Dari proses inilah nantinya diharapkan aku menjadi lebih mengenal siapa aku dan apa tujuan Allah menghadirkan aku di muka bumi. Tentunya Allah menciptakan kita dengan maksud dan tujuan tertentu, secara garis besarnya manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi ini. Namun masing-masing manusia pastinya diamanahi tujuan-tujuan spesifik di dalam hidupnya.

Selama ini aku pun seringkali menanyakan pada diri sendiri, mengapa aku dilahirkan, mengapa aku besar dari kedua orangtuaku, mengapa aku dipertemukan dengan suamiku, mengapa aku diamanahi Ifa dan Affan.. dan sejuta pertanyaan mengapa lainnya. Namun aku masih kesusahan untuk mengumpulkan kepingan puzzle hingga membentuk sebuah gambaran utuh. Melalui materi ini, perlahan aku mulai bisa mengerucutkan apakah misi keluarga dan misi kehidupanku.



Berbeda dengan dua NHW sebelumnya, NHW #3 ini memiliki pertanyaan yang lebih spesifik untuk masing-masing peserta. Ada tiga kelompok peserta yang mendapat jenis pertanyaan yang sedikit; yaitu mereka yang belum menikah, yang sudah menikah dan sedang berjuang menjadi single parent.

Dikarenakan aku masuk ke kelompok yang sudah menikah, maka inilah beberapa point yang harus aku renungkan dan cari jawabannya;




Namun selama empat hari aku melakukan perenungan, aku merasa bahwa aku juga harus melalui dulu proses menemukan jawaban dari kelompok pra nikah. Semua friksi dalam kehidupanku jika ditelusuri awalnya adalah tentang kurangnya penerimaanku terhadap masa lalu, terutama latar belakang keluarga yang penuh dengan pertikaian. Luka-luka yang belum selesai inilah yang kemudian merambat ke bagian-bagian kehidupanku lainnya; bersama pasangan, anak-anak hingga caraku bersosialisasi.




Aku sengaja menuliskan proses penerimaan terhadap masa laluku di postingan tersendiri. Yang mau tengok, boleh cuzz ke What Should I Do with My Inner Child?


Merumuskan Misi Kehidupan dan Keluarga

Selesai dengan beberapa poin tentang bagaimana aku berproses untuk bisa bersahabat dengan inner child-ku. Saatnya aku menelusuri proses pencarian misi kehidupan dan keluargaku.

Surat Cinta untuk Suami

Diawali dengan tugas pertama yaitu menuliskan surat cinta kepada suami. Tugas ini dimaksudkan agar kami napak tilas mengapa dulu saling jatuh cinta dengan pasangan, dan bisa merasakan jatuh cinta lagi dan lagi kepada pasangan. Alhamdulillah, untuk urusan menulis surat cinta bukan hal yang sulit buat aku. Maklum, aku tipe orang yang lebih suka menyatakan perasaan lewat tulisan daripada perkataan langsung. Meski tidak sesering waktu jaman pacaran, aku beberapa kali suka mengirim surat cinta ke suami.

Seingatku, terakhir kali kukirimkan surat cinta untuknya ketika mengikuti SEFT (Spiritual Emotional Freedom Training) di bulan September 2016. Saat itu semua peserta diminta untuk mengirimkan dua surat kepada dua orang yang paling berarti dalam hidupnya, benar-benar ditulis tangan dan dikirimkan lewat pos oleh panitia. Seru banget deh rasanya. Nulisnya pun sembari berurai air mata mengingat kesalahan-kesalahan yang aku buat ke dia, dan bagaimana suabarnya suami ke aku. Kertasnya jadi super lecek karena penuh air mata plus ingus, hehe. Spesialnya lagi karena surat itu sampai ke rumah mendekati hari ultahnya suami. Respon suami saat itu? Nggak ngerti deh, hehe. Wong doi bacanya di kantor. Cuma bilang "makasih ya." Standar lah. Tapi yang bikin nyess, ketika aku lihat surat itu selalu ada di tas kerjanya.


