header marita’s palace

Mendung di Sembungharjo (5)



Bagian 5 - Psikopat Itu…

Bau kopi menyeruak dari cangkir berwarna putih. Nikmat sekali. Pagi yang indah dengan sinar mentari yang cerah, ditemani dengan secangkir kopi panas yang khas. Sebuah kenikmatan yang sudah sangat lama kuidam-idamkan. Kenikmatan yang beberapa tahun ini terenggut oleh kebisingan-kebisingan dari depan rumah. Kebisingan yang sangat aku benci. Kebisingan yang memaksaku mengingat masa-masa tersuram dalam hidupku.

Namaku Shakuntala, panggil saja Sha. Aku menyukai kesunyian, dan kehadiran gadis berkulit hitam itu merusak kesunyianku. Sebagai seorang penulis aku suka menikmati hari-hari yang damai, sehingga aku bisa dengan mudah memetik ide-ide dari tangkai inspirasi yang Tuhan turunkan. Namun sejak gadis itu tinggal di seberang rumahku, kesunyianku lenyap. Pohon inspirasiku mati. Berkali-kali penerbit menghubungi dan mengomeliku karena semua tulisanku tak juga selesai. Kalaupun selesai selalu melebihi tenggat yang mereka tetapkan.

Bahkan satu per satu kontrak dibatalkan. Aku benar-benar menderita. Sempat aku berpikir untuk pindah saja dari rumah ini, namun kuurungkan niatku. Mengapa hanya karena satu orang tak penting itu aku harus meninggalkan rumah yang kucintai ini? Bukankah ia yang harusnya lebih tahu diri. Tinggal di tengah-tengah masyarakat itu sudah sepantasnya punya adab. Sebenarnya ia itu manusia atau bukan? Jangan-jangan benar kata para tetangga kalau dia itu anak genderuwo! Pantas saja perilakunya aneh!

Pagi itu seperti pagiku biasanya. Aku menyeduh kopi dengan air yang baru saja mendidih di atas kompor. Kutuangkan ke dalam cangkir kesayangan, uapnya membumbung tinggi. Aku sudah menemukan ide untuk novel terbaruku, tak sabar untuk mengeksekusinya. Lalu suara si gadis genderuwo itu membuyarkan semuanya. Saking kagetnya aku atas teriakan jahanamnya, cangkir kesayanganku berserakan di lantai.

Ada segumpal marah di dadaku pagi itu. Ideku lenyap. Mood menulisku hilang, dan cangkir kesayanganku pecah berkeping-keping. Semuanya karena dia, si gadis genderuwo sialan itu! Aku sangat membencinya, genderuwo itu harus dimusnahkan. Dadaku sesak karena amarah. Aku ingin teriak sekencang-kencangnya. Untung saja aku masih bisa mengontrol kewarasanku. Aku bergegas masuk ke kamar mandi, menghidupkan shower dan mengguyur kepalaku dengan air dingin.




Tiba-tiba ingatanku terlempar pada sebuah masa. Saat jam dinding berserakan di dinding. Saat bapak dan ibu saling menunjuk, bersumpah serapah. Piring-piring beterbangan. Aku terduduk lemas di kolong meja. Sesekali bersembunyi di balik kelambu kamar sambil menutup telinga. Bising. Berisik. Aku benci masa-masa itu. Aku tak mau kembali ke hari-hari menyeramkan itu. Aku ingin tenang, aku ingin kesunyian.

Setelah ratusan purnama aku mampu lari dari kebisingan-kebisingan hidup yang menyiksa, gadis genderuwo itu memaksaku masuk dalam kebisingan-kebisingan yang baru. Kebisingan-kebisingan yang ia ciptakan membuatku mual. Sehari, dua hari, aku masih bisa menahan diri. Namun setiap hari memasuki tahun keempat, aku semakin muak. Setiap aku berpapasan dengan dirinya, aku ingin merobek-robeknya tubuhnya dan kulumat hingga habis tanpa sisa. 

Hanya imajinasi. Nyatanya aku akan menyunggingkan senyum kepadanya. Seolah aku tak kenapa-kenapa. Ia tak pernah tahu kebisingan-kebisingan yang dibuatnya membuatku harus kembali menenggak pil-pil yang kubenci. Membuatku harus kembali bertemu dengan orang-orang berjas putih. Kesunyianku benar-benar terenggut olehnya. Aku harus mencari cara untuk membawa kesunyian yang kucintai kembali. Tentu saja satu-satunya cara adalah menghilangkan gadis genderuwo itu di muka bumi ini.

Dan semesta mendukungku. Tidak ada satu pun yang mencurigaiku sebagai pelaku. Seluruh warga telah bersatu padu mempercayai kalau Bu Firda adalah pelakunya. Sebenarnya kasihan juga Bu Firda. Aku tak bermaksud menutupi kesalahanku. Aku bahkan dengan sukarela akan mengakui perbuatanku. Sayangnya semua mata sudah terlanjur menghambur pada bu Firda. Dan bukan salahku kalau tak ada yang mempercayainya ketika ia mengelak. Mulut berbisanya yang sudah berkali-kali membuat orang lain sakit hati kini mendapat balasan yang setimpal. 

Aku pun tak merencanakan apa-apa saat meminjam pisau dapur milik Bu Firda. Aku sungguh-sungguh ingin memasak rawon pagi itu. Namun kebisingan yang dibuat gadis genderuwo menghilangkan mood memasakku. Hingga siang mood memasakku belum juga kembali. Aku malah melihat si gadis genderuwo di ujung gang. Jalannya tertatih, digandeng anak laki-lakinya yang tak diketahui siapa ayahnya. Entah kenapa aku seperti mendapat sebuah kesempatan yang manis.

Kuhampiri mereka dan kutawarkan bantuan. Dara tak menolak dan ikut masuk ke dalam rumahku. Kubuatkan secangkir teh hangat untuknya. Ia berceloteh tentang kelakuan Bu Firda yang keterlaluan, menyerempet dia dan anaknya hingga jatuh ke sungai. Beruntung sungainya mengering karena kemarau. Ia menyeruput teh yang kusajikan perlahan. Kubantu melekatkan plester di tangan dan kakinya. Sesungguhnya aku sudah muak dengan kepura-puraanku padanya. Lalu mataku bersitatap dengan pisau dapur bergagang cokelat milik Bu Firda. 



Kini kebisingan itu musnah sudah. Dan aku bisa duduk manis di teras, sambil mencecap kopi dan beberapa kudapan, sambil mengumpulkan ide untuk novel terbaruku; Mendung di Sembungharjo. Tentang kematian seorang gadis yang dibenci oleh seluruh warga di sebuah kampung. Mendung semakin menggelayuti kampung tersebut, saat sosok yang diduga sebagai pelaku pembunuhan tewas di sela-sela sesi interogasi, karena serangan jantung yang menyergapnya tiba-tiba.

***

Karena dengan menjadi penulis, aku bisa dengan bebas mematikan tokoh-tokoh yang kuhendaki.

Nama tempat, kejadian dan orang-orang di dalamnya hanya fiksi belaka.
Inspired by Basic Instinct the movies & things around my neighborhood.












Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com