header marita’s palace

Mau Menjadi Ibu Peletak Pondasi Peradaban? Mulai Dari 3 Hal Ini!



Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Membicarakan ibu dan hubungannya dengan peradaban adalah hal yang tak akan habis dibahas. Sebagai guru pertama dan utamanya anak-anak, seorang ibu jelas memiliki peran penting dalam membangun peradaban. Maka tak heran jika ada quote "mendidik satu ibu sama dengan mendidik satu generasi."

Cukup dengan satu ibu yang mau dan mampu bersungguh-sungguh atas perannya, satu generasi akan aman berada di tangannya. Apakah kita bisa termasuk dalam golongan ibu yang seperti ini? Ibu yang tidak hanya mampu mendidik anak-anak kandungnya sendiri, namun juga mampu memberdayakan ibu-ibu lainnya untuk bisa berkolaborasi dalam membangun peradaban?

Jujur aku sendiri merasa masih sangat jauh dari kategori ibu pembangun peradaban. Masih banyak hal yang harus kuperbaiki dari diriku, dan masih banyak ilmu yang belum kumiliki. Namun jika boleh berbagi pendapat tentang bagaimana menjadi ibu peletak pondasi peradaban, kita bisa memulainya dari tiga hal ini.




1. Selesai dengan Diri Sendiri


Ketika sebuah cincin dilingkarkan ke jari manis kita oleh sang pujaan hati, apa yang terpikir saat itu? Bahagia? Berbunga-bunga? Membayangkan betapa indahnya membangun rumah tangga bersama dirinya? Namun pernahkah terbersit dalam diri kita saat itu, bagaimana mendidik anak-anak? Seperti apa anak-anak akan dibesarkan? Ilmu-ilmu apa saja yang harus kita miliki?

Sepertinya hampir sebagian besar dari kita tak memikirkan hal tersebut. Kita seringkali membangun rumah tangga tanpa ilmu. Maka aku salut sekali pada teman-teman yang mempersiapkan rumah tangganya dengan sebaik-baiknya sejak awal. Karena sejatinya mendidik anak-anak memang dimulai dari saat kita memilih pasangan. 

Kefakiran ilmu pada saat membangun rumah tangga biasanya akan berdampak pada proses pengasuhan anak. Biasanya kita akan asal comot gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua kepada anak-anak, padahal belum tentu gaya tersebut sesuai dengan zaman dan karakter anak-anak kita. Kita juga jadi rentan stress dan tak bahagia.


Namun hal paling berbahaya adalah ketika mulai membangun rumah tangga sebenarnya kita belum selesai dengan diri sendiri. Apa maksudnya? Bahwa kita masih memiliki luka-luka batin yang belum selesai, entah itu karena luka pengasuhan di masa kecil, trauma terhadap hal-hal tertentu, ataupun ambisi-ambisi pribadi yang belum tercapai. 

Hal-hal yang belum selesai ini mungkin awalnya terlihat tak mengganggu, namun perlahan bisa menjadi sandungan dalam proses membina rumah tangga dan pengasuhan anak-anak. Maka penting sekali untuk memastikan bahwa saat ini kita telah selesai dengan diri sendiri. Sehingga dalam proses mengasuh anak nantinya, kita tak lagi gampang marah hanya karena hal-hal kecil secara berulang, mengulang kesalahan sama yang pernah orangtua lakukan dan sebenarnya ingin kita hindari, atau malah menitipkan cita-cita yang belum tercapai kepada anak-anak.

Nah, coba dicek ke dalam diri masing-masing, adakah yang belum selesai dari diri sendiri? Kalau masih ada, segera tuntaskan dan let’s move on! Aku sendiri sampai detik ini masih terus berjibaku dengan inner child. Setidaknya dengan mengenal inner child yang ada di dalam diri, aku bisa lebih bersahabat dengannya, serta bisa lebih aware terhadap pemicu emosi-emosi negatif yang sering hadir tak pada tempatnya.

2. Mampu Memaknai Taat pada Suami


Ada alasannya kenapa aku menempatkan selesai dengan diri sendiri pada urutan pertama. Karena sesungguhnya ketika masih bermasalah di tahap pertama, menuju ke tahap kedua ini prosesnya sangat menantang. 

