header marita’s palace

Ini 3 Tahap yang Kulalui untuk Menyembuhkan Luka di Hati

3 tahap menyembuhkan luka
Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Apakah teman-teman termasuk penikmat setia The World of Married (TWoM), drakor yang berhasil menembus rating tinggi di negara asalnya? Bahkan di Indonesia TWoM pun menjadi hysteria tersendiri. Nampaknya tayangan dengan jenis seperti ini masih menjadi favorit untuk beberapa kalangan.

Aku pun awalnya ikut menonton. Bukan karena tertarik, karena jujur tema-tema perselingkuhan adalah tontonan yang aku hindari. Ketika pada akhirnya aku memutuskan menonton, aku ingin tahu sekuat apa aku bisa menikmati tayangan semacam itu. Hampir sebagian besar orang misuh-misuh setiap kali selesai menuntaskan episode demi episode dari TWoM. Mengutuk si Da Kyung, pelakor tanpa akhlak di drakor itu.

Bagaimana denganku?

Setiap satu per satu episode kutonton, aku bergetar. Sebagian kesadaranku menatap layar handphone mengikuti jalinan cerita di depan mata. Sebagian lainnya membawa ingatanku pada potret buram di masa lalu. Tiba-tiba aku sesenggukan sendiri. Dadaku terasa sesak dan menangis habis-habisan.

Untung saja aku lebih sering nonton drakor tengah malam, jadi anak-anak dan suami sudah tidur, jadi nggak ketahuan deh lagi lebay, wkwk.

the world of married as trigger
Pada akhirnya ketika aku sadar drama ini jadi trigger untukku mengingat hal-hal yang tak seharusnya kuingat-ingat lagi, aku memutuskan stop menonton di episode kedelapan. Aku tak lagi mengikuti drakor tersebut dan memilih maraton nonton Itaewon Class yang lebih berenergi positif. Ketika TWoM tamat, aku sengaja menonton episode terakhir, hanya ingin tahu bagaimana endingnya.

Sebuah ending yang penuh beragam persepsi. Namun dari apa yang kutangkap, sebagai seorang anak yang pernah ada di situasi mirip keluarganya Tae Oh dan dr. Jin Woo, aku bisa mengerti kenapa Lee Joon Young pada akhirnya memilih lari dari kedua orangtuanya.

Melelahkan. Hidup dalam sebuah keluarga dengan perselingkuhan dan pertikaian itu melelahkan! Hampir sebagian besar anak dari keluarga seperti ini memilih lari. Entah itu lari dalam arti sebenarnya, benar-benar minggat dari rumah karena udah nggak betah menghadapi kenyataan. Atau ‘lari’ seperti yang aku lakukan.

Terlihat kuat dari luar. Menampilkan sosok yang terlihat baik-baik saja. Namun sejatinya jauh di dasar jiwa hancur serapuh-rapuhnya. Entah itu lari atau ‘lari’, tetap saja ada saatnya berhenti. Karena luka akan semakin membesar dan membakar diri ketika kita terus berlari. Di satu titik, mau tak mau kita harus berhenti, dan harus mau menerima serta menyembuhkan luka di dalam diri.

Tiga Tahap Proses Self Healing

Dari beberapa kelas self healing yang pernah aku ikuti, ada benang merah yang bisa kuambil. Bahwasanya ada tiga tahap proses self healing yang harus dijalani.

3 tahap self healing

Proses 1: Menerima dan Mengakui

Tahap pertama dalam proses self healing yaitu mau menerima dan mengakui rasa sakit tersebut. Pada saat kejadian, kita cenderung ‘lari’. Ketika kedua orang tua bertikai, kita nggak berani mengungkapkan rasa sedih dan kecewa. Kita pendam dalam dan semakin dalam. Lalu memilih memakai topeng that I am fine. Pertikaian mereka nggak akan mengganggu.