Tugas kali ini sengaja nggak aku tulis di kertas, karena jujur aku sekarang sudah lupa caranya menulis pakai tangan. Baru dapat sekata dua kata sudah berantakan dan nggak bisa kebaca. Kadang aku merasa kecepatan tanganku saat menulis nggak bisa mengimbangi kecepatan otakku, hehe. Beda dengan mengetik.. apa yang kupikirkan bisa langsung diterjemahkan dengan jari-jariku. Jadilah, aku kembali menulis surat cintaku di blog. Nggak malu? Nggak lah, ngapain malu.. wong nulisnya buat suami sendiri, hehe. Lagian it's not the first time. Kalau mau ditelusuri mah, blog ini juga awalnya isinya curahan hatiku buat paksu :D

And, this is it.. surat cinta terbaruku untuk paksu; Jika Bukan dengan Kamu, Apa Jadinya Aku? 

Respon doi? Bisa dibaca sendiri di kolom komentar di postingan tersebut. Dia mah gitu, responnya suka nggak sesuai dengan harapan, hehe. Tapi saat nggak diduga, tiba-tiba suka kirim surat cinta juga, kaya waktu anniversary kami tahun lalu, yang lalu aku kirim balasan lewat postingan Mendadak Tulus.

Dan memang sih, menulis itu paling ampuh untuk berinstropeksi diri. Karena menulis melewati banyak proses berpikir, mengingat-ingat, dan menelaah. Sebagaimana sebelum-sebelumnya, mewek juga aku saat nulis rangkaian kata-kata itu buat paksu.
Betapa dia lebih sering bertanya padaku "apa kamu bahagia?" sedang aku kerapkali tak acuh apa dia sudah bahagia bersamaku.
Selama menulis surat itu, aku berpikir kembali mengapa kami dipertemukan, mengapa dia yang Allah pilihkan. Allahu Akbar, Allah memang tidak pernah salah menggariskan... dia hadir untuk melengkapi semua kekuranganku, dia hadir untuk membuatku belajar tentang penerimaan, kepercayaan, kesabaran dan banyak hal lainnya.

Dia mampu menjadi penyeimbang diriku yang suka meledak-ledak. Dia mampu menjadi penyeimbang diriku yang terkadang terlalu perfeksionis pada hidup. Dia yang mampu mengerem aku untuk tidak terlalu sering berlari dan lebih menikmati hidup. Ya, entah apa jadinya aku kalau bukan dia pasanganku. :)

Selesai menuliskan surat itu, aku cuma bisa kembali bersyukur telah dikaruniai pasangan yang sedemikian sabar. Tentu saja dia tidak sempurna, ada banyak kekurangan di dirinya, sebagaimana aku pun yang punya buanyak kekurangan. Namun bukankah istri pakaian untuk suaminya, dan suami merupakan pakaian untuk istrinya?


Memahami dan menemukan jawaban kenapa Allah pertemukan kami semakin memperkuatku bahwasanya kami pasti bisa menjadi tim yang handal  untuk menjadi fasilitator terbaik bagi pendidikan anak-anak kami, insya Allah. Kami hanya perlu lebih banyak saling bertukar pikiran, bermuhasabah dan konsisten dengan SOP-SOP yang kami terapkan di keluarga. Bismillah, insya Allah 'till Jannah.. sehidup sesurga... aamiin.

Mengenal Anak-anak

Masa sama anak sendiri nggak kenal? Pastinya sebagai orang tua harusnya yang paling mengenali anak-anaknya ya. Semoga aku juga termasuk orang tua yang sudah bisa mengenali anak-anakku dengan segala potensinya.

Mayda Hanifa Setianingtyas (Ifa) - dilahirkan lima tahun lima bulan yang lalu dengan proses sesar yang alhamdulillah tidak menimbulkan trauma. Kalau dibilang anak pertama selalu spesial, aku setuju. Kami menunggu kehadiran Ifa hampir empat tahun setelah pernikahan. Saat akhirnya bisa memeluk tubuh mungilnya, aku dan suami merasa lengkap. Bahkan dengan segala history kehamilanku, kami saat itu ikhlas kalau memang dipercaya hanya memiliki Ifa.

Dari hari pertama lahir ke dunia, Ifa sudah banyak tingkahnya. Bayi baru lahir jebrol, sudah bisa miring sendiri. Tidurnya nggak mau telentang dan selalu miring. Aku tidak perlu banyak stimulasi ke Ifa. Di usianya 2.5 bulan dia sudah bisa tengkurap sendiri meski belum bisa kembali ke posisi awal. Kalau sudah ngoceh kaya beo berkicau, hehe. Dia mulai bisa bolak-balik dari posisi tengkurap ke telentang dengan lancar saat berumur lima bulanan, langsung cuzz belajar duduk dan onggong-onggong.