Nggak perlu jauh-jauh contohnya, aku sendiri saja lah. Di awal-awal pernikahan, boro-boro deh taat, yang ada setiap hari berantem terus sama suami. Konfliknya pun selalu sama setiap saat; tak percaya pada suami dan menyebabkanku posesif. Ternyata setelah proses penggalian yang cukup dalam, semua itu terjadi karena aku punya background broken home yang membuat pikiran alam bawah sadarku terdoktrin bahwasanya semua lelaki tak ada yang setia. 

Bahaya sekali jika tak segera diatasi. Suami pun juga jengah dong dituduh nggak setia setiap saat, sedang doi sudah berusaha semaksimal mungkin menjadi laki-laki terbaik. 




That’s why penting banget untuk selesai dengan segala luka, kesedihan, kemarahan, kekecewaan, dan ambisi-ambisi di masa lalu. Segera tutup buku semua hal itu ketika kita telah menerima pinangan sang pujaan hati. Dengan menyelesaikan benang-benang kusut tersebut, insya Allah kita jadi lebih mudah untuk memaknai wajibnya ketaatan istri terhadap suami.

Ridha Allah kepada perempuan yang sudah menikah terletak pada ridha suaminya. Maka jangan sekali-kali biarkan suami tertidur tanpa ridha atas sikap dan pelayanan kita di hari itu. 

Begitu wejangan para ustazah yang selalu terngiang di telinga, meski pada prakteknya…. susah banget bo! Dalam sebuah sesi Parenting Nabawiyah beberapa bulan lalu, Ustazah Poppy Yudhitia menyampaikan bahwasanya peran perempuan sebagai istri adalah yang paling banyak disebut di dalam Al Quran, yaitu sebanyak 55 %. Sedangkan peran perempuan sebagai pribadi hanya 16 % dan peran perempuan sebagai ibu 29 %

Artinya apa? 

Bahwa Al Quran telah memberikan petunjuk, jika ingin berhasil menjadi seorang ibu, maka kita harus bener dulu jadi seorang istri. Make sense! Kenapa? Seorang istri yang sudah berhasil taat kepada suami, artinya dia telah mampu menurunkan ego serendah-rendahnya demi memperoleh ridho Allah SWT. Karena sejatinya dia telah sadar bahwasanya ketaatannya pada suami adalah salah satu bentuk ketaatannya pada Allah. Maka biasanya akan tumbuh sisi keibuannya dengan lebih sempurna.







Insya Allah ketika peran istri telah dijalankan dengan sungguh-sungguh, Allah akan memudahkan urusan kita dalam mengasuh anak-anak. Apalagi kalau komunikasi dan kolaborasi dengan suami sudah terjalin dengan baik, visi misi keluarga pun bisa dibentuk sehingga proses pengasuhan anak bisa berjalan dengan lebih lancar. Ayah sebagai kepala sekolahnya yang menentukan gambaran besar ke manakah pendidikan anak-anak akan dibawa, dan ibu sebagai sang guru utama yang akan menjadi pelaksana dari rencana sang kepala sekolah.

Memang benar adanya bahwa untuk menjadi istri taat, dibutuhkan suami yang bisa berperan maksimal sebagai qowwam. Namun urusan suami sudah berusaha jadi qowwam atau tidak adalah urusannya dengan Allah, tugas kita sebagai istri ketika suami belum berperan sebagai sebenar-benarnya qowwam adalah melecut agar qowwammah-nya muncul. Salah satunya adalah dengan percayakan urusan nafkah keluarga kepadanya. 




Sudah menjadi hal biasa jika sekarang ibu-ibu yang lebih banyak belajar dari para ayah. Maka nggak heran ketika di rumah para ibu pengennya berbagi ilmu yang sudah didapatkannya agar suaminya pun juga ikut berubah. Sayangnya, seringkali kita para perempuan ini menggunakan cara yang kurang tepat, sehingga suami justru merasa tak nyaman karena merasa diceramahi.

