header marita’s palace

Stop Screaming, Please!


Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Tulisan ini bakal full berisi tentang curcolan yang entah berfaedah atau tidak. Jadi kalau yang nggak suka baca curcolan, bisa skip saja wkwk.

Beberapa waktu lalu sesaat setelah menemani petugas pengecek jentik dari kelurahan berkeliling di dawisku, aku basa-basi sebentar dengan salah satu tetangga. Ya namanya jarang-jarang keluar rumah, mumpung keluar ngobrol sebentar lah.

Aku sedikit tergelitik ketika beliau bilang;

hidup kita itu urusan kita mbak. Jadi jangan sampai kita terpengaruh sama orang lain. Mau tetangga kita suka nyinyir atau kaya si xxx depannya mbak yang suka teriak-teriak itu, dibiarkan saja. Jangan sampai perilaku orang-orang nggak penting kaya gitu mempengaruhi kebahagiaan hidup kita.


Well, rada makjleb sih buatku. Bukan aku nggak setuju pendapat beliau. She's right. Happiness is about choice. If we choose to be happy, we will be happy. Namun ada beberapa kondisi, terutama buat orang-orang yang punya mental issues, satu hal kecil buat orang lain bisa jadi sebuah trigger untuk kembali pada sebuah pengalaman yang membuatnya trauma.

Biar ada bayangan, aku kasih sedikit clue. Bahwasanya tetangga depan rumahku suka sekali ribut. Dan ributnya itu udah ngalahin orang makan. Nggak kenal waktu dari pagi, siang, malam. Bahkan kadang jam tidur malam pun masih ribut. Ntar ribut sama si mbak, ntar lagi ribut sama ibunya, ntar lagi ribut sama anaknya, ntar lagi ribut sama ponakannya. Kalau kata orang-orang sih doi memang rada ‘nggak genep.’ Saat mengingat keadaan orang ini, kadang aku yo kasihan…

Masalahnya kondisi mentalku nggak selalu stabil. Ada kalanya aku juga merasa sangat exhausted entah karena kerjaan domestik yang nggak kelar-kelar, anak yang lagi rewel atau pesanan artikel yang numpuk. Dan mendengar orang teriak-teriak membuat pikiranku melayang pada…..


A. Saat di Rahim Ibu

Memang sih aku jelas nggak bisa mengingat apa yang terjadi saat masih berada dalam rahim ibu. Namun berdasarkan cerita beliau, waktu ibu mengandungku… ibu sering duduk di depan meja untuk memberi nilai pada PR murid-muridnya. Meja itu terletak tepat di dekat jendela. Dari jendela itu, ibu bisa langsung melihat rumah tetangga yang terletak bersebrangan dengan rumah eyang.

Kala itu, tetangga depan rumah eyang punya warung yang cukup besar. Awalnya sukses, namun perlahan bangkrut. Setiap hari ada saja debt collector yang datang menagih hutang. Setiap kali debt collector ini datang, mereka berteriak-teriak, mengeluarkan kata-kata kasar dan tak jarang melakukan kekerasan.

Hampir setiap hari ibu melihat hal tersebut. Secara tanpa sadar, negative vibes tersebut masuk ke alam bawah sadar dan mempengaruhiku. Aku lahir dan tumbuh menjadi anak yang mudah tantrum. Kalau sudah tantrum sangat mengerikan. Sampai dibawa ke orang pintar. Si mbah ini bertanya, “Waktu hamil ibu sering lihat orang teriak-teriak ya?” Ibu kaget kok si mbah bisa tahu.


Ibu hanya mengangguk. Lalu si mbah lanjut berkata, “Nggak apa-apa. Nanti kalau udah 5 tahun kan hilang sendiri.” Entah si mbah asal atau nggak, tapi sejak usiaku 5 tahun, aku memang tak lagi tantrum. Ya, kalau dari ilmu parenting sih emang gitu ya.. biasanya anak-anak kelar tantrum di usia 5 tahun.

Hingga suatu hari aku mendapat cerita dari seorang teman. Ada kisah di luar negeri, setiap tanggal tertentu orang tersebut selalu merasa depresi dan ingin mengakhiri hidupnya. Usut punya usut setelah dicari akar masalahnya, di tanggal di mana ia selalu ingin mengakhiri hidupnya adalah tanggal di mana sang ibu pernah ingin menggugurkan kandungan saat mengandung dirinya. Wow, sedahsyat itu ya?

Entah ada hubungannya atau tidak dengan masa saat aku masih di rahim ibu. Namun ketika aku sudah terpancing emosi, aku hampir selalu tidak bisa mengontrolnya. Kata-kata kasar dan keinginan untuk melakukan kekerasan selalu muncul. Menahannya butuh effort yang sangat besar. Ya, sejak usia 5 tahun memang aku tak pernah tantrum lagi, namun nyatanya bibit-bibit itu muncul kembali justru setelah aku pacaran dengan suami, menikah dan punya anak.