Saat belajar merangkak, Ifa perlu diberi sedikit stimulasi. Setelah diberi contoh tiga atau lima kali, akhirnya dia bisa merangkak dengan benar. Sembilan bulanan dia mulai suka berdiri dan belajar merambat. Saat usianya setahun dia sudah berani berjalan tapi hanya di atas kasur, mungkin karena empuk. Sehari sebelum tantenya meninggal, ia pamer bisa berjalan dengan lancar di jalan depan rumah.

Sebagaimana nama yang kami sematkan padanya; Hanifa. Ia tumbuh menjadi sosok yang sangat berpendirian teguh. Kalau sudah minta A, ya A, nggak bisa dibelokin jadi B. Membuat kami orang tuanya kudu pinter-pinter memahamkan sesuatu ke doi.

Keingintahuannya cukup besar. Dia sangat suka bertualang di alam bebas dan bertanya ini apa itu apa. Memaksa kami orang tuanya untuk belajar lebih banyak agar bisa memberikan jawaban yang benar sesuai dengan umurnya. Dulu dia takut hujan-hujanan, tapi setelah sekali diajak hujan-hujanan dan menikmatinya, saat hujan mulai deras dia suka nagih minta hujan-hujanan.

Dengan usianya yang baru lima tahun, aku salut betapa doi bisa banget diajak susah. Ya, meski nggak kekurangan, kami juga bukan keluarga yang berlebihan dalam hal materi. Jadi nggak semua yang dia inginkan bisa kami turuti. Kami mulai mengajarkan padanya, mana yang merupakan kebutuhan, mana yang hanya keinginan. Tak jarang dia pun ngedrel minta sesuatu, tapi saat dia sudah tenang dan bisa diajak bicara, kami tinggal ingatkan soal kebutuhan dan keinginan. Dia langsung bisa menyebutkan, "o iya ding, kebutuhan itu pampers-nya dik Affan, susunya dik Affan, bayar sekolah kak Ifa, bayar listrik, air..." Aah, terima kasih untuk pengertianmu, nak.

Dulu Ifa nggak begitu kenal jajan, tapi sejak kami mulai membebaskan dia bermain di luar dengan teman-teman sebayanya. Ia mulai kenal jajan, dan mulai masuk ke fase berlebihan. Akhirnya kami putuskan untuk memberinya snack time alias jadwal jajan. Jadwal jajan ini diputuskan tiap awal bulan dan berlaku selama sebulan, boleh ganti hari di bulan berikutnya. Bulan ini Ifa minta jadwal jajannya di hari Sabtu. Jangan dikira menerapkannya mudah. Ayahnya berkali-kali goyah, Ifa pun berkali-kali tantrum, Aku pun berkali-kali lepas kontrol. Namun, insya Allah ke depannya bisa lebih baik.

Ngomongin soal tantrum, yess.. that's my fault! Pada dasarnya, dibanding bayi-bayi lainnya Ifa memang lebih mudah menangis dan menangisnya super duper keras. Karena inner child yang belum dijadikan sahabat, Ifa jadi kelinci percobaan pola asuh. Dan di usia awalnya yang harusnya penuh happiness, aku kerap melakukan kesalahan saat kesabaranku hilang menghadapi tangisannya. Entah berapa kali aku mencubit atau menepuk pantatnya. Menyesal? Pastinya.. tapi toh nasi sudah jadi bubur.

Alhamdulillah, aku diberi kesempatan belajar parenting lewat PSPA (Program Sekolah Pengasuhan Anak). Bukan seminar pertama yang aku ikuti, tapi program ini buatku nggak sekedar teori tapi bisa langsung dipraktekkan di keseharian. Lewat PSPA pula kemudian aku bertemu dengan banyak teman dan guru-guru kehidupan yang bisa membantuku mengubah pola asuhku ke Ifa.

Sekarang, Ifa sudah bisa bilang, "bunda jangan marah, aku nggak suka. La taghdob wa lakal jannah." Aku memang selalu minta ke dia, "kak kalau bunda marah, bantu ingetin bunda ya." Meski tidak selalu berhasil, kadang Ifa juga sudah kadung tantrum hingga lupa buat ingat kalau "jangan marah bagimu surga."