Ustazah Poppy menyampaikan tiga cara yang sebaiknya dilakukan istri jika ingin merubah perilaku suaminya; 




Satu, tahan diri dari menasehati berlebihan. Bagaimanapun lelaki didesain menjadi pemimpin. Mereka tak suka didikte dan diceramahi. Gunakan kalimat-kalimat yang lembut. Contohlah bagaimana Khadijah yang memeluk Rasulullah SAW yang ketakutan sepulangnya dari Gua Hira. Beliau tidak ngomel karena suaminya tak pulang berhari-hari, bahkan langsung menyelimuti dan menenangkan Baginda Rasul.

Dua, ubah diri kita menjadi istri yang Allah ridhai. Intinya adalah fokus saja memberikan pelayanan yang terbaik pada suami. Kalau kata Pak Dodik Mariyanto, “Janganlah berbagi beban, berbagilah kebahagiaan.” Saat istri sudah tak terlalu banyak mengeluh dan mampu mengelola emosinya dengan baik, mampu menampilkan perilaku-perilaku yang lebih baik setiap harinya, insya Allah perlahan suami akan mengikuti,

Tiga, doakan pada Allah. Sesungguhnya Allah Sang Pemilik Hati, maka jika segala ikhtiar telah dicoba, namun suami belum juga ada perubahan, bermunajatlah padaNya karena hanya Allah yang mampu membolak-balikkan hati hambaNya. Minta kepadaNya agar suami kita bisa berperan menjadi qowwam sebenar-benarnya.

3. Menjadi Ibu yang Mau Meningkatkan Kualitas Diri




Ketika PR nomor 1 dan 2 telah selesai dilaksanakan atau setidaknya sedang berproses memperjuangkannya, barulah kita masuk ke tahap ketiga. Di tahap ini kita menyempurnakan peran perempuan dengan porsi 29 % disebutkan dalam Al Quran, yaitu sebagai seorang ibu. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada sekitarnya. Sebagai ibu, keluarga adalah yang paling berhak mendapatkan manfaat dari diri kita. Untuk bisa menebar manfaat sebagai seorang ibu, maka menurutku inilah yang harus disiapkan:

A. Belajar Ilmu Agama


Sebelum belajar ilmu-ilmu lainnya, ilmu agama adalah hal terpenting yang harus dimiliki oleh seorang ibu. Apalagi di zaman sekarang ini, di mana tauhid mulai tergerus, keimanan mulai mudah goyah karena perkembangan teknologi, ibu harus menyiapkan tameng pertama untuk anak-anaknya. Tameng terbaik adalah Al Quran dan Sunnah. 

Tentunya sebelum anak-anak kita paksa mengenal tuhan, nabi dan kitab sucinya, kita sebagai ibunya harus tahu dan dekat dulu. Mana mungkin mengenalkan tauhid pada anak, ketika kita sendiri masih gagap mempercayai Allah 100 %, sholat masih suka menunda-nunda, Al Quran pun sering lupa dibaca. Bagaimana mungkin kita mengajarkan anak tentang Allah mencukupkan rezeki setiap hambaNya ketika masih ada rasa khawatir di dalam diri besok makan apa saat menengok di dompet tak tersisa selembar rupiah pun.




Dengan mendalami agama, kita juga bisa belajar kisah-kisah perempuan hebat pada zamannya, ibunda-ibunda para ulama yang membesarkan putra-putranya dengan penuh keimanan yang teguh dan kuat. Sehingga tak ada waktu lagi untuk baper bab pengasuhan. Tantangan kita tak ada apa-apanya di banding perempuan-perempuan hebat tersebut. 

Belajar agama juga menjadi pengaman bagi diri untuk tidak keluar dari rel. Al Quran dan hadits telah mengatur semua bab kehidupan dengan sebaik-baiknya, termasuk soal pengasuhan anak. Dengan mempelajari Al Quran secara mendalam, kita jadi nggak mudah terjerat dalam tsunami informasi, karena bisa memilih dan memilah mana yang sesuai dengan agama dan tidak.

B. Belajar Ilmu Parenting


Tidak ada sekolah khusus untuk pengasuhan anak. Beruntung di zaman modern seperti sekarang, teknologi memudahkan kita untuk mendapatkan informasi dan ilmu-ilmu terkait mengasuh anak. Hanya dengan menjentikkan jari kita bisa mencari tahu bagaimana cara mengatasi anak tantrum, bagaimana cara weaning with love, bagaimana cara menjawab pertanyaan-pertanyaan unik dari anak-anak.