Atau ketika kita kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidup, kita tak berani berkata aku sedih. Apalagi ketika ratusan pelayat dalam pelukan dan salamannya bilang, “sabar yaa.. yang kuat.” Tak ada satu pun yang memberi ruang untuk merasakan kesedihan dan kehilangan. Sementara ketika satu per satu pelayat pergi, life must go on. Ada anak-anak yang masih harus diurus, ada suami yang nggak mungkin dianggurin lama-lama.

Dan kita nggak sempat menerima segala sesak di dada, apalah lagi mengakui perasaan yang ada.

beranikan diri untuk mengakui rasa kecewa
Sejak kecil, sebagai anak dan cucu pertama, tanpa sadar aku selalu merasa dituntut untuk selalu jadi sosok yang kuat dan tegar. Tak ada ruang bagiku untuk boleh merasa sedih dan kecewa. Sebagai seorang mbak, aku harus menjadi contoh, entah itu buat adik kandung atau adik-adik sepupuku. Setiap kali aku mencoba memberikan sinyal bahwasanya i’m not okay, aku akan dianggap sedang “memberontak”.

“Lari” pun hanya membawa lelah berkepanjangan. Di masa-masa masih muda dulu, awareness tentang kesehatan mental belum seperti sekarang. Hingga akhirnya ketika menjadi seorang ibu, bom waktu itu meledak. Ya, sakit yang terus-menerus ditekan sedalam-dalamnya akan tetap meminta untuk diakui.

Meski terlambat, pada akhirnya aku berani untuk mengatakan aku terluka, aku sakit, aku marah. Setidaknya pada diriku sendiri. Sebenarnya mencoba menerima dan mengakui rasa sakit sudah kulakukan secara intense, hanya saja karena waktu itu dilakukan secara tidak sadar, hasilnya pun tak seperti yang diinginkan. Proses menerima dan mengakui rasa sakit biasanya kulakukan dengan menulis ekspresif.

menulis ekspresif
Waktu masih sekolah dulu aku rajin menulis diary. Ternyata ini salah satu poros yang menjadi sumber kekuatanku. Dulu manalah tahu tentang menulis ekspresif ye kan? Tahunya ya menuliskan apa yang ada di hati, uneg-uneg hari itu, dan meluapkan dalam tulisan. Lambat laun, sekarang ini menulis ekspresif menjadi sarana paling tepat buatku menjalani proses penerimaan dan pengakuan setiap rasa yang muncul di hati.
Menulislah secara sangat bebas, tanpa mempedulikan struktur kalimat dan tata bahasa. Niscaya Anda akan terbebaskan dari segala deraan batin. (Dr. James W Pennebaker)
Bentuk menulis ekspresif bermacam-macam ya, namanya saja ekspresif, ikuti saja apa yang ada di hati. Bisa jadi nantinya akan menghasilkan puisi, cerpen, jurnal syukur atau apapun. Dan akan lebih mengena ketika ditulis langsung dengan tangan, bukan diketik ya, pals.

Ada seorang teman yang juga konselor pribadiku menyampaikan menulis ekspresif juga bisa dengan meluapkan sebebas-bebasnya yang ada di kepala dan hati, lalu setelah itu dirobek atau dibakar. Atau boleh juga dengan disimpan di sebuah amplop atau toples, agar bisa dibaca ulang beberapa tahun ke depan, saat kondisi kita sudah lebih baik. Apa yang kita rasakan saat membaca ulang catatan tersebut? Masih terasa sakit dan kecewa atau justru bersyukur dengan apa yang pernah dilewati?

Proses 2: Memaknai

tahap memaknai dalam proses menyembuhkan luka
Setelah tahap menerima dan mengakui segala rasa yang berkecamuk di hati telah terlalui dengan baik, kita bisa menuju ke tahap kedua, yaitu tahap memaknai. Setelah mampu menerima segala takdir yang terjadi dan yakin bahwa takdir Allah selalu baik, saatnya untuk memberikan makna atas segala peristiwa yang telah terjadi. Baik itu peristiwa yang mengguratkan senyum, juga peristiwa yang menggoreskan luka.