Belum sempurna, namun bisa kurasakan sedikit demi sedikit, aku mulai bisa menghela nafas saat Ifa 'kumat'. Aku sendiri membiarkan diriku hening sejenak, karena kalau aku langsung merespon secara spontan, yang ada aku akan menyakitinya. Setelah aku bisa menguasai diri, aku dekati dia, gendong dan peluk dia. Aslinya kalau aku nggak ikutan emosi, Ifa mah gampang ditaklukkan. Sayangnya aku seringkali nggak fokus saat sama dia. Akunya ngetik, dianya caper. Akhirnya buumb. That's why, aku mulai mengurangi kegiatanku di depan laptop. Aku ingin hadir secara utuh untuk Ifa, membayar semua kesalahan yang pernah aku buat ke dia.


Sama seperti ayah bundanya, Ifa nggak suka keramaian dan dia enjoy bermain sendiri. Bukan nggak bisa bersosialisasi, tapi dia lebih suka mengamati terlebih dulu apakah lingkungannya aman untuk dia bergabung, apakah asyik untuk berada di tengah kerumunan itu. Ketika dia selesai mengonfirmasi dan dia merasa nyaman, dia pun sudah langsung bisa lelarian dengan teman-teman barunya. Namun ketika ia merasa nggak nyaman, dia lebih memilih gelendotan di dekat orang tuanya atau asyik bertualang sendiri. Bahkan jika disuruh memilih; main sama teman atau main sama orang tuanya, dia dengan semangat bakal menjawab "aku mau main sama ayah bunda." Bersyukur Ifa menganggap kami sebagai teman asyik buat bermain. Semoga ke depannya kami juga tetap bisa menjadi sahabat untuk dia.

Saat bersama teman-temannya, dia pun mudah berempati dan berbagi. Dia juga mulai mengerti mengenai kepemilikan dan mempertahankannya ketika direbut paksa oleh temannya. Hanya kami perlu lebih banyak menumbuhkan keberanian dalam dirinya ketika ada temannya menggoda (mengejek). Saking gampangnya cemberut dan ngambek kalau digoda, teman-temannya jadi sering banget godain dia, hihi.

Dia pecinta tayangan Laptop Si Unyil, Si Bocah Petualang, Dunia Binatang, acara-acara masak dan petualangan. Meski sekarang kami nggak pernah nonton televisi, Ifa bisa mengaksesnya di YouTube, tentu saja dengan ijin kami dan ketentuan yang berlaku.

Berhubung masih lima tahun, kami sendiri masih menggali apa saja potensinya, apa saja minat bakatnya dengan mengajaknya ikut banyak kegiatan. Pada dasarnya dia suka disuruh belajar apa saja, entah itu mengaji, menyanyi, atau membaca, cuma orang tuanya yang belum konsisten dalam prosesnya. PR banget nih buat aku sebagai ibunya. That's why aku belum siap untuk homeschooling dan masih membutuhkan sekolah yang sevisi-misi denganku. :)

Saat ini kalau ditanya besok gede mau jadi apa, Ifa dengan tegas menjawab "aku mau jadi pemasak (chef), tapi masak cupcake sama coklat aja. Terus aku mau jadi guru sama penulis. Nanti bukuku dijual di gramedia." Aamiin. Dan sepertinya dia benar-benar menunjukkan minat ke arah sana. Sudah tiga kali ini dia ikut cooking class, dan enjoy banget. Sayangnya aku nggak begitu suka ke dapur, jadi belum bisa memenuhi janji untuk belajar bikin cupcake dan kue bolu sendiri di rumah. Palingan aku ajakin bikin brownies instan, hehe.

Akhir-akhir ini juga dia sering pinjam laptopku, "aku mau nulis, bun. Mau bantuin bunda. Jadi kalau bunda harus nemenin adik, aku aja yang nulis." Speechless banget waktu dia ngomong begitu. Tersentuh bangeeet. Meski ngetiknya asal-asalan wong dia belum bisa baca tulis, baru hafal beberapa alfabet. Dia baru bener nulis namanya sendiri; IFA. Yup, aku memang belum fokus ngajarin calistung ke doi. Sekolahnya pun tidak mengajarkan calistung. Jadi selama ini aku kasih calistung saat dia ingin tahu. Selebihnya, nanti ada saatnya sendiri. Meski belum bisa baca, dia sangat enjoy kegiatan membaca. Tiap mau tidur selalu nodong minta diceritain sama ayahnya. Kalau lagi pengen baca, dia ambil setumpuk buku dari ruang baca dan dibawanya ke kamar. Kalau sudah mulai tanya "ini apa to bun bacanya", baru deh aku sounding untuk mau belajar keterampilan membaca.