Teknologi juga memudahkan kita bertemu dengan banyak komunitas-komunitas parenting beserta para maestronya. Tinggal pilih mana yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi. Seminar, workshop, artikel-artikel, dan bahkan kuliah-kuliah whatsapp tentang parenting pun semakin banyak digelar. Bukan hal yang sulit sekali untuk belajar parenting zaman now. Pertanyaannya hanya MAU atau tidak meningkatkan kualitas diri kita sebagai ibu dengan mempelajarinya?

Karena pasti akan selalu ada bedanya orang yang mau belajar dengan yang tak mau belajar.

C. Menemukan Passion 


Sebelum menemukan passion anak, maka PR untuk para ibu adalah menemukan passion dirinya sendiri. Bagaimana bisa nanti membantu menemukan ‘mutiara’ di dalam diri anak ketika kita sendiri gagap ketika ditanyai apa yang kita sukai, apa yang membuat mata kita berbinar, dan apa yang bisa membuat kita lebih produktif.

Menemukan passion sejatinya adalah proses menemukan misi hidup. Menemukan misi hidup akan membantu kita menemukan gairah belajar dalam berproses sebagai seorang ibu. Ibu yang telah menemukan passionnya di dunia cooking & baking, bisa jadi perlahan dia akan fokus dalam menemukan ide-ide masakan sehat untuk keluarganya. Ibu yang menemukan passionnya dalam ranah literasi, mungkin dia akan bertumbuh menjadi penulis buku cerita anak.




Ibu yang mampu menemukan passion-nya berarti telah mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik, sehingga diharapkan ia pun akan mampu memandu anak-anaknya dengan lebih baik dan well prepared. Selain itu anak-anak akan merasa kagum kepada ibunya, hingga menjadikan ibunya sebagai seorang panutan. Betapa ibuku adalah perempuan cerdas yang selalu bisa menjawab segala kebingunganku. Betapa ibuku adalah perempuan kreatif yang selalu punya ide-ide masakan unik. Betapa ibuku adalah perempuan hebat yang mampu menggerakkan orang lain lewat cerita-cerita yang ditulisnya. 

Ingin dikenang oleh anak-anak sebagai ibu seperti apakah kita?

Sebuah perjalanan yang panjang untuk bisa menjadi ibu pembangun peradaban. Terlihat rumit, tapi bukan berarti tak mungkin. Mari segera mulai tiga hal di atas tanpa nanti. Usahakan yang terbaik sebisa dan semampu kita. Masalah hasil biarkan Allah yang menentukannya. Maka jangan pernah lupa untuk selalu mengiringi setiap ikhtiar kita dengan munajat-munajat panjang kepadaNya. Karena sejatinya doa adalah seni dari segala ketidakmungkinan. Selamat membangun peradaban, para ibu di seluruh dunia!

Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.




Tulisan ini diikutsertakan dalam blog challenge Indscript Writing 'Perempuan Menulis Bahagia'

16 comments

Terima kasih sudah berkunjung, pals. Ditunggu komentarnya .... tapi jangan ninggalin link hidup ya.. :)


Salam,


maritaningtyas.com
  1. Bermanfaat sekali mbak, terima kasih banyak mbak marita..

    ReplyDelete
  2. Yap setuju soal passion. Proses menemukan passion itu bukan proses semalam. Bukan juga proses yang menyenangkan, penuh petualangan atau mengasyikkan.

    Nggak jarang proses menemukan passion itu penuh tetesan darah dan air mata (seriously).

    Karena passion itu bukan sekedar suka begini dan begitu. Melainkan kecintaan akan sesuatu.

    Dan kabar buruknya, cinta itu perlu diuji untuk membuatnya makin kuat. Bukan begitu? 😊

    ReplyDelete
  3. Selesai dng diri sendiri, taat pada suami, ibu yang mau meningkatkan kualitas diri...dan diawali dengan mendidik ibu berati mendidik satu generasi... demi generasi masa depan yang lebih baik...

    ReplyDelete
  4. Setelah baca ini, bener juga. Tahap pertama yg harus disembuhkan adalah luka masa lalu. Msh bnyk yg dulunya kecil sering dipukul, jadi suka mukul jg pada anaknya. Hiksss...