B. Masa-masa Kecil dan Remaja yang Mencekam



Kalau ini sudah sering aku ceritain  ya. Intinya sejak aku punya ingatan, sekitar umur 3 tahunan sampai aku duduk di bangku kuliah, melihat pertengkaran bapak dan ibu adalah hal yang sangat biasa buatku. Mereka saling berteriak, bahkan tak jarang ada piring dan perabotan yang melayang lalu pecah.

Hal ini membuatku insecure. Self worth-ku rendah. Aku tak percaya diri. Aku merasa jadi orang yang paling abnormal sedunia. That’s why meski punya sahabat pun aku lebih nyaman menikmati perjalanan sendirian. Aku nggak mau dikasihani. Aku nggak mau merasa iri ketika bermain ke rumah teman dan melihat keluarga mereka begitu hangat.

But I always say, almost everyday, to myself, “It is okay. You should be strong. You may not be weak. Orangtuamu boleh hancur, tapi kamu tidak.” Itu yang melecutku. Namun di satu sisi semakin hal itu melecutku, kenyataannya justru membuatku semakin lemah. 


Salahku yang tidak bilang pada kedua orangtuaku that I was not okay at that time. I was afraid. I was so sick and tired. Salahku karena aku diam saja dan tak menjelaskan perasaanku pada mereka. Aku terlalu takut untuk membuat mereka khawatir atau takut bahwa perasaan ini tak berharga bagi mereka.

Begitu juga saat bapak akhirnya memutuskan menikah lagi. Tak ada satupun yang bertanya tentang pendapatku, apa yang aku rasakan atau apa yang aku inginkan. Semuanya cuma bilang, “sabar.”

Tanpa sadar semua emosi negatif terpendam dalam alam bawah sadar. So deep inside. Tapi bom akan tetap menjadi bom. Pada saatnya bom itu bisa terpicu dan membakar diriku sendiri. Bom di dalam diriku mulai mudah pecah ketika aku mulai berhubungan dengan kekasih hati yang sekarang menjadi ayahnya anak-anak.

Alhamdulillah suamiku orang yang sangat sabaaaaaar banget menghadapi istrinya yang ‘sakit’ ini. Sampai dua-tiga bulanan ini aku merasa sedang mengalami mental breakdown yang cukup mengganggu. Video dari Marshanda ini mungkin bisa menjelaskan ke teman-teman seperti apa mental breakdown itu:


Hampir semua yang dirasakan dan dikatakan Marshanda di video ini aku pun mengalaminya. Ada kalanya aku benar-benar malas melakukan apapun. Aku malas beranjak dari tempat tidur. Kerjaanku cuma main HP sesuka hati. Bahkan kadang anak-anak pun tak kupedulikan. Aku bahkan sempat ada di titik, mungkin mati jauh lebih baik. Toh, anak-anak punya ayah yang hebat. They will be okay without me.

So, intinya aku muak melihat tetangga depan rumahku itu ribut hampir setiap hari. Kalau dia ribut di dalam rumahnya sendiri, pintu ditutup, it’s okay… itu hak mereka… rumah-rumah mereka. Namun ketika mereka saling meneriaki, bahkan kadang sampai keluar rumah. It is really disturbing! Very very disturbing! Bukan karena hanya memekakkan telinga, tapi teriakan si tukang ribut ini sering memicu hal-hal yang ingin kulupakan muncul kembali di hadapanku. Tak bolehkah aku hidup tenang di sisa usiaku sekarang?

Sejak dalam kandungan udah lihat orang teriak-teriak, berkelakuan kasar. Hingga setelah lahir sampai kuliah harus melihat dan mendengar bapak ibu bertengkar. Haruskah sekarang aku teracuni kelakuan si tetangga depan ini?

Aku nggak tahu sampai kapan bisa menahan semuanya. Bukan sekali dua kali tetangga lain melabrak keluarga ini saking nggak berhenti ribut. Namun tetangga-tetangga lain yang juga merasa terganggu, tapi lebih memilih diam saja, jauh lebih banyak. Aku sendiri sebenarnya malas ribut sama mereka. Selain karena percuma… ya karena aku sadar kondisi si tukang ribut yang nggak bakal bisa diajak bicara, karena antara usia kejiwaan dia dan usia fisik nggak sejalan. 

Aku juga merasa berhutang budi sama mbaknya si tukang ribut ini. Dulu aku sering banget minta bantuan mbaknya untuk menengok ibu saat aku keluar rumah agak lama. Makanya ada rasa nggak enak sama si mbaknya. Tapi aku juga muak sama kelakuan adik dan ibunya. Kalau boleh ngomong kasar, aku pengen bilang, “numpang di rumah orang, tapi kok nggak punya adab sih?”