Kita akan kesusahan memaknai segala macam peristiwa hidup ketika kita masih belum berhasil benar-benar menerima dan mengakui segala perasaan yang ada di hati. Masalahnya, memaknai peristiwa yang terlihat baik dan indah terasa sangat mudah. Namun memaknai peristiwa yang meninggalkan luka dan trauma tentu saja butuh usaha yang berkali lipat.

Pada akhirnya ketika kita sudah berhasil memaknai setiap peristiwa yang terlihat buruk, kita akan bisa berkaca bahwasanya hal-hal indah dalam hidup itu sebenarnya jauh lebih banyak kok. Sungguh sayang jika kita terlampau sering terjebak dalam peristiwa-peristiwa buruk.

Sungguh melegakan ketika pada akhirnya aku bisa menyadari makna mengapa harus melalui masa kecil yang sangat menyesakkan. Allah ingin aku belajar untuk menjadi orangtua dan pasutri yang lebih baik.

self talk sebagai bentuk memaknai
Kehilangan ibu empat tahun lalu sampai saat ini masih sering membuatku limbung. Tapi ketika Allah menghadapkanku dengan pandemi ini, aku bersyukur berkali lipat. Sungguh tak bisa kubayangkan jika ibu masih ada dan harus melewati pandemi ini. Bahkan untuk orang sehat saja, masa-masa ini begitu sulit, apalagi kondisi ibu yang sakit. Belum lagi fisik ibu tentu jauh lebih rentan. Aku juga bersyukur setidaknya banyak orang bisa mengantarkan ibu di hari kepergiannya. Mengingat di saat pandemi seperti sekarang, proses pemakaman pun prosedurnya khusus dan terbatas.

Dalam tahap memaknai, aku biasanya lebih suka menggunakan cara self talk. Buat tipe orang yang thinking introvert sepertiku, yang susah dikasih tahu sama orang dan keukeuh dengan jalan pikiran sendiri, self talk jauh lebih mempan.

Biasanya sih self talk kulakukan setelah nangis sesenggukan karena menerima dan mengakui kekecewaan di dalam diri, lalu ngomong sama diri sendiri bahwasanya it is okay that you are not okay. Lalu kasih apresiasi ke diri sendiri karena berani jujur mengakui perasaan tersebut. Juga memberikan motivasi kepada diri sendiri.
Karena sejatinya tidak ada motivator yang lebih baik selain diri sendiri. Orang lain mau memotivasi kita seperti apapun, kalau kitanya belum tergerak untuk sadar, ya sama saja bohong.

Proses 3: Memaafkan

memaafkan sebagai tahap ketiga dalam self healing
Tahap selanjutnya setelah mampu menerima dan memaknai yaitu memaafkan. Dan buatku ini yang masih jadi PR hingga hari ini. Menerima dan memaknai sudah bisa terlalui. Namun memaafkan pihak-pihak yang pernah menorehkan luka, bahkan memaafkan diri sendiri atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi, masih begitu sulit kulakukan.

Biasanya aku banyak-banyak membaca ayat sejenis ini untuk membuatku ingat bahwasanya memaafkan jauh lebih baik. Allah Sang Pemilik Kehidupan ini saja maha pengampun, masa iya aku nggak mampu memaafkan orang lain dan diriku sendiri.

Saat aku berproses memaafkan bapak, aku stop menulis hal-hal buruk tentangnya dan aku menulis lebih banyak hal baik tentang beliau. Cara itu sangat membantuku untuk membuat frame baru tentang bapak. Bahwasanya ternyata lebih banyak hal baik yang pantas diingat daripada hal-hal buruk. Mengingat dosa-dosaku sendiri juga menjadi cara agar aku bisa lebih mudah memaafkan kesalahan orang lain. Aku saja penuh salah dan dosa, aku saja dimaafkan oleh mereka yang kusakiti, kenapa aku tak bisa memaafkan orang lain?