Saat ini Ifa sedang berproses menjadi kakak. Bulan pertama dia beralih posisi dari anak satu-satunya menjadi seorang kakak, dia nampak begitu cemburu, sekarang pun sebenarnya masih, namun dia sudah mulai paham posisinya dan mengatasinya. Dia senang banget main sama adiknya, namun namanya juga anak lima tahun kadang belum bisa mengukur apakah cara bermainnya bahaya atau tidak. Pengen bisa gendong adiknya tapi nggak kuat, dan sebel kalau adiknya dikerumuni orang banyak dan digoda, "adiknya aku bawa pulang ya, Fa." Dia senang banget kalau baju, gendongan atau semua barang dia waktu bayi dipakai oleh Affan. Seakan-akan dia merasa bangga bisa memberi 'warisan' ke adiknya, hehe. Ifa pun nggak sabar nunggu adiknya bisa lari dan diajak main di luar. Ifa senang banget kalau adiknya ketawa karena dia, tapi kalau adiknya nangis dan dia nggak berhasil menenangkannya, ditinggal deh adiknya, "ah, adiknya diajak main, nangis kok bun."

Daya ingat Ifa cukup baik. Apa yang orang tuanya janjikan, katakan.. dia pasti ingat, apalagi kalau itu menguntungkan dia, hehe. Tapi kalau merugikan dia, suka pura-pura lupa. Well, pada dasarnya Ifa anak yang mudah diatur kok, aku yang perlu lebih banyak belajar untuk bisa jadi fasilitator yang baik untuknya.

Muhammad Rafanda Setiawan  (Affan) - Bayi gembul berumur enam bulan ini lagi seneng-senengnya main ludah dan mengeksplorasi semua benda di dekatnya. Diraih, dipegang, dilihat-lihat, masukin deh ke mulut. Affan juga baru saja belajar makan. Alhamdulillah, apa saja yang dikasih bundanya dia mau. Cuma setelah kenal buah, dikasih sayur agak disembur-sembur nih.

Awalnya aku mau memperkenalkan makan pada Affan dengan cara full Baby Led Weaning (BLW), tapi karena hari pertama ia mulai makan pas puasa, aku nggak bisa nemenin dia makan. Plus sepertinya aku perlu belajar suabar lagi kalau mau BLW karena bisa dipastikan bakal kotor dimana-mana. Tapi masuk di minggu kedua, Affan sepertinya memang lebih suka memegang makanannya sendiri daripada disuapin.

Memang sih ya, nggak boleh dibanding-bandingin, tiap anak punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun mengasuh anak kedua, mau tidak mau menjadikan anak pertama sebagai tolok ukur. Begitu juga saat aku merawat Affan. Meskipun secara fisik, baby Affan sangat plek ketiplek dengan baby Ifa, hanya beda jenis kelamin.


Cukup was-was ketika perkembangan motorik Affan berbeda cukup jauh dengan si kakak. Saat Ifa tanpa banyak distimulasi sudah mencapai milestone-nya, Affan bener-bener menantang aku untuk rutin memberikan stimulasi agar dia bisa tetap mencapai milestone sesuai waktunya. Dengan usianya yang sudah mencapai 6 bulan, setidaknya Affan harus sudah lancar berguling dan mulai belajar posisi mau merangkak (onggong-onggong). Namun hingga saat ini, kalau tidak diminta berguling, Affan adem ayem saja berada di posisi terlentang sambil ngoceh atau mainan ludah.

Dari hasil membaca artikel-artikel tumbuh kembang bayi dan berkonsultasi dengan terapis tempat Affan baby spa, aku tidak perlu khawatir karena memang tingkat perkembangan bayi ada yang berbeda-beda. Apalagi kalau mengingat Affan lahir maju hampir sebulan dari HPL, aku hanya perlu bersabar untuk terus memberikannya stimulasi yang tepat.

Toh, kalau aku lihat bukan Affan tidak bisa tengkurap dan guling-guling, dia merasa belum membutuhkan dan belum ingin melakukannya. Beberapa hari ini kuevaluasi, kulihat Affan mulai tertarik miring sendiri dan meraih mainan yang kuletakkan di atas kepalanya, sebelumnya mah dia cuek aja ketika kuminta doi meraihnya. Saat berada di posisi tengkurap dan merasa nggak nyaman, Affan juga mulai bisa kembali ke posisi terlentang. Kalau dibantu, ia juga mulai mau berpose onggong-onggong seperti mau merangkak.