Lapor ke Pak RT? Many many times! Si tukang ribut ini sudah sangat tenar perilakukanya. Sudah banyak yang laporan ke Pak RT, mungkin Pak RT juga sampai bosen. Kayanya sih mulai besok kalau mereka teriak-teriak lagi as usual, bakal aku rekam. Biar Pak RT gimana rasanya dengerin orang kaya gitu setiap hari. Atau mungkin harus aku viralkan di medsos? Wkwkwk

Well, selain kesehatan mentalku. Jujur aku juga mikirin anak-anak. Kemarin aku sempat ngobrol sama salah satu temanku di whatsapp. Dia bercerita tentang trauma masa kecil yang dimilikinya efek karena tetangga!


Keluarga temanku cukup harmonis. Orangtuanya hangat, tak pernah bertengkar besar. Namun tetangganya ada yang hampir sama kaya keluarga si tukang ribut ini. Setiap hari selalu ada masalah, selalu bertengkar. Berkata kasar dan bahkan KDRT. Temanku yang notabene bukan anggota keluarga tetangganya itu menyimpan momen-momen yang perlahan masuk ke alam bawah sadar. Dia bercerita bagaimana ada banyak ketakutan yang muncul dalam dirinya gara-gara kasus tetangganya.

Dan jujur aku pun takut anak-anak dapat pengaruh yang nggak oke ketika setiap hari harus melihat si tukang ribut itu teriak-teriak. Mana si Affan kadang suka mengintip dari balik pagar rumah. Dulu Affan nggak pernah nangis sampai teriak-teriak, sekarang sejak sering mengintip kelakukan si tetangga dari balik pagar rumah, kalau nangis jadi mirip sama anaknya si tukang ribut itu.

Aku tahu nggak adil mengkambinghitamkan orang lain. Namun aku LELAH! Inti tulisan ini sih cuma itu. Jadi tolong jangan tulis kata-kata penyemangat berbentuk toxic positivity. “Sabar ya.. yang kuat ya… dsb.” Saat ini aku sedang tak butuh itu semua. Jika tak punya kata yang tepat, cukup baca saja curcolku yang ternyata panjang ini. Aku hanya ingin meyakinkan diriku bahwa it is okay not to be okay.  Aku suka video ini... 


Ada kalanya aku harus jujur bahwa tak selamanya aku bisa baik-baik saja. Ada kalanya aku pengen nangis sekencang-kencangnya saking nggak kuat harus sok-sokan okay dan merasa tak terganggu dengan teriakan-teriakan tukan ribut itu. Tapi sampai kapan? Karena berpura-pura baik-baik saja itu BERAT dan MELELAHKAN!

Kalau mau ikutin hawa nafsu, pengennya pindah deh dari sini. Aneh mungkin hanya karena satu orang jadi pengen pindah. Tapi ketika kepalaku udah semakin sering migren, pundakku mulai sering kaku… ini sudah sign yang cukup mengkhawatirkan. Entahlah mungkin aku harus ketemu psikiater or psikolog? Btw, pada akhirnya aku memberanikan nulis semua perasaan campur adukku di sini, semoga bisa membantuku untuk releasing all these negative things inside me. 

Hey you.. yes you and your mom... yang selalu ribut setiap hari, tapi terlalu sombong untuk mengakui bahwa kalian sudah menganggu ketenangan orang lain, juga terlalu sombong mengakui bahwa kalian tidak baik-baik saja. Jika kalian memang nggak mau orang lain ikut campur urusan kalian, so please selesaikan urusan kalian tanpa teriakan yang bisa sampai ke telinga kami. 

Namun jika kalian berani mengakui kalian tidak baik-baik saja... maka beri aku kesempatan mendengarkan pengakuan itu. Dan sebaliknya jika kalian kasih aku kesempatan sekali saja untuk berbicara dari hati ke hati, i would tell you how  your screaming is so hurt me, disturbing me, a lot! Kenapa kita nggak saling menyembuhkan? 


Well pals, I think this curcolan has been too long. Buat yang menyempatkan membaca, thank you so much. At least doakan saja semoga aku bisa melewati semua ini dengan baik-baik saja. Doakan semoga aku bisa memilih untuk berbahagia, tanpa terganggu apapun di luar sana.

Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

3 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Masya Allah mbak panjang ternyata ya cerita dirimu...
    Tapi emang yang paling serem efeknya ke anak2 juga ya kalau tetangga begini. Disamping mengganggu banget buat kita tentunya.
    Bicara tentang psikologi janin, aku baru tau loh ternyata sampai sejauh itu ya efeknya (perasaan pengen bunuh diri krn ibunya pernah mau menggugurkan) 😞

    ReplyDelete
  2. Hebat mbak bisa menulis sepanjang ini. Aku harus banyak-banyak belajar dari Mbak marita

    ReplyDelete
  3. Baca tulisan ini jd pengen curhat ke mbak ririt, eh 🤭
    Krn sepertinya aku belum selesai dengan diriku, jd sering banget si inner child atau chillhod trauma ini muncul dan berefek pada pengasuhan kedua anakku

    ReplyDelete