Namun jujur hingga saat ini aku masih belum bisa memaafkan satu nama, karena menurutku ia pun tak pernah merasa bersalah. Masih menjadi PR ku saat ini untuk bisa memaafkannya. Aku hanya berharap dia tak menambah luka baru, karena aku takut jika sampai mati harus membencinya.

Selain satu nama yang tak ingin kusebut itu, aku juga masih gagap memaafkan diriku sendiri hingga saat ini terkait kepergian ibu. Aku merasa gagal menjadi seorang anak. Masih banyak kata seharusnya yang muncul di pikiranku. Dan itu juga yang membuatku sampai detik ini semakin mudah limbung, mudah jatuh sakit dan tak stabil secara emosi.

tahap memaafkan adalah tahap tersulit dalam proses self healing
Doakan aku ya, pals.. semoga tahap ketiga ini bisa segera kulalui. Karena sungguh aku pun ingin segera bernafas lega. Karena terhimpit dalam rasa benci sungguh menyesakkan. Pernah membaca sebuah infografis, "kenapa kita selalu mengingat orang yang kita benci? Karena Allah menginginkan kita untuk memaafkan, bukan untuk terus menghukum dia."

Begitu juga kenapa Allah membuatku terus mengingat hal-hal yang pernah kulakukan dan sangat aku benci. Pasti itu karena Allah ingin aku bertaubat, lalu memaafkan diri sendiri, dan bukan malah terus-terusan mengutuk diriku sendiri. 
Self healing bukanlah proses yang instan. Tapi sebuah proses yang berkelanjutan. Setiap hari harus selalu diperbaiki niatnya agar tetap on the track.
Btw, di antara sekian banyak jenis self healing, membuat lifeline, menganalisa VAKOG/ TFAN dan membuat jembatan mizan adalah cara paling cocok dalam membasuh luka pengasuhan demi kesehatan mental. Kalau teman-teman punya cara self healing favoritkah? Boleh dong dishare di kolom komentar.

Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

19 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. aamiin sekiga bisa segera kembali bernafas lagi :)

    ReplyDelete
  2. Aku setuju dgn perkataan dr.james menulis dengan bebass untuk memghilangkan deraan batin. Dengan menulis uneg2 di hati plong rasanyaa

    ReplyDelete
  3. setuju, apa yang dilihat didengar secara nggak langsung bisa kasih pengaruh, jadi mending lihat dengar yang seru-seru aja, kalau aku nonton drakor yang lucu aja hahaha

    ReplyDelete
  4. kalau sy drakor menajdi pilihan utnuk hiburan dn carinya yg nggk berat di otak dn hati haha. sty setuju skli sma point menerima dn memafkan walaupun terkadang sulit :'

    ReplyDelete
  5. Kalau aku salah satu hal yang kulakukan untuk self healing adalam menulis juga mbak meski setelah selesai dihapus, dibuang atau disimpan...tapi cukup membuat lega hati dna pikiran..buang hal negatif

    ReplyDelete
  6. Tiga proses yg kuyakin dijalaninya tak semudah dituliskan ya..lama tdk nya tiap tahapan tentu tergantung dg masing2 yg menjalaninya.. thx sdh berbagi ya..

    ReplyDelete
  7. Sama banget aku ga nonton twom lbh lanjut. Soalnya ya bisa related. It happened dan berasa membuka luka lama jadi skip aja. Kenyataannya di step menerima aja tuh yaAllaaah beratnya khan maen ya mbak :" semoga bisa ke step2 selanjutnya smpe hati ini tenang ❤️

    ReplyDelete
  8. Aku juga menghindari drama itu lebih banyak.mudharatnya untukku dan bikin perasaan memburuk. Aku juga suka self talk Rit, apalagi saat kecewa teramat sangat dan berusaha menguatkan diriku...peluuuk Ririt, doaku selalu untukmu say