Meski belum lancar guling-guling, Affan sudah mulai belajar duduk. Dia suka sekali jika diposisikan duduk. Dia juga sudah mulai bisa duduk dengan bertumpu pada kedua tangannya hingga hitungan 10. Begitu juga posisi berdiri, dia sudah tegak dan kakinya menapak dengan jari-jari terbuka lebar. Bahkan kadang dia sudah bisa maju selangkah dua langkah ketika diposisikan berdiri.

Affan suka sekali diajak cerita, dan nggak suka dicuekin. Ketika tertarik akan suatu hal, dia akan mengamati dengan seksama dan detil, sampai tidak berkedip, terutama melihat orang berbicara. Affan sangat ramah dan sumeh kepada siapa saja, bahkan orang nggak melihat dia pun dia senyumi. Meski baru enam bulan, Ifa sudah bisa mengalirkan rasa sayangnya ke sang kakak. Dia bisa tertawa hingga terbahak-bahak ketika kakaknya berjoged-joged atau melucu di depannya, padahal kalau aku atau ayahnya yang melakukan hal tersebut, Affan lempeng aja, kalaupun ketawa nggak seheboh saat Ifa yang beraksi. Affan juga bakal ikut nangis kalau kakaknya nangis. Setiap kali kakaknya pulang sekolah, saat itu juga Affan akan bangun dari tidurnya dan menyambut sang kakak. Affan bakal sedih kalau kakaknya tiba-tiba pergi dari dekatnya. Kalau sudah di dekatnya, Affan mulai bisa menggoda si kakak, entah menarik rambutnya atau mainan muka si kakak. Pokoknya lucu banget melihat bonding antara Ifa dan Affan.


Saat ini dua gigi depan Affan mulai muncul. Dia bisa membedakan kebutuhannya; kapan ASI nya cukup untuk dia dan kapan dia butuh minum susu dari botol. Dia juga mulai bisa merasakan suka dan tidak suka terhadap makanan. Kalau suka dengan makanannya, dia akan cepat menelannya dan segera minta disuapi lagi. Namun ketika dia tidak begitu suka dengan makanannya, pasti disembur-sembur.

Berhubung Affan masih enam bulan, tentu saja aku masih butuh banyak waktu untuk mengenalnya lebih dekat dan menanti potensi-potensinya muncul. Aku selalu suka menanti-nanti setiap perkembangan anak-anakku, seperti perjalanan mencari harta karun, hehe.

Dari Ifa dan Affan aku belajar secara langsung bahwasanya anak-anak memang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Rasa ingin tahu, semangat belajar yang tinggi, bibit kemandirian, pintar, pantang menyerah, rajin, sadar bahwasanya mereka adalah makhluk Allah - semuanya sudah terinstall di dalam diri mereka. Sebenarnya aku dan ayahnya cuma tinggal menjaga fitrah ini dan mengarahkannya.

Sayangnya, karena kurangnya ilmu kami, karena kurang konsistennya kami, perlahan ada beberapa fitrah yang menghilang. PR banget buat kami untuk mengembalikannya dan menjaga fitrah yang masih terawat dengan baik. Bersyukur kami mulai kenalan dengan ilmu-ilmu parenting dan teman-teman yang full support saat anak-anak masih di usia emasnya, jadi kami bisa mengejar ketertinggalan kami. Semoga bisa meletakkan pondasi yang kuat pada anak-anak. Aamiin.

Yang pasti aku percaya, anak-anakku dipercayakan kepadaku oleh Allah bukan tanpa sebab, Allah memilihku sebagai ibu dari Ifa dan Affan pasti ada alasan besar. Setidaknya yang aku tahu, akulah yang paling mengenal karakter anak-anakku dan aku bisa menjadi sahabat untuk mereka menemukan potensinya.

Lebih Dekat dengan Diri Sendiri

Terkadang kita merasa telah begitu mengenal diri sendiri, namun tidak selamanya begitu. Aku sendiri selalu bingung kalau ditanya apa potensiku, terkadang lebih mudah untukku menemukan apa saja kekuranganku dibandingkan apa potensiku.