    Tahao dua itu lebih menantang. Soalny kadang2 gengsi mau minta maaf duluan. Semoga ke depan daya pribadi bisa menjadi sebenar2 istri dan ibu.
    Thanks for sharing mbak tyas. Setiap kita punya cerita yg berbeda. Jika kita mengambil hikmah, bahagialah yg akan datang. Don't be sad dengan background keluarganya..

    ReplyDelete
  5. SDM yang unggul semua berasal dari rumah, dan adanya peran hebat seorang Ibu ya, Mbak Marita. Makanya saya yakin, seorang Ibu akan berusaha sekuat tenaga memberikan yang terbaik untuk anak-anak. Terus berusaha menambah wawasan dan pengetahuan untuk diterapkan pada anaknya. Dan semua itu bisa jadi sambil berjalan seiring waktu, Mbak. Semangaaaaat...

    ReplyDelete
  6. Lengkap banget ya mba, memang mulia sekali untuk nanti menjadi seorang ibu. Teurs selain berdamai dengan diri sendiri juga berpassion juga biar nggak kehilangan diri sendiri :)

    ReplyDelete
  7. Hal yang pertama itu yang perlu banget dibenahi dan disembuhkan dulu. Bagaimana seorang ibu akan melangkah lainnya ketika masih ada luka batin yang belum sembuh. :((

    ReplyDelete
  8. Tips yang sangat bermanfaat sekali untuk kita-kita sebagai perempuan, Mbak. Saat ini aku masih di tahap belajar taat kepada suami nih, Mbak. Moga-moga setelah ini segera lanjut untuk ke tahap menjadi ibu sebagai pondasi peradaban. 😊

    ReplyDelete
  9. Ilmu agama disanding dengan ilmu parenting itu adalah keniscayaan orangtua dalam mengasuh anak. Ditambah passion sebagai pelengkap.

    Semoga anak2 kita di luar sana mendapatkan cinta dan kasih sayang ibu yang mendidik dengan bekal ilmunya yang luar biasa.

    ReplyDelete
  10. PR nomor satu itu Mbak, masih belum berhasil juga untuk menuntaskan. Mungkin masih belum bisa ikhlas, dan menghadirkan penerimaan.

    ReplyDelete
  11. Bolehkah aku tambahkan dengan : menemukan pasangan hidup tang sevisi misi juga? Sebab bagiku, perjuangan panjang Ibu sama dengan perjuangan Ayah dalam membangun peradaban generasi. Tugas Ayah bagiku malah lebih berat dibanding Ibu. Membangun lingkungan keluarga yang aman dan nyaman bagi Ibu sepanjang membersamai anak, bukankah sama pentingnya untuk perkembangan mental anak?

    Jadi ya. Kolaborasi keduanya, penting dan menentukan.

    ReplyDelete
  12. Waaah keren, inspiratif banget tulisannya mbak. Jujur sebagai seorang ibu saya jauh dari tulisan diatas, perlu banget berkaca pada poin-poin diatas supaya saya dan keluarga bisa menjalani kehidupan dengan harmonis. TFS ya mbak.

    ReplyDelete
  13. Wahh setuju banget nih, ini bisa jadi panduan untuk para wanita diluar sana nih. Semogaa..

    ReplyDelete
  14. Makasih banyak lo mbak buat tulisan yg bermanfaat ini. Suka bacanya. Seakan aku jga dididik untuk jdi istri dan ibu yg baik nantinya..

    ReplyDelete
  15. MasyaAllah mba Marita makasih banyak jadi tercerahkan, hehehe calon ibu nih. Bismillah semoga aku terus mau belajar, iya banget aku berantem kadang-kadang wkwkw tapi baikannya ya cepet selesai cerewet ya kelar udah urusan baik lagi. Seru!

    ReplyDelete
  16. Pas ada yang ngelamar, yg ada dipikiran ya cuma seneng-senengnya aja mbak.. hehe.. yang nampak bagus dulu dikhayalin. Yg ribet-ribet mah urusan nanti. Padahal jadi orangtua tuh belajarnya seumur hidup. Apalagi jadi ibu, jam kerja nya 24 jam. Gak ada hari libur apalagi bonus atau gaji 13 �� nontstop everyday pokoke kerjaannya ��

    ReplyDelete