    ReplyDelete

  9. Aku bukan penikmat drakor, Rit. Tapi tahu tentang TWOM itu karena banyak yang nyetatus.
    Aku kenal banget dengan keluarga yang suaminya berselingkuh bahkan sampai menikah dan punya anak. Istri pertama sempat marah, itu pasti ya. Tapi dia tak mau anak-anaknya menghakimi ayahnya, padahal anaknya udah besar semua waktu perselingkuhan terjadi. Istri pertama ini memiliki jiwa besar, memaafkan suaminya dan menerimanya di rumah, masih melayaninya, memaafkan 'madu'nya, anak dari madunya juga. Bahkan saat sekarang si anak ini suka ngerepotin keluarga ayahnya, si ibu ini hanya bilang, urusanku di dunia hanya pada bapak kalian. Anak itu memang aku nggak ingin kehadirannya, namun dia adalah saudara kalian. Masya Allah, misal aku yang ngalami belum tentu sebaik istri pertama ini.

    Intinya adalah memaafkan orang yang pernah menyakiti kita itu meski sulit masih bisa diusahakan ya. Namun memaafkan diri sendiri yang kadang susaaah banget. Tetap ingat, Ririt sedang berproses menjadi ibu yang baik untuk anak-anak. Ibumu pasti bangga melihat pencapaian Ririt saat ini, peluuuuk

    ReplyDelete
  10. Aku pernah tu pas lagi lelah hati nulis panjang lebar sambil nangis sesenggukan terus delete. Somehow perasaan jd lebih ringan. Ajaib ya tapi memang nulis tu self healing banget

    ReplyDelete
  11. Setiap hari kita menyembuhkan luka ya Mba, seperti kulit ari yg berganti tiap harinya tiap hari kita harus terus belajar menyembuhkan luka2 diri kita, berhadapan dgn dunia, dan berani menjadi orang yg baru

    ReplyDelete
  12. Meski kelihatan rame di luar, sebenarnya aku orang yg thinking introvert loh. Nggak ada yang bisa mempan mempengaruhi pikiranku. Hanya diriku sendirilah yang bisa membujuk untuk segera beranjak dari permasalahan yang ada.

    ReplyDelete
  13. aku pernah juga mbak pas lelah hati nulis berentet puisi dengan diksi yang menghujam, gak peduli bagaimana bunyi rimanya,itu tadi kayak yang mbak tulis gak usah memperdulikan aturan. eh ternyata bener..plong...

    ReplyDelete
  14. Setuju bgt ma quote yg tidak ada motivator yg baik kecuali memotivasi diri sdr..eh iya ternyata world of marriage bgs jg..tp ada pelakor bikin baper

    ReplyDelete
  15. Aku juga memilih menulis sebagai self healing.
    Hampir sama, Mbak. Rasanya aku belum bisa memaafkan orang-orang yang dulu bikin sakit hati. Aku juga masih sering nyalahin diri sendiri ��

    Semoga terus berproses biar sehat jiwa raga

    ReplyDelete
  16. Terkadang yang paling sulit bagi kita adalah memaafkan diri sendiri yang tak sempurna. Semoga kita selalu dimudahkan untuk berikhtiar menjadi lebih baik lagi ya

    ReplyDelete
  17. Halo Mbak Marita, I know you are strong woman. Dari kalimat yang mbak tulis

    Pada akhirnya ketika aku sadar drama ini jadi trigger untukku mengingat hal-hal yang tak seharusnya kuingat-ingat lagi, aku memutuskan stop menonton di episode kedelapan.

    Itu adalah pilihan yang paling bijak.
    Semangat mbak. Aku jadi kepo Itaewon apa itu? Hehe

    ReplyDelete
  18. Belum tertarik buat nonton TWOM sampai detik ini 🤭
    Baca tulisan mbak Ririt kaya bercermin aja, menggambarkan apa yang sebenernya pengen tak tulis tapi ko belum bisa juga 😂

    ReplyDelete
  19. Kalau aku nonton TWOM karena penasaran aja sih, Mbak. Menulis ekspresif ini dulu pernah aku lakukan waktu masih sering nulis di buku diary jaman SD - SMK sepertinya. Menulis ekspresif memang sedikit bisa membuat lega ya, Mbak.

    ReplyDelete