Kalau tidak karena kelas matrikulasi yang sedang kuikuti ini mungkin aku juga tidak berusaha tahu tentang potensi yang aku miliki.

Pada dasarnya aku suka membaca, terutama jika itu berkaitan dengan parenting, psikologi dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan agama islam; entah itu soal tauhid, adab, fiqh dan sebagainya. Meski begitu aku juga belum bisa lepas dari novel. Saat ini novelis kesukaanku adalah novelis sejuta umat; Tere Liye. Kagum dengan tulisan-tulisannya yang begitu kuat dan kaya. Dua novel favoritku dari Bung Tere adalah Pulang dan Tentang Kamu. Selalu envy melihat mereka yang bisa menulis cerita dengan begitu runtut, fiksi namun berasa nyata, seolah-olah pembaca ikut masuk ke dalam cerita tersebut.

Meski lulusan Sastra Inggris, nggak tahu kenapa sekarang aku nggak tertarik berdekatan dengan bidang ini. Aku sendiri berhenti memberikan les kepada para tetanggaku karena merasa tidak enjoy dengan aktivitas itu. Justru aku kini mulai enjoy dengan kegiatan mengajar POS PAUD di RW-ku, padahal dulu aku paling anti disuruh mengajar anak-anak, apalagi anak usia dini. Entahlah, sejak punya anak dan belajar parenting, aku malah lebih tertarik pada pendidikan anak-anak, berhubung anak-anakku masih di usia dini, makanya aku pun lebih menikmatinya.

Memiliki bayi membuatku terbatas saat hadir pada acara kajian atau seminar. Yang biasanya bisa mencatat poin-poin di buku catatanku, mau tidak mau aku hanya mengandalkan pendengaran dan ingatanku untuk mencatat ilmu-ilmu yang baru aku dapat. Tentu saja ketika sampai di rumah, aku harus segera mengabadikan ingatanku itu ke blog atau status facebook agar tidak segera lenyap dimakan waktu.


Meski dibandingkan dengan menulis, aku jauh lebih suka menulis. Namun bukan berarti aku tidak bisa berbicara di depan umum. Dengan pengalamanku berteater sejak SMA, berkecimpung di berbagai organisasi, mengikuti beberapa perlombaan karya tulis ilmiah yang mengharuskanku untuk mempresentasikan hasil karyaku, menjadi pembicara seminar saat kuliah, aku cukup terampil berbicara di depan umum.

Aku orang yang fleksibel. Bekerja dengan orang lain hayuk, kerja sendiri pun no problemo. Membaur dengan sekumpulan orang, hayuk. Mengikuti acara hingga selesai tanpa ada yang kukenal satu pun, hayuk. Pada dasarnya aku kurang begitu suka memulai pembicaraan terlebih dahulu, namun saat ada yang mengulurkan pertemanan, aku akan sangat antusias menyambutnya. Dan ketika sudah kenal dekat, aku bisa sangat hafal apa-apa saja kesukaan temanku, dan kapan ulang tahunnya. Aku sangat senang jika bisa menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat pada teman atau keluarga yang sedang berulang tahun.

Aku suka mendengarkan orang lain bercerita tentang hidup mereka, entah itu teman sebayaku atau murid-muridku saat mengajar di salah satu SMA. Dari sana aku belajar banyak hal, juga belajar menyikapi bagaimana ketika masalah yang sama hadir dalam kehidupanku. Aku juga dengan senang hati memberikan solusi jika memang diminta.


I just love learning, terutama jika itu bisa meningkatkan kualitas diriku. Aku tidak ingin berada di titik yang sama setiap harinya, aku haus belajar dan ingin bisa lebih baik lagi, di segala hal dalam kehidupan. Aku tidak merasa segan untuk mengeluarkan sejumlah uang demi mendapatkan ilmu dan wawasan baru, meski aku harus menabung dulu berbulan-bulan.

Ilmu hanya akan menguap jika tidak diamalkan dan dibagikan. Oleh karenanya jika ada kesempatan untukku berbagi atas secuil ilmu atau informasi yang aku miliki dan bisa bermanfaat untuk sekitarku, aku akan senang sekali. Aku suka sekali berkecimpung di berbagai kegiatan, terutama jika itu bisa memberikan manfaat tidak hanya diriku, namun juga orang lain.

Bersahabat dengan Lingkungan dan Komunitas

Sejak 2010 aku sudah tinggal di rumahku yang sekarang. Setelah tidak tahan dengan lingkungan yang sebelumnya dimana aku merasa tidak memiliki privasi dan tetangga yang terlalu kepo serta ikut campur dengan urusanku, aku merasa  cukup cocok di lingkungan tempat aku tinggal sekarang.

Tidak sempurna, namun cukup memberikan kenyamanan untukku dan keluarga. Apalagi sekarang sedang dibangun musholla di dekat rumah, rasanya sudah cukup ideal untuk menjadi tempat tinggal dan membangun peradaban.

Sejak Ifa masuk PAUD, aku mulai mengikuti kajian mingguan. Dari sinilah relasiku berkembang dengan cepat. Ditambah dengan friendlist-ku di Facebook yang alhamdulillah lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya. Dari komunitas book advisor, aku mulai mengenal beberapa teman yang kemudian mengenalkanku dengan pelatihan-pelatihan parenting. Lalu, dari situ aku semakin luas mengenal teman-teman yang ghiroh-nya luar biasa untuk mendalami agama dan pendidikan anak-anak. Aku dipercaya mengelola komunitas alumni pelatihan Abah Ihsan (Yuk Jadi Ortu Sholih Community Semarang Chapter). Aku juga kemudian mengenal komunitas Homeschooling Muslim Nusantara dan Institut Ibu Profesional.

Di dunia tulis menulis aku mulai mengenal Ibu-ibu Doyan Nulis dan Komunitas Blogger Gandjel Rel yang banyak membantuku mengembangkan hobiku di dunia tulis menulis.



Aku mulai mempertanyakan maksud Allah mempertemukanku dengan teman-temanku saat ini, dan kontribusi apa yang bisa aku berikan kepada lingkungan tempat tinggalku. Ke depannya dengan jaringan pertemanan yang aku miliki, aku berharap bisa menularkan ilmu parenting ke para tetangga. Melihat anak-anak balita yang terkadang masih keluar rumah dengan baju minim hingga nampak auratnya, mengganti baju di luar rumah, menganggap anak-anak kecil berkelahi dan saling memukul itu wajar, remaja-remaja yang khusyuk dengan gadget dan game, ada suara hati yang terus memanggil-manggil untuk berbuat sesuatu.
It takes a village to raise a child
Ya, membutuhkan satu kampung untuk membesarkan seorang anak. Ketika orang tuanya abai, masyarakat sekitar abai, negara abai, jangan heran kalau generasi muda negeri ini mulai terkikis iman, akhlak dan semangat belajarnya. Harus ada yang mau bergerak untuk perlahan membenahi, harus ada yang mau repot untuk mengurusi anak orang lain, karena sesungguhnya dengan mengurusi anak orang lain secara tidak langsung kita mengurusi anak-anak kita sendiri dengan membangunkan tempat bergaul yang ideal bagi mereka.

Bismillah, meskipun masih samar aku mulai menemukan apa misi kehidupan dan keluargaku di dunia ini. Semoga aku bisa menerjemahkan kehendak Allah dengan baik dan bisa membangun peradaban dari dalam rumah, serta memberikan kontribusi kepada masyarakat di sekitar aku tinggal. Tentu saja dengan tujuan untuk menggapai ridho Illahi. Aamiin.

Huff, elap keringat. Panjang nian ya.. berasa bikin skripsi, hehe. Makasih buat yang sudah mampir dan mau ikhlas meluangkan waktu membaca celotehku ini. Semoga bermanfaat. Btw, kalau kalian sudah menemukan misi kehidupan atau tujuan spesifik mengapa kalian diturunkan Allah ke muka  bumi ini belum, pals?

Wassalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.




Referensi:

Materi Sesi 3 "Membangun Peradaban dari Dalam Rumah" Matrikulasi IIP Batch #4, 2017

4 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. setuju banget mbak...pendidikan awal anak memang berawal dari keluarga terdekat ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, kalau kata Ayah Edy.. Strong from Home. Insya Allah kalau udah kuat dari dalam, mau kemana2 ga masalah :)

      Delete
  2. anaknya yang bayi lucuuuuu bangettttt... semacam cikal bakal doyan diajak ngobrol dan hobi ngobrol gitu... mulutnya sampe menyong menyong... ihh.. salah cium dan salam cubit pipinya ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha.. Salam kembali buat tante kata dedek bayi :)

      Delete